Sejarawan menamakan sebuah periode yang sarat masalah dalam sejarah Dinasti Abbasiyah sebagai Anarki di Samarra. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Para Pemimpin Boneka di Samarra

Masa kekuasaan tiga penguasa “boneka” ini menandakan besarnya pengaruh elite militer Turki.

OLEH MUHYIDDIN, HASANUL RIZQA

Tanda-tanda kemerosotan Dinasti Abbasiyah mulai tampak sejak Khalifah al-Mu’tashim Billah berkuasa. Bukannya meneruskan legasi para sultan di Baghdad, putra Khalifah Harun al-Rasyid itu justru mendirikan ibu kota baru, yakni Samarra. Lokasinya berjarak sekira 100 km dari arah utara kota berjulukan “Seribu Satu Malam” itu.

Nama lengkap daerah baru tersebut ialah Suruurun man ra’a, seperti diukir pada koin-koin Abbasiyah. Secara kebahasaan, itu berarti ‘berbahagialah bagi siapa saja yang melihat kota ini'. Untuk memudahkan penyebutan, namanya diperpendek menjadi Samarra.

Pusat pemerintahan Abbasiyah sejak era al-Mu’tashim Billah itu memang indah. Seperti halnya Baghdad, Samarra terletak di tepi sungai besar, Tigris. Malahan, ada dua sungai yang lebih kecil mengelilingi sisi kanan dan kirinya. Alhasil, bila dilihat dari atas, kawasan tersebut menyerupai pulau.

Harun al-Rasyid merupakan raja Abbasiyah pertama yang mendirikan istana di daerah itu. Di kemudian hari, putranya mengembangkan Samarra sebagai kota yang termutakhir pada masanya. Khalifah al-Mu’tashim mendirikan Istana al-Jausaq, berdekatan dengan tepian Sungai Tigris.

 

photo
Peta Samarra sekitar 150 km dari Kota Baghdad - (DOK Wikipedia)

Raja-raja setelah al-Mu’tashim memperindah kota tersebut. Sebagai contoh, khalifah ke-10 Abbasiyah, al-Mutawakkil ‘alallah, mendirikan Masjid Raya Samarra pada 851. Tempat ibadah ini berdiri di atas lahan seluas kira-kira 15 ribu hektare.

Pada zamannya, menara masjid tersebut, dengan tinggi 52 meter, merupakan yang tertinggi di dunia. Bentuknya pun terlihat unik karena menyerupai spiral yang kian mengerucut pada pucuknya. Hingga kini, salah satu masjid kebanggaan rakyat Irak itu terdaftar dalam Situs Warisan Dunia versi UNESCO.

Sebagai peletak utama fondasi Samarra, Khalifah al-Mu’tashim dapat dikatakan berhasil mewujudkan sebuah kota yang visioner; bahkan popularitasnya cukup menyaingi Baghdad. Akan tetapi, yang mungkin luput dari pandangannya ialah keadaan sosio-politik pada masa itu.

Faktanya, sang khalifah tidak lagi diterima umumnya masyarakat Baghdad. Sebab, raja kedelapan Dinasti Abbasiyah ini cenderung membiarkan para pendatang untuk mendominasi penduduk tempatan, khususnya bangsa Arab.

Kaum imigran yang dimaksud ialah golongan mantan-budak yang berkebangsaan Turki. Nama Turki di sini tidak identik dengan negara yang sekarang beribu kota di Ankara, melainkan sekelompok bangsa yang bernenek moyang suku-suku Turkic atau Turks penghuni stepa Asia Tengah. Dahulu, mereka dimanfaatkan tenaganya oleh kalangan elite Abbasiyah untuk mengukuhkan kekuasaan.

 
Sebagai prajurit yang tangguh, mereka lantas direkrut sebagai pengawal pribadi para bangsawan Abbasiyah.
 
 

Banyak anak keturunannya yang dimasukkan dalam pelatihan-pelatihan militer. Sebagai prajurit yang tangguh, mereka lantas direkrut sebagai pengawal pribadi para bangsawan Abbasiyah.

Akan tetapi, lama-kelamaan orang-orang Turki ini menempati posisi yang penting di pemerintahan. Ada yang menjadi istri-istri khalifah. Alhasil, putra-putranya merasa tak ubahnya pangeran yang berhak atas takhta.

Dan, tidak sedikit yang diangkat menjadi jenderal-jenderal militer. Ketika Khalifah al-Mu’tashim memerintah, makin banyak panglima Abbasiyah yang beretnis Turki. Sementara, khalifah-khalifah selanjutnya cenderung lemah sehingga para pemimpin kesatuan tentara ini makin kuat dan memanfaatkan tiap peluang yang ada. Bahkan, pengaruhnya besar secara politis, terutama sejak ibu kota berpindah dari Baghdad ke Samarra.

Maka dari itu, sejarawan umumnya berpendapat, kota yang didirikan al-Mu’tashim tersebut tak ubahnya sebuah permukiman para mantan-budak yang beretnis Turki. Karena mendominasi secara kuantitas, orang-orang Turki pun tak ubahnya “pribumi” di Samarra. Kalau sebelumnya banyak di antaranya yang bekerja sebagai pengawal atau tentara bayaran, kini pelbagai kedudukan penting dilakoninya, termasuk di pemerintahan.

Penerus al-Mu’tashim ialah Khalifah al-Watsiq Billah. Mulai saat itu, gurita kekuasaan orang-orang Turki sudah menjalar ke mana-mana. Banyak jabatan penting berada dalam genggamannya, semisal perdana menteri, kadi utama, panglima militer, dan lain sebagainya.

Lebih buruk lagi, di antara sesama pejabat Turki pun terjadi intrik-intrik. Di tubuh tentaranya, muncul faksi-faksi militer Turki yang satu sama lain saling berebut dominasi dan hegemoni.

Tiga masa ‘anarki’

Saat berusia 36 tahun, al-Watsiq meninggal. Tidak ada sosok penerus yang ditunjuk almarhum sehingga majelis yang diisi mayoritas tokoh Turki menentukan siapa khalifah berikutnya. Mereka sepakat mengangkat saudara tiri almarhum, Ja’far, sebagai khalifah baru dengan gelar al-Mutawakkil ‘alallah.

Era kepemimpinannya bagaikan pagi menjelang terik siang hari. Dalam arti, inilah awal dari sebuah prahara dalam sejarah Abbasiyah abad kesembilan. Khalifah al-Mutawakkil berhasil memperluas wilayah negeri secara maksimal. Selain itu, dirinya pun dikenang sebagai pemimpin yang mengakhiri masa persekusi (minha) yang menyasar ulama-ulama besar, semisal Imam Ahmad bin Hanbal.

Berbeda dengan para pendahulunya yang condong pada aliran Mu’tazilah, raja Abbasiyah tersebut cenderung pada ahlussunnah waljama’ah. Namun, hidupnya berakhir tragis. Ia dibunuh sekelompok orang Turki yang, ironisnya, berkomplot dengan al-Munthasir Billah. Lelaki itu tidak lain ialah anak al-Mutawakkil sendiri.

photo
Dirham di era al-Muntashir Billah, dinasti Abbasiyah pada tahun 861 M. - (DOK Wikipedia)

Melakukan perbuatan buruk dan berakhir pula dengan keadaan buruk. Al-Munthasir hanya memerintah kurang dari enam bulan. Tulang punggung pemerintannya adalah Panglima Begha yang berasal dari Turki dan Perdana Menteri Washif. Keduanya mendorong al-Muntashir untuk memusuhi kedua saudaranya, al-Mu’tazz dan al-Mu’ayyad, yang sebelumnya ditunjuk al-Mutawakkil sebagai penerus takhta.

Tak banyak yang bisa dilakukan Khalifah al-Muntashir dalam masa sesingkat itu. Ia akhirnya dibunuh oleh orang-orang Turki yang dahulu membantunya saat membunuh ayahnya sendiri.

Dalam usia 26 tahun, raja muda itu meninggal. Saat ajal menjelang, dia berkata, "Wahai ibuku, telah lenyaplah dunia dan akhirat dari diriku. Kubunuh ayahku, maka aku pun kini dibunuh."

 
Wahai ibuku, telah lenyaplah dunia dan akhirat dari diriku. Kubunuh ayahku, maka aku pun kini dibunuh
KHALIFAH AL-MUNTASHIR BILLAH
 

Kematian al-Muntashir semakin menguak kondisi sebenarnya yang terjadi di lingkaran elite Abbasiyah kala itu. Yakni, tidak ada sosok pemimpin yang dapat mempersatukan negeri. Yang ada justru ialah faksi-faksi yang dibentuk orang-orang Turki untuk mengendalikan kekuasaan tanpa harus “resmi” berkuasa. Mereka sengaja menjadikan sultan yang diangkat sebagai bonekanya.

Pengganti al-Muntashir ialah al-Musta’in Billah, seorang tokoh yang lahir dari rahim budak berdarah Turki. Sejumlah pemimpin militer Turki bermusyawarah dan sepakat menunjuknya sebagai sultan Abbasiyah berikutnya. Namun, lagi-lagi sang raja hanyalah “mainan” bagi intrik-intrik yang terjadi antara faksi-faksi dalam tubuh militer Turki.

Ada tiga orang jenderal Turki yang berpengaruh besar di Abbasiyah. Mereka ialah Baghar, Bugha, dan Washif. Bugha dan Washif saling berkompromi untuk mendorong Khalifah al-Musta’in agar “berani” menangkap dan menghukum mati Baghar.

Para pendukung Baghar seketika murka. Seluruh prajurit Abbasiyah yang loyal kepadanya memberontak terhadap al-Musta’in. Sang khalifah, bersama dengan Bugha dan Washif, lantas kabur ke Baghdad. Sementara itu, Samarra akhirnya jatuh di bawah kendali pasukan pro-Baghar.

 
Kubu Baghar memang de facto menguasai ibu kota, tetapi tidak punya legitimasi untuk memimpin secara resmi.
 
 

Kubu Baghar memang de facto menguasai ibu kota, tetapi tidak punya legitimasi untuk memimpin secara resmi. Karena itu, mereka membebaskan seorang putra al-Mutawakkil yang bernama al-Mu’tazz. Tokoh tersebut lantas didaulatnya sebagai khalifah baru.

Lantas, Baghdad dikepung oleh pasukan al-Mu’tazz yang disokong orang-orang Turki pro-Baghar. Kota Seribu Satu Malam pun lumpuh. Al-Musta’in sesungguhnya ingin menyerah. Ia membiarkan pengumuman di masjid-masjid seantero Baghdad, yakni klaim bahwa al-Mu’tazz adalah khalifah yang sah.

Walaupun sudah mengibarkan bendera putih, al-Musta’in tetap ditahan begitu pasukan al-Mu’tazz menguasai Baghdad. Pada 17 Oktober 866, ia dihukum mati.

Dikisahkan, seorang algojo membawa kepala al-Musta’in ke hadapan al-Mu’tazz sambil berkata, “Inilah kepala sepupumu!”

“Singkirkan!” jawab al-Mu’tazz yang sedang bermain catur, "dan taruh kepala itu di sana sampai aku selesai bermain.”

Usai dengan papan caturnya, si algojo diganjar hadiah 500 keping emas.

