ILUSTRASI Abu Bakar ash-Shiddiq merupakan seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang senior. | DOK WIKIPEDIA

Kisah

Ketika Umar Merasa ‘Kalah’

Sampai-sampai, Umar merasa “kalah” bila amalannya disandingkan dengan Abu Bakar.

 

OLEH HASANUL RIZQA

Dalam menyebarkan syiar Islam, Nabi Muhammad SAW selalu diiringi para sahabat. Di antara mereka, adalah Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Sebagai insan, keduanya memiliki persamaan dan perbedaan karakteristik.

Tentu, mereka sama-sama berjuang di sisi Nabi SAW. Malahan, terdapat jalinan kekeluargaan dengan beliau. Sebab, masing-masing merupakan mertua Rasulullah SAW. Baik Aisyah binti Abu Bakar maupun Hafshah binti Umar adalah istri-istri beliau shalallahu ‘alaihi wasallam.

Sementara, antara Abu Bakar dan Umar pun ada perbedaan sifat. Khalifah pertama dalam jajaran khulafaur rasyidin tersebut memiliki perangai yang lemah-lembut, sedangkan sosok bergelar al-Faruq ini cenderung keras dan tegas.

Jangankan manusia kafir, setan pun lebih suka menghindar dari pandangan Umar. Pernah Nabi SAW bersabda, “Wahai Ibnul Khatthab, demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh tidaklah setan berpapasan denganmu pada suatu jalan kecuali ia akan memilih jalan selain yang dilaluimu.” (HR Bukhari-Muslim).

 
Jangankan manusia kafir, setan pun lebih suka menghindar dari pandangan Umar.
 
 

Sesudah wafatnya Rasulullah SAW, mereka berdua secara berurutan memegang tampuk kepemimpinan sebagai amirul mukminin. Tidak hanya bagi Umar, seluruh Muslimin saat itu pun memandang Abu Bakar sebagai sahabat senior yang tidak diragukan lagi kedekatannya dengan Nabi SAW.

Ayahanda Siti Aiysah RA itulah yang mendampingi Rasul SAW saat hijrah dari Makkah ke Madinah. Menjelang meninggalnya pun, beliau sempat menyuruh Abu Bakar untuk menggantikannya sebagai imam shalat.

Karena itu, umat Islam saat itu sepakat sepenuhnya untuk berbaiat kepada Abu Bakar. Para sahabat, termasuk Umar, pun selalu menaati instruksi dan kebijakan sang tokoh bergelar ash-Shiddiq ini.

Dalam pandangan Umar, Abu Bakar sungguh merupakan sosok yang amat teliti meniru keteladanan Rasulullah SAW. Inilah yang membuatnya kagum. Bahkan, lelaki asal Bani Adi ini kerap mengakui, dirinya kalah dari Abu Bakar dalam pelbagai aspek kebajikan.

Pernah suatu kali, Umar berpapasan dengan Khalifah Abu Bakar saat sedang menuju pasar. Umar heran karena sang pemimpin tampak memanggul bertumpuk-tumpuk kain di atas punggungnya. “Hendak ke mana engkau?” tanyanya.

“Ke pasar,” jawab Abu Bakar.

“Ke pasar? Untuk apa engkau ke sana? Bukankah sekarang engkau khalifah dan punya kewajiban mengurus umat?” tanya Umar lagi.

“Kalau aku tidak berdagang, dari mana kuperoleh nafkah untuk keluargaku?” jawabnya singkat.

Umar termenung sejenak. Ia baru mengetahui, ternyata Abu Bakar sebagai pemimpin tidak mendapat gaji sama sekali. Padahal, kendali atas kas negara (baitul maal) berada di tangan sang khalifah sepenuhnya.

 
Ia baru mengetahui, ternyata Abu Bakar sebagai pemimpin tidak mendapat gaji sama sekali.
 
 

Sejak itu, Umar mengusulkan agar khalifah bisa mendapatkan gaji dari baitul maal. Melalui musyawarah dengan para sahabat Nabi SAW, usulan tersebut kemudian disetujui. Bagaimanapun, tetap saja hal itu tak mengubah kepribadian Abu Bakar yang bersahaja.

Dalam kesempatan lain, Umar juga pernah menyelidiki kebiasaan Abu Bakar yang “aneh". Setiap usai shalat fajar, ia mendapati, sang khalifah selalu pergi ke arah padang pasir. Barulah setelah itu, Abu Bakar kembali lagi ke Madinah dan menjalankan rutinitas hariannya.

Dalam hatinya, Umar pun bertanya-tanya, untuk apa Abu Bakar pergi ke gurun sesudah matahari terbit? Kepergiannya pun selalu seorang diri, tanpa ditemani siapa-siapa. Maka, pada suatu hari Umar memutuskan untuk membuntuti sang khalifah.

Dari jarak yang cukup jauh, Umar melihat Abu Bakar sedang mendatangi sebuah tenda kumuh di tengah gurun. Cukup lama sahabat berjulukan ash-shiddiq itu berada di dalamnya. Umar terus berdiri di balik batu besar agar tersembunyi dari penglihatan sang khalifah.

Akhirnya, Abu Bakar keluar dari tenda tersebut. Setelah memastikan sang amirul mukminin telah menjauh, Umar segera mendekati kemah yang usang itu. Di dalamnya, ia mendapati seorang ibu yang berusia tua beserta anak-anaknya. Semua berpakaian lusuh, tetapi keceriaan tampak dari wajah-wajah mereka.

Umar meminta izin masuk ke sana, sementara seisi tenda sedang menikmati makanan.

“Siapa yang tadi datang pada kalian?” tanya Umar.

“Aku tidak tahu namanya, tetapi pasti dia seorang Muslim. Semoga Allah merahmatinya. Dia selalu datang kemari setiap pagi,” jawab perempuan tua tersebut.

“Memang, apa saja yang dia lakukan?”

“Setiap datang, dia selalu menyapu rumah kami, memasak untuk kami, memeras susu ternak kami, dan bahkan sering membawakan kepada kami bahan-bahan makanan. Sesudah itu, dia pergi lagi,” jelasnya.

Umar terdiam. Sesudah pamit, ia bergumam dalam hati, “Wahai Abu Bakar, sungguh engkau membuat lelah (amirul mukminin) penggantimu.”

 
Keteladanan yang dilakukan Abu Bakar—baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi—begitu luar biasanya.
 
 

Maksudnya, Umar berpandangan, keteladanan yang dilakukan Abu Bakar—baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi—begitu luar biasanya. Sampai-sampai, Umar sendiri merasa “kalah” bila amalannya disandingkan dengan sang seniornya itu.

Dalam satu riwayat lain, Umar pernah bercerita, “Suatu ketika, kami pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk mendermakan harta kami. Kebetulan, aku memiliki harta, dan aku bertekad untuk bisa melampaui kedermawanan Abu Bakar.”

Saat itu, Umar langsung membawa harta miliknya ke hadapan Nabi SAW. Melihat kedatangannya, Rasulullah SAW bertanya, “Apakah engkau menyisakan hartamu untuk keluargamu, wahai Umar?”

“Ya, wahai Nabi Allah,” jawab Umar.

Tidak berselang lama, Abu Bakar datang juga dengan hartanya. Nabi SAW juga bertanya, “Apakah engkau juga menyisakan harta untuk keluargamu, ya Abu Bakar?”

“Aku hanya sisakan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka,” jawabnya.

Mendengar itu, Umar berkata, “Demi Allah, saya benar-benar tidak mampu menyaingi kedermawanan Abu Bakar seumur hidupku.” (HR Tirmidzi).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat