
Opini
Ajakan Mesir Ngopi Bareng Israel-Hamas Berbuah Perdamaian
Membayangkan Israel dan Palestina bisa ngopi bareng setiap saat tanpa ada kekerasan lagi.
MUKTI ALI QUSYAIRI, Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat
Mungkin Israel dan Palestina kurang ngopi atau jarang ngopi sehingga konflik terus-terusan, kata temanku via WahtsApp. Perkataan ini cukup berkesan. Mengapa tidak?
Per hari Selasa, 18 Mei 2021, Israel Defense Forces (IDF) melaporkan bahwa Hamas sudah menembakkan 3.150 roket dari Gaza ke Israel. Sepuluh korban meninggal yang semuanya adalah warga sipil di wilayah Israel. Dari 10 korban itu, dua orang Arab dan dua anak-anak.
Iron Dome sebagai alat canggih penangkal roket efektivitasnya 90 persen, sehingga ada roket yang berhasil menembus wilayah Israel. Selain itu, roket-roket yang ditembakan Hamas dibiarkan jatuh di gurun sahara yang tak berpenghuni di wilayah Israel yang dengan sengaja tidak di-cover oleh Iron Dome.
Diberitakan juga bahwa sijeel rudal Hamas menjebol sistem pertahanan kubah besi Israel. Iron Dome bukan berbentuk kubah besi melainkan sebuah sistem teknologi penangkal roket. Mana kala ada roket langsung secara otomatis dideteksi oleh Iron Dome dan menghampirinya sehingga menabrak atau bersisian dengan rudal Hamas lalu meledak di udara.
Sejak dulu saya bertanya-tanya, mengapa setiap perang atau setiap mendapatkan serangan, korban dari penduduk Israel boleh dibilang sangat sedikit jika dibandingkan jumlah roket yang ditembakkan pihak Hamas? Per hari Selasa, 18 Mei 2021, dari 3.150 roket Hamas, menewaskan 10 orang Israel.
Mengapa setiap perang atau setiap mendapatkan serangan, korban dari penduduk Israel boleh dibilang sangat sedikit?
Terkonfirmasi bahwa beberapa alat pengamanan dan perlindungan bagi rakyat Israel, selain adanya Iron Dome dan teknologi canggih yang dimiliki Israel, juga terdapat aplikasi “Red Alert: Israel” yang ada di setiap handphone penduduk Israel yang wajib diinstal —bahkan kita yang ada di Indonesia serta seluruh penduduk di seluruh dunia juga bisa menginstalnya. Jika ingin mengetahui perkembangan Israel-Palestina, maka bisa menginstal aplikasi “Red Alert: Israel”.
Aplikasi Red Alert: Israel itu berfungsi sebagai alarm untuk memberitahu akan ada serangan roket, bom, dan senjata perang lain dari luar ke Israel. Aplikasi alarm itu akan berbunyi kencang isyarat setiap warga Israel harus memasuki bomb shelter (bunker). Di setiap kompleks permukiman Israel atau tempat rekreasi serta tempat-tempat perkantoran dibangun bunker sebagai bomb shelter.
Selain itu, di setiap sudut ruang publik, seperti terminal, tempat rekreasi, sekolahan, kampus, rumah sakit, di jalan-jalan dipasang sirine yang secara otomatis akan menyala dan berbunyi kencang sebagai tanda akan ada serangan dari luar. Sirine ini mengimbau agar seluruh rakyat segera berlindung ke bomb shelter.
Aplikasi Red Alert: Israel itu berfungsi sebagai alarm untuk memberitahu akan ada serangan roket, bom, dan senjata perang lain dari luar ke Israel.
Sedangkan di pihak Gaza—masih dalam laporan IDF—per hari Selasa, 18 Mei 2021, terdapat kurang lebih 820 tempat dihancurkan atau hancur. Sebanyak 130 anggota Hamas Gaza terbunuh.
Dari 3.150 roket Hamas, terdapat 460 roket yang gagal orbit dan meledak di tempat. Runtuhnya bangunan dan korban-korban yang ada di Gaza sebagian disebabkan roket-roket Hamas yang gagal orbit dan sebagian karena serangan udara dan darat dari pihak Israel.
Hamas menembakkan roket dari permukiman warga Gaza, sehingga ketika Israel memberi balasan pun alih-alih mengarah ke Hamas, warga Gaza pun terkena juga. Syahdan, Israel ketika menyerang dan hendak menembak roboh satu gedung yang dianggap sebagai markas Hamas satu jam sebelumnya memberitahu lewat selebaran udara bahwa Israel akan mengarah ke gedung yang dituju dan warga setempat supaya mengevakuasi dan menjauhinya.
Akan tetapi, tetap saja serangan Israel mengenai warga sipil Gaza. Per 20 Mei 2021, dalam seminggu serangan Israel menewaskan setidaknya 217 warga dan melukai 1.400 warga Gaza yang di wilayah yang dikuasai kelompok Hamas. Tetap saja serangan Israel mengenai warga sipil Gaza. Hal ini tentu harus dihentikan.
Kalau kita ikut perkembangannya, per hari Sabtu 15 Mei 2021, Hamas baru menembakkan 1.700 roket. Tiga hari kemudian, 18 Mei, sudah bertambah secara signifikan 3.150 roket. Dilaporkan bahwa roket-roket itu buatan Iran.
Pada Ahad, 16 Mei 2021, umat Yahudi di Israel sedang merayakan Hari Lebarannya dalam keadaan mencekam. Seandainya berhitung berapa harga per roket dan dikalikan dengan jumlah roket yang ditembakkan, maka akan ketemu angka yang cukup banyak.
Ada yang bertanya, dana darimana untuk membeli roket sebanyak itu? Apakah ada kemungkinan perang Israel-Hamas Palestina adalah perang proxy yang sebetulnya tidak dikehendak rakyat kedua negara?
Apakah yang terjadi saat ini bukan peperangan Palestina vis-à-vis Israel melainkan peperangan Israel vis-à-vis Hamas? Di masa pandemi Covid-19 yang berdampak pada krisis ekonomi, mengapa memilih untuk roket, bukan untuk menyelesaikan krisis ekonomi dan krisis kesehatan?
Realitas menyatakan bahwa perang saat ini adalah perangi Israel vis-à-vis Hamas, bukan perang Palestina vis-à-vis Israel.
Realitas menyatakan bahwa perang saat ini adalah perangi Israel vis-à-vis Hamas, bukan perang Palestina vis-à-vis Israel. Sebagaimana yang saya pahami juga dalam Facebook KH As’ad Said Ali dengan memberi judul “Konflik Senjata Israel-Hamas”, bukan “Israel-Palestina". Meski pemantiknya adalah insiden bentrok warga Palestina dengan polisi Israel di lingkungan Masjid al-Aqsha.
Menurut sebagian kalangan yang menaruh simpati kepada perjuangan Palestina, alangkah bijak jika dana dan energi untuk menangani persoalan Covid-19, kerja-kerja perdamaian dan mempersatukan seluruh faksi khususnya Fatah dan Hamas untuk memerdekakan Palestina secara komprehensif melalui meja perundingan. Perundingan yang melibatkan pihak Israel dan di dunia internasional, PBB. Selain itu untuk membangun infrastruktur serta untuk menyejahterakan rakyatnya dengan membuka lapangan kerja.
Seperti Robi Sugara, dosen UIN Jakarta, menawarkan ide agar Hamas belajar pada para pendiri bangsa Indonesia dengan bersatu untuk merdeka. Sebab perang bukanlah solusi karena rakyat yang menjadi korban.
Multimakna Kata “Free Palestina”
Di medsos rakyat Indonesia sedang viral kata “Free Palestina”. Saya memahami bahwa Free Palestina adalah komitmen Indonesia sejak zaman Bung Karno hingga detik ini. Saya yakin semua rakyat Indonesia bersepakat bahwa Palestina harus menjadi negara yang bebas, mandiri, dan betul-betul menjadi sebuah negara.
Akan tetapi, sependek yang saya amati, dalam mengartikulasikan “Free Palestina” itu terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mengartikulasikan Free Palestina dengan tetap mengakui eksistensi negara Israel. Tergolong dalam pandangan ini, yaitu Gus Dur dan belakangan juga Ulil Abshar Abdalla. Di akun Facebooknya, Ulil menyatakan “Solusi dua negara. Israel adalah realitas politik yang tidak lagi bisa ditolak”.
Solusi dua negara pun sejatinya sudah ditetapkan kedua belah pihak, Palestina dan Israel, dalam Perjanjian Oslo, 1993. Di dalam Perjanjian Oslo ditegaskan bahwa Palestina mengakui eksistensi Israel dan Israel mengakui eksistensi Palestina. Pihak Palestina diwakili oleh Yasir Arafat.
Sebagian yang lain mengartikulasikan Free Palestina dengan tidak mengakui eksistensi Israel. Artikulasi ini selaras dengan pandangan Hamas yang tidak mengakui eksistensi Israel.
Sebagian yang lain mengartikulasikan Free Palestina dengan tidak mengakui eksistensi Israel.
Golongan ini sebagian dengan sadar men-support gerakan Hamas karena mereka merasa memiliki kesamaan secara ideologis dan sebagian karena menganggap Israel penjajah. Berbagai macam framing berseliweran untuk mendukung pandangan ini.
Menariknya, golongan yang ideologis ini kebanyakan berafiliasi kepada Syiah dan Ikhwanul Muslimin. Golongan ini, misalkan, memunculkan pernyataan “penjajah Isarel harus dihapuskan dari bumi Palestina” atau “bangsa kita dulu juga tidak boleh melawan” yang artinya pernyataan ini medukung Hamas untuk terus melawan dan perang tiada akhir.
Sedangkan, kalangan nasionalis dan nasionalis-religius berpijak pada prinsip UUD 1945 yang menyatakan bahwa penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dalam perspektif Gus Dur, jika kita ingin menjadi hakim bagi Palestina dan Israel untuk sebuah perdamaian, maka harus berada di tengah-tengah, sanggup ngopi bareng dengan kedua pihak. Bisa menggali apa yang sebenarnya terjadi dari keduanya dan melihat keduanya secara jujur, objektif, dan adil.
Kata Gus Dur dalam video pendek berdurasi 4:10.
“Kalau menurut saya simpel aja toh, mau ya digauli yang baik. Begitu saja. Kalau gak mau berunding karena Israel dianggap salah, salahnya di mana? Karena menembakin orang. Apa Hamas enggak begitu terhadap orang Israel sendiri dengan mereka melemparkan bom-bom dan roket-roket ke permukinan Yahudi apa tidak bisa mematikan orang juga?
Ada yang nanya kepada saya, kok begitu, kenapa kok Palestina tidak mau berunding dengan Israel? Karena Hamas tidak mau mengakui terhadap Israel. Sekarang ada sengketa, sengketa yang lama sekali, bahwa menurut Israel Yerusalem itu ibu kota mereka, menurut orang Arab bukan. Itu saja masalahnya. Kenapa ya kita tidak mau mengetahui persoalan yang sebenarnya?
Yang susah itu kan Hamas itu kan senangannya berbohong, seperti sekarang ini wah seluruh dunia seolah-olah Israel tok yang salah tapi dia tidak. Padahal kan tidak benar, dia juga salah kok! Lalu kalau kita mau objektif ya kita dari awal.”
Tampak sekali sikap Gus Dur yang antikekerasan. Siapa pun kepada siapa pun kekerasan tidak boleh terjadi. Israel hentikan kekerasan. Hamas pun harus menghentikan kekerasan. Sekalinya salah satu pihak melancarkan serangan, maka yang satunya lagi akan membalasnya.
Boleh dibilang adalah mustahil jika meminta Israel menghentikan serangan, sedangkan Hamas masih terus melakukan serangan. Yang adil adalah meminta kedua pihak menghentikan saling menyerang. Hidup rukun dalam bertetangga. Dan kita bertanya, kapan Israel dan Hamas ngopi bareng?
Comblang perdamaian
Saya berbinar-binar membaca status Facebook senior saya, Bapak Musthafa Abdurrahman, wartawan bagian Timur Tengah yang mengabarkan tentang gencatan senjata yang disepakati Israel dan Hamas yang dimediasi atau dicomblangi Mesir.
Ia mengabarkan: "Alhamdulillah sudah tercapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas/faksi2 Palestina di Jalur Gaza dengan mediasi Mesir pada Kamis malam. Gencatan senjata yang berlaku mulai pkl 02.00 Jum'at dini hari, mengakhiri 11 hari perang Gaza.
Perang Gaza yang berlangsung 11 hari telah membawa korban 232 tewas dari pihak Palestina, diantaranya 65 anak kecil dan 39 perempuan, serta 1900 luka-luka. Dari pihak Israel 12 tewas dan 600 luka-luka."
Beliau adalah senior saya dua lipat, sama-sama alumni Pesantren Lirboyo Kediri dan sama-sama alumni al-Azhar Kairo Mesir.
Mesir bisa menjadi comblang antara Israel dan Hamas setidaknya ada beberapa faktor. Pertama, secara geografis Gaza sebagai markas Hamas adalah bertetangga dengan Mesir.
Kedua, sebagai gerakan Hamas berbasis Islam yang tentu saja punya titik temu dengan mayoritas masyarakat Mesir yang juga beragama Islam. Ketiga, Mesir memiliki hubungan diplomasi dengan Israel sejak ditandatanganinya Perjanjian Camp David, 1979, antara Mesir dan Israel yang dimediasi Amerika Serikat, sehingga Mesir bisa berdiplomasi, musyawarah, dan berunding dengan Israel.
Orang-orang Mesir mempunyai tradisi mujamalah yang artinya memoles dan memperindah kata-kata yang agak terkesan basa-basi.
Posisinya yang strategis dan memiliki kapasitas untuk mengakses kedua belah pihak, Israel dan Hamas, Mesir bisa menjadi juru runding dan diplomat andal. Tentu saja tekanan dunia internasional, khususnya negara-negara Muslim seperti Indonesia juga faktor penting terjadinya gencatan senjata Israel dan Hamas.
Ketika saya masih belajar di Mesir, saya dan teman-teman pelajar Indonesia umumnya menilai orang-orang Mesir adah orang-orang yang pandai dalam berbicara. Orang-orang Mesir mempunyai tradisi mujamalah yang artinya memoles dan memperindah kata-kata yang agak terkesan basa-basi. Nah, barangkali faktor mujamalah ini adalah modal sosial dan komunikasi Mesir sebagai comblang juru runding Israel dan Hamas.
Ke depan, semoga Israel dan Palestina hidup rukun dalam bertetangga. Membayangkan Israel dan Palestina bisa ngopi bareng setiap saat tanpa ada kekerasan lagi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.