Demikianlah Anarki di Samarra. Masa kekuasaan tiga penguasa “boneka” ini—al-Muntashir, al-Musta’in, dan al-Mu’tazz—menandakan besarnya pengaruh elite militer Turki di pemerintahan Abbasiyah. Mereka tidak resmi menyandang sebagai khalifah, tetapi kekuasaannya mampu menenggelamkan penyandang gelar “khalifah".

photo
Para khalifah Abbasiyah yang menjabat pada periode Anarki di Samarra sejatinya adalah boneka milik faksi-faksi militer keturunan Asia Tengah atau Turki. - (DOK WIKIPEDIA)

Akhir Anarki di Samarra

 

Seperti para raja Abbasiyah pada masa “Anarki di Samarra”, Khalifah al-Mu’tazz Billah pun sangat lemah dalam menghadapi tekanan dari kubu-kubu militer Turki. Masalahnya bukan lagi pada Washif dan Bugha, dua jenderal Turki yang berseberangan dengannya sehingga sempat menguasai Baghdad.

Apalagi, keduanya sudah menjemput maut. Washif tewas dibunuh para prajurit Turki-Abbasiyah yang tidak menyukainya, sedangkan Bugha dihukum mati atas perintah sang khalifah pada 868.

Soal utama bagi al-Mu’tazz ialah seretnya pemasukan. Itu berimbas pada minimnya gaji untuk para prajurit. Jajaran panglima yang diisi mayoritas etnis Turki pun tidak puas. Seorang jenderal Turki yang paling vokal saat itu ialah Salih, putra Washif. Ia dapat memanfaatkan situasi untuk mendulang dukungan. Akhirnya, pada Juli 869 dirinya berhasil memimpin kudeta untuk menjungkalkan al-Mu’tazz dari tampuk kekuasaan.

Peristiwa itu dimulai dari penyerbuan ke istana di Samarra. Al-Mu’tazz lalu ditangkap. Para prajurit pro-Salih bin Washif memperlakukannya dengan tidak layak. Mereka memaksa khalifah untuk mengundurkan diri.

Salih lalu menghadirkan hakim bernama Ibnu Abi Syawarib dan beberapa orang saksi untuk melegitimasi pencopotan al-Mu'tazz dari jabatannya. Al-Mu'tazz sudah menyerahkan kursi khilafah, tetapi mereka tidak puas.

 
Permintaannya tak ditanggapi. Akhirnya, Khalifah al-Mu'tazz meninggal karena dahaga yang teramat sangat.
 
 

Para pemberontak menyiksanya. Karena merasa sangat kehausan, sang mantan penguasa itu meronta-ronta minta minum. Namun, permintaannya tak ditanggapi. Akhirnya, ia meninggal karena dahaga yang teramat sangat.

Berakhirnya rezim al-Mu’tazz menandakan ujung dari fenomena yang disebut sejarawan sebagai “Anarki di Samarra.” Masih pada tahun 869 M, pelbagai pemberontakan terus meletus di seluruh penjuru negeri Abbasiyah. Yang paling kuat bertahan ialah yang dipimpin seorang tokoh bernama Ali bin Muhammad.

Perlawanan yang digelorakan Ali bermula di Basrah. Dalam menjalankan aksinya, ia banyak didukung kaum budak yang berasal dari Afrika Timur. Mereka memiliki bahasa-ibu, yakni bahasa Bantu. Orang-orang Arab menamakannya Zanj. Karena itu, gelombang konflik yang pecah antara tahun 869 dan 883 itu kerap disebut sebagai Pemberontakan Zanj.

Empat belas tahun para keturunan budak kulit hitam itu memberontak terhadap Abbasiyah. Para ahli menilai, inilah titik balik sejarah kekhalifahan tersebut. Di masa jayanya, para sultan Abbasiyah disibukkan oleh ekspansi wilayah kekuasaan dan berkontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan sains global.

Sesudah itu, “Anarki di Samarra” membalikkan keadaan negeri. Orang-orang Arab (baca: Bani Abbas) justru diporak-porandakan oleh divisi-divisi budak yang pernah dibangunnya; kelompok-kelompok yang berasal dari Asia Tengah (Turki) maupun pesisir Afrika (Zanj).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat