Ko Phyo, seorang pendemo antikudeta militer yang mengalami cacat permanen akibat kekerasan aparat duduk di kursi roda di rumahnya di pinggiran Yangon, Myanmar, Sabtu (24/4). | REUTERS/Stringer

Internasional

880 Orang Tewas Selama Kudeta di Myanmar

Kelompok masyarakat sipil melaporkan pasukan junta menewaskan 880 orang sejak kudeta militer di Myanmar.

YANGON -- Kelompok masyarakat sipil melaporkan pasukan junta menewaskan 880 orang sejak kudeta militer di Myanmar. Berdasarkan data Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP), Jumat dini hari (25/6), korban bertambah tiga orang yang tewas pada Rabu dan didokumentasikan Kamis kemarin.

Seperti dilaporkan Anadolu Agency, AAPP mencatat 5.104 orang masih berada dalam tahanan hingga 24 Juni. Sekitar 217 orang di antaranya dijatuhi hukuman.

Pasukan junta, kata AAPP, menembak warga bernama Salai Ngun Nei Piang hingga tewas di Kotapraja Kale, Sagaing pada Rabu malam. Pada hari yang sama, pasukan junta menembak warga bernama Aung Min Thu di bagian kepala hingga tewas ketika korban dalam perjalanan pulang ke rumah dengan mengendarai sepeda motor di Kotapraja Hsipaw, Negara Bagian Stan Selatan.

Berdasarkan laporan AAPP, penangkapan terhadap warga sipil juga masih terus terjadi di bawah rezim kudeta Myanmar. AAPP mengungkapkan tiga pelajar yakni Thang Biek Lien (17 tahun), Mang Kim Khuol (16), Thang Gin Hang (14), dan paman mereka, Suon Lam Khai, ditangkap tanpa alasan di Kotapraja Kale, Sagaing, Kamis (24/6) pagi.

Pada 21 Juni, enam anggota keluarga, termasuk pensiunan guru Tin Myint Soe, ditangkap di kawasan Sagaing, dengan tuduhan mendukung Angkatan Pertahanan Rakyat (PDF). Adapun PDF dibentuk pemerintah pro-demokrasi untuk melawan rezim kudeta. Keesokan harinya, 22 Juni, anak berusia empat tahun yang merupakan anggota keluarga Tin Myint Soe dibebaskan.

230 ribu mengungsi

Sementara itu, diperkirakan ada 230 ribu orang telah mengungsi akibat kekerasan dan konflik di Myanmar pada tahun ini. Para pengungsi disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membutuhkan bantuan mendesak.

Dilansir Aljazirah pada Kamis, Myanmar berada dalam krisis sejak panglima militer Min Aung Hlaing memimpin kudeta terhadap pemerintah terpilih pada Februari. Ini memicu protes nasional, gerakan pembangkangan sipil massal, dan baru-baru ini pembentukan tentara sipil.

"Pengungsi serta masyarakat di daerah yang terkena bencana sangat membutuhkan berbagai bantuan kemanusiaan. Termasuk makanan dan bahan dasar rumah tangga, tempat tinggal, akses ke perawatan kesehatan, air dan sanitasi, serta berbagai layanan perlindungan, termasuk dukungan psikososial," jelas Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) dalam laporannya.

Badan PBB itu mengatakan operasi bantuan sedang berlangsung tetapi terhalang oleh bentrokan bersenjata, kekerasan, dan ketidakamanan di negara itu. Sebanyak 177 ribu orang telah mengungsi di negara bagian Karen yang berbatasan dengan Thailand. Sementara itu 103 ribu orang pada bulan lalu dan lebih dari 20 ribu orang berlindung di 100 daerah pengungsian.

Hal ini terjadi setelah pertempuran antara Pasukan Pertahanan Rakyat dan tentara di Negara Bagian Chin yang berbatasan dengan India. Ribuan orang juga melarikan diri dari pertempuran di negara bagian Kachin dan Shan Utara, wilayah tempat tentara etnis minoritas yang mapan telah lama memerangi militer.

Persatuan Nasional Karen (KNU), salah satu kelompok bersenjata etnis minoritas terkemuka Myanmar, menyatakan keprihatinan tentang hilangnya nyawa warga sipil, meningkatnya kekerasan, dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh militer di seluruh Myanmar. "KNU akan terus berjuang melawan kediktatoran militer dan memberikan perlindungan sebanyak mungkin kepada orang-orang dan warga sipil yang tidak bersenjata," katanya dalam sebuah pernyataan.

Protes antikudeta terjadi di Negara Bagian Kachin, Dawei, Wilayah Sagaing dan ibu kota komersial Yangon pada Kamis. Para demonstran membawa spanduk dan membuat gerakan tiga jari untuk menentang.

Beberapa demonstran menunjukkan dukungan bagi mereka yang menentang kekuasaan militer di Mandalay, kota terbesar kedua Myanmar. Di sini terjadi baku tembak antara tentara dan kelompok pemberontak yang baru dibentuk pada Selasa sebagai tanda pertama konflik bersenjata di pusat kota besar sejak kudeta.

Protes hampir setiap hari mengguncang Myanmar sejak kudeta. Sebuah pemberontakan massal kepada militer yang brutal dan telah menewaskan sedikitnya 877 warga sipil, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan (AAPP), sebuah kelompok pemantau lokal, yang telah dinyatakan rezim sebagai organisasi ilegal.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat