Ustaz Aba Abror Al Muqoddam, dai muda asal Pulau Bawean, Jawa Timur. Alumnus Universitas al-Azhar Kairo ini membagikan kiat dalam menjaga spirit Ramadhan. | DOK IST

Hiwar

Kiat Menjaga Spirit Ramadhan Usai Bulan Suci

Jadilah orang yang rabbani, jangan hanya orang yang ramadhani.

 

Setiap habis Ramadhan, ada dua kondisi yang umumnya terjadi pada orang Islam. Pertama, semangat beribadah kian meningkat. Kedua, spirit yang sama justru mengendor karena merasa “bulan suci telah berlalu".

Menurut Ustaz Aba Abror Al Muqoddam, ada banyak kiat untuk menjaga semangat ketaatan kepada Allah SWT walaupun Ramadhan sudah usai. Mubaligh kondang asal Pulau Bawean, Jawa Timur, itu memandang, Ramadhan dapat dianggap sebagai madrasah. Keberhasilan seseorang menempuh “madrasah Ramadhan” baru bisa dinilai setelah dirinya melewati bulan tersebut.

Karena itu, alumnus Universitas al-Azhar Kairo ini berpendapat, seorang mukmin hendaknya berkarakteristik rabbani, alih-alih sekadar ramadhani. “Adapun orang yang saya sebut ramadhani itu taatnya sekadar pada bulan Ramadhan. Usai Ramadhan, semangat beribadahnya kembali kendor,” paparnya.

Ia mengingatkan, salah satu spirit Ramadhan ialah menyegerakan dan memperbanyak berbagi. Apalagi, saat ini banyak masyarakat yang belum pulih dari dampak global pandemi. Wabah Covid-19 telah berefek tidak hanya bagi kesehatan fisik, tetapi juga keadaan perekonomian sehari-hari.

“Ini Ramadhan kedua yang terjadi saat virus Covid-19 masih melanda. Saya berdoa, mudah-mudahan Allah segera mengangkat wabah ini,” kata Ustaz Aba.

Bagaimana menjaga disiplin amalan sesudah Ramadhan, baik itu ibadah mahdhah maupun muamalah? Untuk menjawabnya, berikut petikan wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, dengan pengasuh kajian tasawuf Ikatan Warga Muslim Indonesia-Taiwan (Iwamit) tersebut. Bincang-bincang dilakukan di kediamannya di Pulau Bawean, Gresik, Jatim, beberapa waktu lalu.

Bagaimana bulan suci Ramadhan menempa diri kolektif umat Islam, menurut Anda?

Tiap bulan suci Ramadhan, biasanya kita akan sangat bergelora, bersemangat, untuk beribadah. Tapi, bukan tidak mungkin, setelah itu ibadah kita loyo lagi. Karena itu, menurut saya, Ramadhan juga bisa kita lihat sebagai sekolah, madrasah besar.

Inilah bulan madrasah ruhiyah. Di dalamnya, kerohanian dan jiwa kita dididik agar lebih disiplin ibadah dan lebih bertakwa kepada Allah SWT. Memang, Ramadhan memiliki daya tarik tersendiri, baik itu dalam soal waktu, tempat, maupun keadaan.

Seperti apa gravitasi Ramadhan itu?

Dalam soal tempat, Ramadhan memang berdaya tarik. Kita ambil contoh saja, orang-orang jadi lebih bersemangat shalat di masjid atau memakmurkan masjid. Memang, ada tempat-tempat yang otomatis memunculkan motivasi tersendiri buat melakukan ibadah. Misalnya, Masjidil Haram.

Nah, kalau tarikan waktu, tentunya pada bulan suci Ramadhan orang cenderung gemar melakukan ibadah, seperti tadarus Alquran, sedekah, dan sebagainya. Kita juga lebih suka beribadah karena keadaan Ramadhan itu sendiri. Di dalamnya, pahala dilipatgandakan oleh Allah SWT. Karenanya, Ramadhan sudah seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Kaitannya dengan Ramadhan sebagai bulan madrasah rohani?

Dari semua bulan yang ada, hanya Ramadhan yang di dalamnya kita diwajibkan berpuasa. Nah, puasa Ramadhan itulah madrasah rohani bagi setiap Muslim. Keadaan istimewa ini harus betul-betul kita manfaatkan. Sebab, datangnya dia (puasa wajib) secara temporer saja, yakni dalam setahun hanya satu bulan.

Apa tolok ukur seseorang sukses melalui “madrasah” Ramadhan?

Sebagaimana kita ketahui, dalam tatanan kehidupan madrasah penentuan sukses tidaknya baru bisa dinilai setelah seseorang keluar dari lembaga tersebut. Apakah orang itu berhasil menyerap, menghayati pelajaran-pelajaran yang diterimanya selama sekolah, itu justru dinilai ketika dia sudah keluar (dari sekolah).

Sama seperti ketika seseorang mondok di pesantren atau bersekolah. Ketika ada di pondok, seorang santri biasanya rajin mengaji, shalat tahajud dan lain sebagainya. Itu tidak mengherankan. Sebab, lingkungannya memang masih membentuk karakternya seperti itu. Namun, kesuksesannya dalam menyerap nilai-nilai positif justru akan tampak ketika dirinya keluar dari pondok atau madrasah tersebut.

Jadi, bagaimana menjaga nuansa Ramadhan agar selalu di hati dan pikiran walaupun bulan suci telah lewat?

Yang mesti kita renungkan, bagaimana terus menstabilkan semangat beribadah kita agar seperti Ramadhan. Kalau menurut saya, hendaklah kita menjadi orang yang rabbani, bukan sekadar ramadhani.

Apa artinya itu? Kalau yang rabbani, seseorang ibadahnya sudah berorientasi kepada Allah saja. Maka, ketaatan dan semangatnya dalam beribadah berlangsung secara terus-menerus. Sebab, dia sadar bahwa kapanpun dan di manapun, Allah terus mengawasinya, Mahamelihat segala yang dilakukannya.

Adapun orang yang saya sebut ramadhani itu taatnya sekadar pada bulan Ramadhan. Usai Ramadhan, semangat beribadahnya kembali kendor. Maka, jadilah orang yang rabani, jangan hanya orang yang ramadhani.

 

Apa terus membiasakan puasa sunah setelah Ramadhan bisa menjadi contoh menjaga semangat rabbani?

Bisa juga. Sebab, puasa wajib ada di Ramadhan. Namun, puasa-puasa sunah masih banyak yang bisa kita laksanakan setelah Ramadhan. Misalnya sekarang puasa sunah enam hari di bulan Syawal. Lalu, ada puasa Nabi Daud, puasa senin-kamis, dan lain-lain.

Sebenarnya, tidak hanya puasa. Donasi pun begitu. Di Ramadhan, kita ada (melakukan) zakat fitrah. Di luar Ramadhan pun, banyak jalan bederma, misal sedekah, infak dan lain-lain.

Shalat sunah juga. Ada tarawih di Ramadhan. Di luar Ramadhan, kita hendaknya terus membiasakan diri mendirikan shalat Tahajud di sepertiga malam. Inilah yang disebut sebagai penerapan nuansa Ramadhan di luar bulan Ramadhan.

Maksudnya penerapan itu?

Jadi, pendiri Tarekat Syadziliyah, Syekh Abul Hasan asy-Syadzili, pernah ditanya oleh seorang muridnya tentang malam Lailatul Qadar. Momen itu disebut-sebut sebagai malam yang penuh ampunan dari Allah SWT.

Namun, menurut sang syekh, Lailtul Qadar sebenarnya bukan hanya terjadi pada setahun sekali, tetapi bahkan setiap malam. Caranya dengan menjadikan diri orang yang rabbani, bukan sekadar ramadhani.

Menurut Anda, apa saja hikmah yang dapat dipetik dari Ramadhan lalu yang berlangsung saat pandemi?

Ya, Ramadhan tahun 2021 ini kita lalui di tengah pandemi Covid-19. Ini Ramadhan kedua yang terjadi saat virus korona masih melanda. Saya berdoa, mudah-mudahan Allah segera mengangkat wabah ini.

Adanya pandemi yang belum berakhir sampai saat ini, saya kira, akan mengasah sekaligus menguji kita agar memiliki jiwa sosial, peduli pada orang-orang di kanan-kiri kita. Sebab, pandemi banyak berdampak pada perekonomian masyarakat. Maka, cukuplah pandemi ini sebagai ujian penyakit yang menimpa manusia, bukan menimpa kemanusiaan.

 
Agama ini mengajarkan, memberi sesuap nasi kepada orang yang membutuhkan itu jauh lebih utama daripada membangun seribu masjid besar.
 
 

Keduanya itu berbeda. Manusia itu jasad, sedangkan kemanusiaan adalah akhlak. Kalau menimpa manusia, wajar karena setiap orang akan sakit. Namun, ini bisa memunculkan bencana kemanusiaan (akhlak) kalau, misalnya, kita justru mengucilkan orang yang sakit Covid-19 beserta keluarganya. Kalau sudah mengucilkan, justru kita cenderung tidak peduli terhadap sesama.

Agama ini mengajarkan, memberi sesuap nasi kepada orang yang membutuhkan itu jauh lebih utama daripada membangun seribu masjid besar.

Apakah sedekah dapat menolak bala, termasuk wabah Covid-19?

Disebutkan di dalam hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Asshadaqatu tadfa'ul bala.” Artinya, sedekah itu bisa menolak bala.

Para sufi kerap menceritakan kisah yang terjadi pada zaman Nabi Sulaiman. Kisah seorang pencuri telur burung yang terselamatkan dari hukuman jin yang diperintahkan Nabi Sulaiman. Sebabnya, pencuri itu gemar menyedekahkan sebagian telurnya kepada orang yang membutuhkan.

Jadi sedekah itu sebenarnya banyak sekali manfaatnya. Di antaranya, sebagaimana tertera dalam sebuah riwayat, “Daawuu mardhakum bish shadaqati”, obatilah penyakit kalian dengan sedekah.

Artinya, ketika kita bersedekah, secara tidak langsung kita juga mendapatkan doa dari orang-orang yang menjadi pusat perhatian Allah SWT. Mereka adalah orang-orang yang tidak mampu, orang yang lemah, dan orang-orang yang teraniaya.

Sedekah yang paling utama itu adalah yang tepat sasaran. Oleh karena itu, Imam Rifai menyebutkan, “Satu suap yang engkau berikan kepada orang yang kelaparan, itu jauh lebih baik daripada engkau membangun seribu masjid besar.”

Kenapa begitu? karena tepat sasaran. Apalagi, terkadang orang membangun masjid itu megah-megahan. Memang, itu bagus. Namun, kita harus mengetahui, terkadang di kanan-kiri kita ada yang lebih membutuhkan. Bahkan, ada orang yang sampai berani mencuri uang kotak amal karena memang kelaparan.

Ramadhan sering membangkitkan semangat berbagi. Bagaimana terus melestarikan spirit ini?

Seperti yang saya sampaikan, Ramadhan sebenarnya adalah bulan madrasah. Di dalamnya, kita dilatih agar selalu rutin meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Allah memerintahkan kita untuk menjadi orang yang berbagi kemanfaatan tidak hanya pada bulan Ramadhan, tetapi juga di luar Ramadhan.

Mantan mufti Mesir yang juga seorang guru saya di (Universitas) al-Azhar, Prof Dr Syekh Ali Jum’ah, pernah ditanya oleh seseorang. “Wahai Imam,” tanyanya, “mana yang lebih utama, mengeluarkan sedekah di bulan Ramadhan atau luar Ramadhan? Sebab, saya melihat bulan itu sangat mulia dengan mengeluarkan zakat, tapi di luar Ramadhan pun saya melihat orang yang lebih membutuhkan.”

Syekh Ali menjawab, lebih utama dikeluarkan di luar bulan Ramadhan ketika melihat orang yang sangat membutuhkan. Maksudnya, di situ Imam Syekh Ali Jumu’ah menyoroti dua hal. Pertama, dari segi waktu. Yang paling utama mengeluarkan zakat atau sedekah adalah pada bulan Ramadhan.

Namun, di sisi lain, ia juga ingin mengedepankan sisi kemanusiaan. Sebab, umpamanya, ketika ada orang kelaparan, maka tidak mungkin kita masih menunggu datangnya Ramadhan. Kita jangan hanya “terjebak” pada Ramadhan saja. Ketaatan kepada Allah harus kita berikan standar maksimal setiap saat.

 

photo
Ustaz Aba Abror Al Muqoddam (ketiga dari kiri) bersama para tokoh masyarakat di Pulau Bawean. - (DOK IST)

Dari Bawean Hingga Mancanegara

 

Bawean adalah sebuah pulau di lepas pantai Laut Jawa. Secara administratif, wilayah itu termasuk Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Jaraknya dari pesisir sekira 120 km.

Sejarah mencatat, pulau yang berpenduduk sekira 100 ribu jiwa itu terus memunculkan ulama-ulama masyhur dari generasi ke generasi. Sebut saja, Syekh Muhammad Zainuddin al-Baweani atau Syekh Muhammad Hasan Asy’ari. Keduanya pernah mengajar di Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah, Tanah Suci.

Kini, pulau yang kaya akan potensi pariwisata alam itu juga mencetak pendakwah-pendakwah muda. Di antaranya adalah Ustaz Aba Abror Al Muqoddam. Alumnus Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, ini sudah menekuni dunia syiar Islam sejak masih belia. Pengalamannya dalam berdakwah sudah sampai ke banyak daerah di Indonesia dan bahkan mancanegara.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Aba Abror El Muqoddam (aba_abror_elmuqoddam)

Saat ditemui Republika baru-baru ini, Ustaz Aba mengaku kemantapan hatinya untuk terjun dalam dunia dakwah muncul sedari dini. Oleh orang tuanya, ia diarahkan untuk menekuni ilmu-ilmu agama.

Saat berusia remaja, lelaki ini menempuh sekolah di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Hasan Jufri Bawean. Di sanalah dia mulai mengenal dan mempraktikkan ilmu berpidato serta berceramah.

Seiring waktu, tekadnya kian kuat untuk menempuh studi ke Timur Tengah, khususnya Yaman. Namun, setelah membaca banyak literatur, akhirnya ia memilih belajar ke Universitas al-Azhar Mesir.

 
Di al-Azhar Kairo, ia tidak hanya kuliah di jurusan syariat, tetapi juga belajar nonformal dengan berfokus pada kajian tasawuf.
 
 

Setelah lulus dari Ponpes Hasan Jufri pada 2010, ia sempat merasa bingung karena tidak punya jaringan untuk meneruskan studi ke al-Azhar. Namun, dia bersyukur kepada Allah karena ada kemudahan baginya. Seorang gurunya merekomendasikannya untuk diterima di kampus tersebut. Pada 2011, impian itu mewujud kenyataan.

Di negeri piramida itu, ia tidak hanya kuliah di jurusan syariat, tetapi juga belajar nonformal dengan berfokus pada kajian tasawuf. Jalan salik ini dipelajarinya di Darul Hasani, yang diasuh seorang ulama asal Lebanon, Syekh Yusuf al-Hasani. Berdasarkan saran sang syekh, dia pun belajar di Asyirah al-Muhammadiya, sebuah lembaga perguruan tinggi yang konsen dalam tasawuf.

“Jadi saya di al-Azhar mengambil syariat, sedangkan di Asyirah Muhammadiyah dan Darul Hasani mengambil jurusan tasawufnya. Maka ada keseimbangan antara fikih dan tasawuf,” ujar Ustaz Abror, beberapa waktu lalu.

Pada 2017, ia kembali ke Tanah Air. Sejak itu, ketua Jatman Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Bawean tersebut aktif berdakwah di tengah masyarakat. Di samping itu, lelaki kelahiran tahun 1993 ini juga membantu ayahnya dalam mengasuh Pondok Pesantren Sirojul Baroya Bawean.

Menurutnya, dai-dai dari generasi senior dan muda mesti terus bersinergi agar syiar Islam selalu hadir. “Ketika bergandengan dengan yang sepuh, kita bisa mendapatkan kebijaksaan. Sementara, ghirah biasanya kita dapatkan dari yang muda-muda. Kombinasi inilah yang akan menghasilkan hikmah,” tuturnya.

Selain Bawean, cakupan dakwah Ustaz Abror juga telah ke banyak daerah, termasuk Jatim, Aceh, dan Jakarta. Khususnya sebelum pandemi melanda, dia beberapa kali diundang berceramah ke beberapa negara, seperti Malaysia dan Taiwan.

Selain lewat lisan, dia juga berdakwah dengan tulisan. Di antara karya-karyanya adalah Tathrizul Amal Litahqiqis Sa'adati wal Kamal dan Risalatutta'arruf  'an Mahiyati at-Tasawwuf.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat