Olivier Giroud dari Chelsea mengambil lutut untuk mendukung kampanye No Room For Racism menjelang pertandingan sepak bola Liga Premier Inggris antara Sheffield United dan Chelsea di stadion Bramall Lane di Sheffield, Inggris, Minggu, 7 Februari 2021. | AP/Oli Scarff/Pool AFP

Olahraga

Rasialisme dan Medsos dalam Sepak bola Modern

Rasialisme merusak citra sepak bola dunia. Ungkapan rasialis yang menyebar melalui medsos melukai hati pesepak bola.

MERSEYSIDE -- Sistem monarki dalam pemerintahan Inggris kembali membuat geger masyarakat dunia dengan keputusan hengkang Pangeran Harry, dan Meghan Markle dari kerajaan Inggris.

Dalam kutipannya bersama Oprah Winfrey pada acara 'Duke and Duchess of Sussex' Maret 2021 kemarin baik Harry dan Meghan keduanya secara tegas meminta untuk mundur sebagai penghuni istana Buckingham.

Salah satu alasan yang membuat keduanya angkat koper adalah kentalnya masalah rasialisme yang terjadi di dalam lingkaran kerajaan. Fragmen Harry dan Meghan menggambarkan betapa gelapnya masalah humanisme di puncak tertinggi sistem pemerintahan Negeri Ratu Elizabeth.

Tapi kasus tak kalah miris masih saja terjadi pada industri sepak bola modern. Beberapa seniman lapangan hijau dibuat kecewa dan kesal dengan aksi pelaku rasialisme melalui media sosial (medsos).

Salah satu klub top Liga Primer Inggris, Liverpool baru saja menyerukan tindakan pencegahan untuk kasus rasial melalui medsos yang menimpa pemainnya, Trent Alexander-Arnold, Naby Keita, serta Sadio Mane.

Ketiganya mendapat pesan emoji tidak pantas dan komentar rasial melalui Instagram setelah Liverpool kalah 1-3 dari Real Madrid pada leg pertama perempat final Liga Champions 2020/2021, Rabu (7/4).

 
Sekali lagi kami dengan sedih mendiskusikan pelecehan rasial yang menjijikkan setelah pertandingan antara Liverpool dan Real Madrid.
 
 

"Sekali lagi kami dengan sedih mendiskusikan pelecehan rasial yang menjijikkan setelah pertandingan antara Liverpool dan Real Madrid. Ini tidak bisa diterima dan Liverpool mengutuk semua bentuk diskriminasi," demikian pernyataan resmi klub dilansir the Guardian, Kamis (8/4).

Kasus rasialisme dalam industri sepak bola sebenarnya bukan hal baru. Namun, setelah absennya penonton ke stadion, tudingan dan hujatan rasial justru mengarah secara langsung ke pribadi pemain via medsos.

Pemain sayap Arsenal Willian Borges menuntut pihak berwenang untuk berbuat lebih banyak terkait masalah rasialisme yang terjadi kepada para pemain sepak bola melalui medsos. Ia berharap pihak berwajib dapat mengidentifikasi pelaku yang menyebarkan kejahatan tersebut.

"Saya telah melihat beberapa orang menghapus media sosial mereka karena rasialisme dan pelecehan dan saya ingin pihak berwajib melakukan itu," katanya dikutip Daily Mail.

Isu soal rasialisme dalam medsos tengah ramai diperbincangkan. Tak hanya perlakuan rasial, beberapa kasus seperti tekanan dan teror berlebih membuat korban merasa depresi.

Peristiwa lain soal masalah depresi akibat medsos menyebabkan mundurnya pelatih Fiorentina Cesare Prandelli. Prandelli menyampaikan secara terbuka pilihannya mundur sebagai pelatih karena kesehatan mentalnya terganggu.

Serangan secara langsung membuat beberapa pemain dan pelatih mengaku mengalami gangguan kesehatan mental dan trauma. Willian mengaku sempat merasa khawatir untuk menggunakan ponsel pintarnya.

"Ya, terkadang saya merasakan ketakutan. Kami manusia. Kami melakukan yang terbaik untuk membantu tim, kami ingin menang, dan kami tidak ingin kalah. Tapi hasil akhir terkadang berkata lain, dan mereka datang mengucapkan kata-kata menyakitkan," sambung pemain berusia 32 tahun.

Inilah ancaman yang dihadapi oleh sepak bola modern. Kehadirannya tak lagi di lapangan tapi juga di jagat maya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat