Fenomenanya banyak santri alumni pondok pesantren yang memilih tidak kuliah di PTKIN. | Antara

Laporan Utama

Menakar Masa Depan Prodi Keislaman

Fenomenanya banyak santri alumni pondok pesantren yang memilih tidak kuliah di PTKIN.

OLEH ANDRIAN SAPUTRA

Transformasi Universitas Islam Negeri (UIN) dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) membuat banyak kemajuan. Hadirnya fakultas yang menyajikan ilmu terapan menambah pesona kampus yang sudah tersebar di 23 daerah di Indonesia ini. Meski demikian, program studi keislaman murni seperti tafsir, hadis dan syariah mulai kehilangan peminat. Padahal, UIN masih diharapkan menjadi rahim para ulama Nusantara.

 

 

Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) semakin diminati masyarakat. Ini terlihat dari jumlah calon mahasiswa yang mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (UMPTKIN) tahun ini. Sebanyak 100.038 calon mahasiswa dari total peminat ke PTKIN sebanyak 290.600 orang dan total pendaftar yang melakukan registrasi sebanyak 115.315 peserta. 

Kendati demikian, peminat terhadap program studi (Prodi) agama murni semisal ilmu Alquran, hadits, filsafat dan lainnya masih sedikit. Sebaliknya prodi agama terapan dan prodi umum semakin banyak diminati, semisal prodi ekonomi syariah yang peminatnya membeludak di UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Begitupula dengan Prodi Farmasi dan Prodi Teknik Informatika di UIN Alaudin Makassar.

Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Kementerian Agama, Prof Suyitno mengatakan, penerimaan mahasiswa baru PTKIN sudah dilakukan melalui jalur UMPTKIN dan Seleksi Prestasi Akademik Nasional (SPAN) PTKIN. Sementara seleksi ujian masuk PTKIN melalui jalur mandiri belum dimulai.

 
Animo calon mahasiswa terhadap prodi agama murni atau studi Islam masih tergolong sedikit.
 
 

Suyitno mengakui animo calon mahasiswa terhadap prodi agama murni atau studi Islam masih tergolong sedikit. Ini berbeda dengan prodi umum dan prodi agama terapan yang makin diminati. Meski begitu, Suyitno tak merinci perbandingan peminat prodi-prodi di PTKIN.

"Kalau kita lihat beberapa prodi itu memang sebarannya tidak sama. Khusus prodi yang disebutkan (ilmu Alquran, Hadits, Filsafat dan lainnya) kalau kita lihat trennya memang masih seperti tahun kemarin. Ada peminatnya, tetapi tidak sebesar dengan peminat prodi lainnya. Apalagi prodi Filsafat, di manapun prodinya, bukan hanya PTKIN, itu peminatnya terbatas," kata Suyitno kepada Republika, beberapa waktu lalu.

photo
Aktivis melakukan aksi damai di kawasan Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sleman, DI Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Fenomenanya banyak santri alumni pondok pesantren yang memilih tidak kuliah di PTKIN. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/pras/18. - (ANTARA FOTO)

Menurut dia, Kemenag terus berupaya untuk mendorong peminat prodi-prodi studi keislaman semisal, dengan memberikan afirmasi bagi alumni pondok pesantren dalam bentuk beasiswa. Jika melihat data sebaran latar belakang sekolah asal, jumlah mahasiswa yang mengikuti UMPTKIN tahun ini sebanyak 46 persen berasal dari pesantren dan madrasah aliyah. Sedangkan, sebanyak 42 persen SMA dan 12 persen dari SMK. 

Suyitno mengatakan, banyak faktor yang membuat prodi-prodi studi keagamaan sepi peminat dibandingkan prodi lainnya. Salah satunya karena persoalan cara pandang masyarakat terhadap prodi di PTKIN berkaitan dengan peluang di dunia kerja.

 
Persoalan cara pandang masyarakat terhadap prodi di PTKIN berkaitan dengan peluang di dunia kerja.
 
 

Ia pun mengakui pandemi Covid-19 mempengaruhi calon mahasiswa dalam memilih program studi yang akan ditempuh. Padahal, dia menjelaskan, banyak PTKIN yang telah memiliki akreditasi A. "Jadi sebenarnya lebih pada eksternal, itu sebabnya kita terus memberikan afirmasi," katanya. 

Suyitno juga mendorong agar setiap prodi di PTKIN saling bersinergi terutama dalam penguatan kajian-kajian keislaman melalui Mahad Al Jamiah atau Pondok Pesantren Perguruan Tinggi. 

Cendekiawan Muslim yang juga Rektor Universitas Internasional Islam Indonesia (UIII) Prof Komarudin Hidayat menilai berkaitan dengan rendahnya peminat prodi kajian keislaman perlu dilakukan riset, terutama tentang mengapa banyak anak pengasuh pondok pesantren, anak para ulama, anak dosen PTKIN justru lebih banyak kuliah di perguruan tinggi non-PTKIN.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Diktis Kemenag RI (diktis_kemenagri)

Dia menjelaskan, fenomena yang terjadi adalah banyak anak kiai hingga dosen PTKIN serta para santri alumni pondok pesantren yang memilih tidak kuliah di PTKIN. "Itu bisa ditanyakan pada mereka dan akan lebih menarik jawabannya, apa alasan mereka tidak memasukkan anaknya ke prodi agama. Tanyakan saja pada kiai-kiai, dosen di mana anaknya kuliah. Banyak santri yang masuk UGM, IPB, atau UI itu alumni pesantren, mengapa begitu? Ini menarik untuk dilakukan riset," kata  Komarudin.

Mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini mengatakan untuk menjadi seorang ahli dalam ilmu agama tidak bisa berhenti pada jenjang sarjana. Menurut dia, pendidikan pada kajian agama membutuhkan pendalaman bahkan hingga Strata-3.

Pada sisi lain, fenomena yang terjadi banyak penceramah atau dai yang bukan lulusan studi agama. Ia pun menilai perlu dilakukan riset berkaitan dengan harapan orang tua dalam mengkuliahkan anak-anaknya. 

"Jadi apakah orang tua itu punya anak diharapkan jadi ahli agama atau orang yang beragama? Kalau agama sebagai karakter akhlak itu kan bisa dibina tidak perlu harus masuk studi agama. Jadi ditanya saja, maunya punya anak itu yang ahli agama atau yang berakhlak agamis?" kata dia.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Diktis Kemenag RI (diktis_kemenagri)

Tak patah semangat

Kamilah merupakan salah satu mahasiswi semester 2 Prodi Akidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta. Ia mengaku prodi yang diambilnya merupakan salah satu prodi dengan jumlah mahasiswa paling sedikit dibanding prodi lainnya di UIN Suka.

Dalam satu kelas, ada sekitar 40-an mahasiswa. Itu pun banyak mahasiswa yang putus di tengah perjalanan karena kesulitan dalam mengikuti materi perkuliahan. Menurut Kamilah, para mahasiswa yang memilih putus kuliah memiliki latar belakang pendidikan SMA atau SMK. 

"Kalau saya pribadi tak mengalami banyak kesulitan karena saya dari pesantren, tetapi banyak teman saya yang lulusan SMA dan SMK yang sudah diterima mereka susah mengejar materi kuliah akhirnya memilih keluar lepas dari Prodi Filsafat dan daftar ulang," kata Kamilah.

 
Banyak teman saya yang lulusan SMA dan SMK yang sudah diterima mereka susah mengejar materi kuliah akhirnya memilih keluar.
 
 

Ia mengungkapkan, hampir separuh mahasiwa di kelasnya mempunyai latar belakang pendidikan pesantren atau MA, sedang sebagian lainnya dari sekolah SMA dan SMK. Kamilah mengaku banyak masyarakat yang kerap mempertanyakan masa depannya karena mengambil prodi filsafat.

Meski demikian, Kamilah tak patah semangat. Menurut dia, prodi yang dipilihnya itu memiliki banyak kelebihan sehingga ia pun tetap optimistis akan masa depannya. "Saya pikir prodi ini banyak manfaatnya meski sedikit peminatnya. Yang terpenting kita juga harus diiringi soft skill, saya tak khawatir," kata dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat