Ilustrasi zoom meeting | Pixabay

Inovasi

Interaksi Virtual Picu Permak Penampilan

Terlalu banyak konferensi video mendorong kian banyak orang ingin operasi plastik.

Selama pandemi, Zoom menjadi aplikasi yang paling mencuri perhatian masyarakat global. Dalam perjalanannya, Zoom ternyata tak hanya membantu anak-anak tetap belajar selama sekolah dilakukan di rumah, atau menunjang produktivitas pekerjaan, tapi juga menimbulkan fenomena sosial baru.

Selama bertahun-tahun, Marie, seorang wanita dengan nama samaran yang tinggal di Bay Area, mengalami tingkat kerentanan yang luar biasa. Sehari-hari, ia mengajar bahasa Inggris kepada siswa baru sekolah menengah.

Menurut Marie, anak usia 14 tahun adalah kelompok usia yang paling gemar menghakimi satu sama lain. “Saya berdiri di depan mereka selama berjam-jam setiap hari dan saya tidak merasakan tingkat kesadaran diri yang mulai saya rasakan, ketika saya harus menggunakan Zoom sepanjang waktu,” kata Marie, dilansir dari InsideHook, Senin (24/5).

Saat ini, Marie yang berusia 27 tahun, sedang sibuk bekerja untuk meraih sarjana manajemen proyek. Namun, saat ini Marie terpaksa melakukan banyak sekali panggilan konferensi video.

 
Saat melihat diri saya di Zoom dan pencahayaannya tidak tepat, itu benar-benar memicu rasa kesal saya.
 
 

Sebelum pandemi, dia telah berupaya mengobati gangguan obsesif kompulsif (OCD) dan gangguan kecemasan yang ia alami sejak didiagnosis pada usia 22 tahun. Karena pembatasan sosial yang dipicu oleh Covid-19, untuk pertama kalinya ia menyadari saat ini ia juga tengah mengalami gangguan yang lain.

Marie mengaku, kini ia sangat sensitif dengan penampakan hidungnya. “Saat melihat diri saya di Zoom dan pencahayaannya tidak tepat, itu benar-benar memicu rasa kesal saya. Saya selalu memeriksanya,” ujarnya.

Marie mengungkapkan, obsesi itu kemudian mengambil alih delapan hingga 12 jam harinya. Pada satu titik, Marie bahakan menjadi yakin dia akan mencari perbaikan hidung tanpa operasi.

Ia pun berupaya keras melawan gejala Zoom dysmorphia agar dapat berinteraksi dengan lebih nyaman di platform tersebut. Zoom dysmorphia adalah bentuk gangguan dysmorphic tubuh, lebih khusus lagi dysmorphia wajah. Ini adalah kondisi di mana seseorang memiliki persepsi yang salah tentang fitur wajah mereka.

“Saya pikir sangat penting untuk membicarakan tentang kesehatan mental dan saya senang bahwa hal itu menjadi lebih umum untuk dibicarakan,” ujar Marie.

Fenomena Baru

photo
Ilustrasi stres akibat terlalu banyak meeting daring - (Pexels/Andrea Piacquadio)

Marie ternyata tidak sendiri dalam perjuangan ini. Pada November 2020, dokter kulit bersertifikat Arianne “Shadi” Kourosh mengangkat isu Zoom dysmorphia yang kini ia amati terus mengalami peningkatan. Menurutnya, tren ini terjadi ketika seseorang terpaku pada kekurangan yang dirasakan dalam penampilan mereka yang muncul saat panggilan konferensi video.

“Kehidupan yang dihabiskan secara tidak proporsional di Zoom dapat memicu respons komparatif kritis diri,” tulis Kourosh.

Zoom dysmorphia pun kini menjadi populer karena Kourosh memberi nama pada sesuatu yang begitu banyak orang lain di komunitas medis, dan masyarakat pada umum amati. Setelah berkolaborasi dengan empat rekan lain dalam survei terhadap 134 penyedia dermatologis di seluruh Amerika Serikat (AS), data terkait fenomena baru ini pun muncul.

Dalam laporan di International Journal of Women’s Dermatology Januari lalu, lebih dari separuh profesional medis yang disurvei telah memperhatikan peningkatan pasien yang mencari konsultasi kosmetik, dibandingkan dengan waktu sebelum pandemi. Sebanyak 86 persen dari mereka mengungkapkan, para pasien menyebut panggilan konferensi video sebagai alasan untuk mempertimbangkan perubahan pada penampilan mereka.

Tren ini ternyata tak hanya terjadi di AS. Menurut artikel BBC pada September 2020, British Association of Aesthetic Plastic Surgeons juga mengungkapkan, para dokternya melaporkan peningkatan permintaan konsultasi virtual hingga 70 persen selama tahap awal pandemi.

Dr Zama Tladi selaku kepala klinik estetika medis di Pretoria, Afrika Selatan, mengatakan kepada InsideHook bahwa dia juga mengamati peningkatan signifikan pada klien yang meminta perubahan pada penampilan mereka. Tren ini mengindikasikan, mereka didorong oleh ketidakpuasan dalam cara mereka melihat diri mereka sendiri selama melakukan panggilan konferensi video.

Tladi mengungkapkan, banyak klien yang memintanya untuk menghilangkan garis di sekitar mulut mereka, atau biasa disebut lipatan nasolabial. “Beberapa orang lain mengeluh tentang kerutan yang ada di dekat mata mereka,” lanjutnya.

Sementara beberapa kliennya juga melihat adanya masalah dengan pigmentasi kulit. Mereka pun lebih suka menjalani semacam prosedur untuk “memperbaikinya” secara permanen daripada terus merias wajah.

Bagian dari Gangguan Dismorfik Tubuh

Bagi orang yang hidup dengan body dysmorphic disorder (BDD), jenis perilaku ini sebenarnya bukanlah hal baru. Kondisi pandemi ternyata telah menghasilkan cara baru untuk gejala BDD terwujud.

Menurut Fugen Neziroglu, PhD, seorang psikolog bersertifikat dan direktur eksekutif dari pusat perawatan dan penelitian Bio Behavioral Institute di Long Island, mengungkapkan, perilaku para penderita BDD biasanya dapat dilihat dari kebiasannya yang terus-menerus mengaca. “Banyak orang mengira mereka narsistik, tapi justru sebaliknya. Orang-orang ini merasa sangat jelek dan mereka ingin bersembunyi dari orang lain,” ujarnya.

Neziroglu menambahkan, orang-orang ini memiliki gagasan tentang bagaimana mereka ingin terlihat dan berupaya mengejar cara apapun agar dapat mengubah penampilannya. Hal ini bisa dilakukan dengan operasi kosmetik atau pilihan yang lebih terjangkan. Misalnya, dengan terus-menerus mendorong hidung mereka atau merapikan gigi dengan kikir kuku. 

Bermuara dari Aplikasi

photo
Ilustrasi meeting online - (Pexels/Cottonbro)

Zoom dianggap merupakan tempat yang sempurna untuk gejala BDD karena apa yang kita lihat di layar bukanlah representasi akurat dari penampilan kita. Ukuran lensa dan jarak subjek, menjadi pertimbangan krusial dalam fotografi.

Hal ini kemudian secara dramatis memengaruhi bagaimana permasalahan ini muncul. Wajah pada platform konferensi video paling sering diambil pada lensa kecil dari dekat. “Kami menemukan bukti, kamera depan pada perangkat, seperti laptop dan ponsel, sebenarnya lebih mengubah proporsi wajah daripada kamera kelas profesional,” ungkap dokter kulit bersertifikat Arianne Shadi Kourosh.

Selain Zoom dysmorphia, ada pula fenomena Snapchat dysmorphia. Ini adalah ketika orang sangat terpaku pada penampilan mereka di filter foto aplikasi, sehingga mencari operasi plastik.

Salah satu makalah jurnal medis yang diterbitkan pada 2018 mengaitkan Snapchat dysmorphia dengan BDD, dan Kourosh mengatakan, beberapa kasus Snapchat dysmorphia sangat mendalam, sehingga orang-orang mencari perubahan yang tidak dapat diselesaikan dengan operasi plastik.

Dengan maraknya filter media sosial dan platform konferensi videoyang memiliki fitur “penyempurnaan” wajah, Kourosh mengamati, orang-orang akan semakin kehilangan gambaran tentang seperti apa proporsi estetika normal wajah yang sebenarnya.

Di Nubian Medical Aesthetics di Afrika Selatan, Dr Zama Tladi menjelaskan, ketika klien membuat permintaan yang tampaknya berasal dari BDD, ia akan meminta mereka menemui spesialis kesehatan mental terlebih dahulu. “Saya tidak dapat memperbaiki sesuatu yang bahkan tidak dapat saya lihat dengan mata saya,” ujarnya. 

 

 
Kamera depan pada perangkat, seperti laptop dan ponsel, lebih mengubah proporsi wajah daripada kamera kelas profesional. 
ARIANNE SHADI KOURUSH, Dokter kulit bersertifikat dan Asisten Profesor Sekolah Kedokteran Harvard.
 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat