Ketika periode Anarki di Samarra, Abbasiyah telah berpindah ibu kota dari Kota Baghdad ke Kota Samarra. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Anarki di Samarra

Perpindahan ibu kota menandakan awal dari peristiwa Anarki di Samarra.

OLEH HASANUL RIZQA

Dinasti Abbasiyah berkuasa lebih dari lima abad. Dalam pada itu, ada satu periode ketika raja-raja justru dikendalikan. Sejarawan menyebut fase ini sebagai anarki di Samarra.

Samarra, Pusat Baru Abbasiyah

Dalam sejarah Islam, pelbagai dinasti besar pernah berdiri. Salah satunya ialah Bani Abbasiyah. Pendirinya merupakan keturunan dari paman Nabi Muhammad SAW, Abbas bin Abdul Muthalib.

Pemimpin pertama Abbasiyah bernama Abdullah as-Saffah. Pada 750, ia dan para pendukungnya mengalahkan pasukan Umayyah yang dipimpin Khalifah Marwan II dalam pertempuran di tepi Sungai Zab, Irak.

Marwan sempat melarikan diri ke Mesir, tetapi kemudian dibunuh. Nyaris seluruh elite Umayyah dihabisi pada masa itu kecuali Pangeran Abdurrahman yang lantas berkuasa di Andalusia (Spanyol).

Abdullah as-Saffah memerintah hanya dalam waktu relatif singkat, kira-kira satu tahun. Dia kemudian digantikan oleh Abu Ja’far Abdullah al-Mansur. Banyak sejarawan menilai, al-Mansur merupakan peletak fondasi Abbasiyah yang sebenarnya.

Abu Ja’far al-Mansur membangun Baghdad dari nol. Kota tersebut benar-benar dipersiapkannya dengan sangat baik. Sebelum memutuskan Baghdad sebagai ibu kota Abbasiyah, dia mengirimkan sejumlah pakar untuk meneliti keadaan geografis dan sosial wilayah tersebut.

 
Abu Ja’far al-Mansur membangun Baghdad dari nol. Kota tersebut benar-benar dipersiapkannya dengan sangat baik.
 
 

Denah awal kota ini berbentuk lingkaran yang dikelilingi tembok selebar 50 hasta dengan tinggi 90 kaki. Di luarnya, terdapat parit yang dalam untuk melindungi penduduk setempat dari marabahaya. Ada empat gerbang utama sebagai pintu masuk ke kota-benteng ini.

Sepeninggalan al-Mansur, para khalifah Abbasiyah berlomba-lomba memperindah Baghdad. Sejak tahun 800 M, Baghdad menjadi kota kosmopolitan sekaligus multikultural yang unggul. Di sanalah titik temu peradaban-peradaban dunia.

Era keemasan Baghdad berlangsung ketika pemerintahan Abbasiyah dipegang Sultan Harun al-Rasyid (786-809) serta dua penggantinya, yaitu berturut-turut Abu Musa Muhammad al-Amin (809-813) dan Khalifah al-Ma’mun (813-833). Di kota tersebut, Harun al-Rasyid mendirikan sebuah sentra peradaban, Bait al-Hikmah, yang tetap bertahan hingga serbuan balatentara Mongol pada abad ke-13 Masehi.

photo
Khalifah Baghdad dinasi Abbasiyah, Harun al-Rasyid, 14 September 786 - 24 Maret 809 - (DOK Wikipedia)

Meskipun Baghdad tetap memesona, ibu kota Abbasiyah pada awal abad kesembilan berpindah ke Samarra. Wilayah yang terletak di tepi timur Sungai Tigris itu sudah dihuni manusia sejak 5.000 tahun sebelum Masehi.

Bagaimanapun, Daulah Abbasiyah-lah yang kemudian menyulapnya menjadi kota besar. Kondisi geografis setempat tidak jauh berbeda dengan Baghdad, terutama dalam hal kontur tanah dan sungai sebagai sumber air bersih.

Beralihnya pusat kekuasaan dari Baghdad ke Samarra tercatat dalam sejarah sebagai penanda penting kemunduran Abbasiyah. Mulai saat itu, para khalifah cenderung sibuk pada intrik-intrik merebut atau mempertahankan kekuasaan, alih-alih turut mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan sains.

Lebih buruk lagi, mereka kemudian menjadi boneka para tentara yang dahulunya adalah budak belian. Faksi-faksi dalam tentara awalnya saling berebut pengaruh di hadapan khalifah, tetapi kemudian justru lebih berkuasa de facto atas khalifah. Pada tahap selanjutnya, terjadilah apa yang dinamakan kalangan sejarawan sebagai “anarki di Samarra".

photo
Peta Baghdad pada 767 hingga 912 M. Kota ini didirikan oleh Abu Jafar Al-Mansur, pendiri era Abbasiyah pada tahun 762 - (DOK Wikipedia)

Samarra

Pendiri Kota Samarra ialah Abu Ishaq Muhammad bin Harun al-Rasyid alias Khalifah al-Mu’tashim Billah (harfiah: ‘yang berlindung kepada Allah’). Raja Abbasiyah sesudah al-Ma’mun itu merupakan khalifah pertama yang menghubungkan lafazh Allah dengan namanya. Kepemimpinannya sempat diwarnai konflik politik.

Pasalnya, kalangan militer tidak setuju dengan pengangkatan saudara al-Ma’mun itu sebagai khalifah. Mereka menghendaki putra al-Ma’mun, Abbas, sebagai raja berikutnya. Untuk meredakan ketegangan, al-Mu’tashim Billah lalu memanggil Abbas sehingga keponakannya itu mau berbaiat kepadanya.

Pemberontakan berikutnya datang dari pihak Alawiyah yang dipimpin Muhammad bin Qasim. Setelah berhasil menangkapnya, al-Mu’tashim tidak jadi menghukum mati, tetapi hanya menahannya di sebuah penjara di Samarra.

Tidak hanya upaya makar, dirinya pun menghadapi musuh dari luar. Romawi Timur atau Bizantium berupaya mencaplok wilayah di barat Mesopotamia. Namun, Abbasiyah berhasil menghalaunya, terutama sejak Perang Dasymon.

photo
Peta Samarra sekitar 150 km dari Kota Baghdad - (DOK Wikipedia)

Di sela-sela “kesibukan” itu, al-Mu’tashim masih sempat mewujudkan visinya untuk membangun sebuah ibu kota baru. Di kawasan luas yang berjarak sekira 100 km dari utara Baghdad itu, dirinya berhasil mendirikan kota bernama Suruurun man ra’a. Artinya secara bahasa ialah ‘berbahagialah bagi siapa saja yang melihat kota ini'. Untuk memudahkan penyebutan, nama tersebut diperpendek menjadi Samarra.

Sesungguhnya, al-Mu’tashim tidak membangun Samarra dari nol. Sebelumnya, Sultan Harun al-Rasyid sudah membuka daerah tersebut untuk dihuni kalangan bangsawan, terutama dirinya sendiri.

Namun, apa yang diupayakan sang sultan “hanya” membangun sebuah istana di tepian sungai setempat. Maka, khalifah kedelapan Dinasti Abbasiyah itu mengembangkan legasi yang ditinggalkan pendahulunya tersebut.

Dibangunnya Samarra tidak sekadar berarti perpindahan ibu kota. Sebab, bara politik belum mereda di sekitar Khalifah al-Mu’tashim. Untuk menjaga keamanan pribadi, dia kerap mengandalkan jasa para budak yang beretnis Turki.

Nama Turki di sini tidak identik dengan negara yang sekarang beribu kota di Ankara, melainkan sekelompok bangsa yang bernenek moyang suku-suku Turkic atau Turks penghuni stepa Asia Tengah.

Tidak seperti beberapa khalifah sebelumnya, al-Mu’tashim kurang tertarik pada ilmu pengetahuan. Perangainya lebih menyerupai raja-raja yang berbuat sesuka hati.

 
Ke mana-mana, al-Mu’tashim dikawal ratusan budak Turki. Jumlah hamba sahayanya bahkan disebut-sebut mencapai ribuan orang.
 
 

Selama menjabat sebagi khalifah, lelaki yang beribu kandung seorang budak Turki ini belum pernah menyelenggarakan sebuah pertemuan ilmiah, sebagaimana yang biasa dilakukan kakak tirinya, al-Ma’mun. Ia lebih senang hidup dengan penuh kebanggaan diri. Ke mana-mana, dia dikawal ratusan budak Turki. Jumlah hamba sahayanya bahkan disebut-sebut mencapai ribuan orang.

Kedekatannya dengan orang-orang Turki menimbulkan kegusaran di tengah rakyat. Bukan sekali dua-kali masyarakat menyaksikan, pembuat onar di Baghdad berasal dari suku bangsa tersebut. Publik semakin bertanya-tanya ketika al-Mu’tashim mengangkat orang-orang Turki untuk mengisi jabatan penting dalam pemerintahan.

Karena itu, ketika sekelompok militer menolak berbaiat kepada al-Mu’tashim yang baru saja ditunjuk sebagai khalifah, tidak sedikit rakyat yang mendukung pemberontakan ini.

photo
Pusat Kota Samarra pada era dinasti Abbasiyah - (DOK Wikipedia)

Era Isolasi

Bagaimanapun, al-Mu’tashim dapat memadamkan setiap makar yang menentangnya. Impiannya untuk mendirikan ibu kota baru, Samarra, pun terwujud sudah. Segalanya seperti berjalan sesuai rencananya, tetapi itu pun tidak bertahan lama.

Masyarakat Baghdad merasa, para pendatang dari Turki, Asia Tengah, semakin bertambah banyak. Khalifah seperti tidak melakukan apa pun untuk membendungnya. Bahkan, al-Mu’tashim tampak diuntungkan dengan fenomena ini.

Dia melatih banyak orang Turki untuk menjadi tentara yang loyal kepadanya. Banyak pula dari mereka yang masuk ke jajaran penting kemiliteran. Beberapa tokoh Turki yang menjabat komandan pada masa pemerintahannya ialah Afsyin, Asynas, dan Itakh.

Padahal, tidak semua bersetia kepadanya. Ambil contoh, Afsyin yang sesudah berhasil menghalau Bizantium, justru hendak merongrong kekuasaan al-Mu’tashim. Komandan berdarah Turki ini mendirikan negara sendiri di Transoksiana, Asia Tengah. Namun, rencana makar tersebut lebih dahulu terungkap. Afsyin pun ditangkap, lalu dijatuhi hukuman mati.

Memang, ada yang tetap menjaga loyalitas untuk sang khalifah, semisal Asynas. Al-Mu’tashim begitu menghargai kesetiaan sang komandan beretnis Turki itu. Untuk menyenangkan hatinya dan kalangan militer etnis Turki pada umumnya, pusat pemerintahan Abbasiyah pun dipindah sang khalifah ke Samarra. Itu seiring waktunya dengan meningkatnya protes masyarakat Baghdad terhadap kelakuan para pendatang Turki.

 
Untuk menyenangkan kalangan militer etnis Turki pada umumnya, pusat pemerintahan Abbasiyah dipindah sang khalifah ke Samarra.
 
 

Menurut Osman SA Ismail dalam artikelnya, “Mu’tasim and the Turks” (Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 1966), perpindahan ibu kota dari Baghdad ke Samarra merupakan awal dari Era Isolasi. Peralihan lokasi pusat Daulah Abbasiyah itu berdampak pada semakin terisolasinya para khilafah dari dukungan orang-orang Arab.

Pada saat yang sama, pengaruh orang-orang Turki di pemerintahan kian meningkat. Mereka yang dahulunya berstatus semata-mata budak, kini menjadi berkuasa. Bahkan, kekuasaan para mantan budak tersebut di kemudian hari melampaui kontrol khalifah.  

Usai sembilan tahun berkuasa, al-Mu’tashim mengangkat penggantinya, yakni putranya sendiri yang bernama Abu Ja’far Harun bin Muhammad alias al-Watsiq Billah (harfiah: ‘dia yang percaya kepada Allah’). Namun, pemerintahan Khalifah al-Watsiq sangat lemah karena campur tangan ayahnya masih sangat terasa.

Lemahnya wibawa penguasa kian membuka lebar peluang korupsi. Terlebih lagi, ketergantungan sang khalifah pada tentara Turki semakin tinggi. Makin banyak pula orang-orang Turki yang menduduki posisi penting di istana.

Al-Watsiq meninggal dunia akibat sakit saat usianya 36 tahun. Karena almarhum tidak menunjuk seorang penerus, tampuk kekuasaan ditentukan oleh majelis yang terdiri atas perdana menteri, kadi utama, serta Itakh, seorang jenderal beretnis Turki. Mereka sepakat untuk mengangkat saudara tiri al-Watsiq, Ja’far, sebagai khalifah baru dengan gelar al-Mutawakkil ‘ala Allah (‘dia yang bertawakal kepada Allah’).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat