Seorang remaja tampak menggunakan gawainya (ilustrasi) | Republika / Darmawan

Keluarga

Agar Anak tidak Kecanduan Main Gawai

Kalangan remaja atau generasi Z menjadi kelompok yang mendominasi pengguna internet di Indonesia.

Memiliki dua buah hati yang beranjak remaja sempat membuat Iwan Kurniawan (44 tahun) gelisah. Dia merasakan kedua buah hatinya yang sudah duduk di sekolah menengah itu lebih banyak bermain gawai ketimbang bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

"Apalagi saat pandemi saat ini, makin lama saja main gawainya," kata karyawan swasta yang berdomisili di Bandung ini saat dihubungi Selasa (25/5) lalu.

Bahkan, katanya, ketika berkunjung ke salah satu saudaranya untuk bersilaturahim singkat saat Idul Fitri, keduanya juga asyik saja bermain gawai. "Mereka sibuk main gadget dan hanya menjawab seperlunya saat ditanya," ujar Iwan dengan nada kesal.

Hal serupa juga turut dirasakan Intan Gurnita Widiatie. Ibu dengan lima anak ini merasakan masa remaja sang buah hati memberikan tantangan lebih rumit daripada saat bayi atau kanak-kanak. Maklum saja, empat anak Intan sudah berusia remaja.

Di era digital, tentu ada masa di mana kekhawatiran anak terlalu lama bercengkerama dengan gawai dan mengakses konten negatif. “Kalau balita mungkin sebatas kelelahan fisik, kebutuhan makan atau lebih bisa terukur. Tapi kalau remaja beda lagi. Saya sempat sekolah parenting saat anak masuk remaja,” kata Intan.

Ketika anak-anaknya beranjak remaja, Intan jadi punya misi agar senantiasa bisa menjadi rumah bagi anak-anaknya. Setiap permasalahan yang dihadapi anak, Intan ingin mereka mengungkapkan itu kepadanya.

Intan banyak memperhatikan bahwa hubungan orang tua dan anak kerap kurang harmonis seiring bertambah usia seorang anak. Sebab anak mulai punya banyak keinginan, suara lebih mendominasi, dan orang tua yang tidak bisa bersikap fleksibel, maka bisa saja terus berbenturan dengan anak.

“Zaman kian berubah, anak bisa mengakses semua informasi. Saya harus mengiringi langkah anak-anak,” ujar ibu rumah tangga yang juga CEO Label Musik Sorai itu.

Ketika anak-anak berada di usia remaja dan mulai masuk ke platform digital, Intan merasa perlu untuk ikut berada di sana, memahami dunia baru tersebut dan mendampingi mereka. Dia pun berharap selalu mendapatkan gambaran tentang apa saja yang bisa dilakukan untuk membimbing anak remajanya menjadi warga digital yang bijak.

photo
Sejumlah pelajar melakukan registrasi kartu perdana yang dibagikan untuk belajar online di SMK Negeri 8 Jakarta. (ilustrasi)- (Republika/Putra M. Akbar)

Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbud, Hendarman menilai, teknologi tentu adalah keniscayaan. Di sinilah peran oran tua perlu masuk ke dalam dunia anak, mulai dari mengetahui, memahami dan membimbing. Hendarman menanggapi kegiatan anak yang gandrung terhadap platform digital, seperti TikTok.

Hal yang menentukan bagus atau tidaknya platforma digital yang dipilih tentu tergantung orang tua dan anak. “Kalau berlebihannya bagus-bagus ya jadi bagus, kecuali negatif memang jadi jelek, tapi ada pengontrolan yang ditawarkan dari TikTok,” ujar Hendarman.

Karakter anak remaja dibentuk oleh orang tua. Hendarman melihat kaum milenial tentu menghadapi masa dengan maraknya platform yang bisa diakses. Mereka menggunakan platform yang menarik dengan berbagai fitur yang lebih mudah ditangkap. “Karakter tidak hanya bisa diandalkan kepada sekolah. Jadi dengan adanya pandemi dan belajar di rumah, mau tidak mau orang tua bertanggung jawab,” ujar Hendarman.

Jika orang tua menghindari tanggung jawab, artinya dia menghindari kodratnya. Karakter anak tidak tumbuh mendadak, melainkan melewati proses panjang dan kemudian terbentuk.

Kemendikbud mempopulerkan istilah 'Cinta' untuk penerapan karakter positif. "Orang tua harus menunjukkan bahwa mereka juga teladan, jangan membuat anak bingung. Ingat tujuan positif selama proses pengasuhan. Normalisasi diskusi isu sosial dengan anak sesuai tahapan usia. Ini berarti orang tua harus menyesuaikan, tidak bisa berbicara dengan cara yang sama antara kepada anak 10 tahun dan 17 tahun," kata Hendarman.

Anak-anak juga, lanjutnya, mengalami perkembangan sosial psikologis yang berbeda. Orang tua harus menjadi tempat aman dan nyaman bagi anak mencurahkan perasaannya. "Amati momen-momen yang bisa dijadikan pelajaran bagi anak. Orang tua harus bisa melihat kehidupan keluarga atau lingkungan dengan melihat hal-hal menarik. Kata kuncinya, koneksi batin perlu ditingkatkan dalam kaitan keberadaan orang tua dan anak," ujar dia.

Pada dasarnya, kesuksesan penguatan pendidikan karakter bergantung sinergi ekosistem, orang tua, tenaga pendidik. Semua elemen harus sama-sama, bersinergi, tidak bisa mengandalkan salah satu pihak. Tidak bisa orang tua menyerahkan semuanya kepada tenaga pendidik. “Mau lari ke mana orang tuanya, itu kan anaknya sendiri. Bertanggungjawablah daripada bertanggung jawab di hari akhir,” kata Hendarman.

 

 

 

Mau lari ke mana orang tuanya, itu kan anaknya sendiri. Bertanggungjawablah daripada bertanggung jawab di hari akhir.

 

Hendarman, Ph.D
 

 

Menjadi Warga Digital yang Bijak

Di Indonesia, menurut hasil riset Alvara Research Center terdapat kenaikan yang sangat signifikan terkait konsumsi internet masyarakat pada Juni 2020. Dalam satu hari, waktu pengguna dalam mengakses internet meningkat dari empat hingga enam jam per hari menjadi lebih dari tujuh dalam per hari. Kalangan remaja atau generasi Z menjadi kelompok masyarakat yang mendominasi pengguna internet di Indonesia.

Namun di balik itu, ada data yang mengenaskan. Menurut 2020 Child Online Safety Index, 64 persen remaja Asia Tenggara pernah mengalami setidaknya satu risiko dunia maya, seperti perundungan dunia maya, kontak berisiko, dan konten berisiko.

TikTok melihat fenomena ini patut menjadi perhatian bagi orangtua untuk turut berperan membimbing aktivitas anak remajanya di dunia maya.  Untuk membantu orang tua membangun pemahaman dan komunikasi dengan anak remajanya untuk menjadi warga digital yang bijak, TikTok dan DQ Institute meluncurkan Toolkit Keamanan Keluarga TikTok.

Toolkit berisi panduan dan tool bagi orangtua dalam memahami pengasuhan anak secara digital sebagai upaya menciptakan lingkungan siber aman ini sudah dapat diakses di Pusat Keamanan TikTok.

“Penting memberdayakan orangtua dengan tips pengasuhan digital yang sederhana dan praktis untuk mendukung aktivitas digital anak remaja mereka dalam menavigasi TikTok dan aplikasi lain dengan aman dan bertanggung jawab,” kata Yuhyun Park, pendiri DQ Institute.

Untuk mengontrol penggunaan platform digital anak, orang tua bisa memperhatikan waktu, konten maupun mengontrol akun anak dari perangkat ortu sendiri. Donny Eryastha, Head of Public Policy TikTok Indonesia, Malaysia, dan Filipina mengatakan Toolkit Keamanan Keluarga TikTok berisikan 10 tips tentang pengasuhan digital pada anak remaja yang mudah diterapkan oleh orangtua untuk aktivitas di platform digital mana pun, tidak hanya untuk platform TikTok.

Toolkit ini merupakan modul yang bisa dibaca untuk wawasan orang tua. Ada batasan usia, tips pengasuhan. Fitur Family Pairing juga ada di TikTok bisa menggabungkan akun ortu dan anak. Misalnya membatasi main TikTok berapa lama sehari. Konten yang dilihat anak apa saja, jadi dikontrol,” kata Donny.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat