Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo melambaikan tangan kepada awak media usai menjalani pertemuan dengan Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis), di Bandung, Jawa Barat, Selasa (16/3/2021). | ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Kabar Utama

Kapolri Cabut Larangan Siaran Arogansi Polisi

Telegram Polri dinilai salah alamat jika ditujukan kepada pers.

JAKARTA -- Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mencabut surat telegram (ST) mengenai pelarangan menyiarkan arogansi anggota kepolisian. Pencabutan itu hanya berselang beberapa jam setelah ST tersebut tersebar luas di publik dan menjadi polemik.  

Pencabutan tertuang dalam surat telegram bernomor ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 yang ditandatangani Kadiv Humas Polri Irjen Polisi Argo Yuwono. "Sehubungan dengan referensi di atas kemudian disampaikan kepada KA bahwa ST Kapolri sebagaimana ref nomor empat di atas dinyatakan dicabut atau dibatalkan," tulis Sigit dalam surat telegramnya, Selasa (6/4).

Sigit juga menyebutkan, ST pencabutan ini bersifat jukrah (petunjuk dan arahan) untuk dilaksanakan dan dipedomani. Surat telegram bertanggal 6 April 2021 itu ditujukan kepada kapolda dan kabidhumas.

Kapolri melalui ST bernomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tertanggal 5 April melarang para pengemban fungsi humas Polri di setiap wilayah menayangkan tindakan arogansi yang dilakukan jajarannya. "Media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, kemudian diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis," tulis Sigit dalam telegram tersebut. 

Sigit juga melarang memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang, bahkan dari fakta pengadilan sekalipun. Kemudian, telegram juga melarang membawa media dalam setiap penangkapan pelaku tindak kejahatan. 

"Dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media kemudian tidak boleh disiarkan secara live kemudian dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten," tulis Sigit dalam poin ke-10.

Menurut Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono, ST itu diterbitkan demi membuat kinerja Polri di tingkat wilayah semakin baik pada masa mendatang. Namun, ia menegaskan, larangan dalam surat telegram tersebut ditujukan hanya untuk internal kepolisian. "Itu ditujukan kepada kabid humas, itu petunjuk dan arahan dari mabes ke wilayah dan hanya untuk internal," ungkap Rusdi saat dikonfirmasi. 

Meskipun hanya untuk internal kepolisian, banyak pihak yang mengkhawatirkan ST tersebut akan berimplikasi kepada tugas wartawan. Bahkan, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti meminta agar ST tersebut segera direvisi. 

Menurut Poengky, maksud dari surat telegram tersebut ada pada poin kedua, yaitu menjaga prinsip presumption of innocent, melindungi korban kasus kekerasan seksual, melindungi anak yang menjadi pelaku kejahatan serta untuk melindungi materi penyidikan agar tidak terganggu dengan potensi trial by the press.

photo
Sejumlah mahasiswa diamankan saat berunjuk rasa memperingati Hari Anti Korupsi Internasional dan memaksa masuk kantor Kejati Sulsel, beberapa waktu lalu. - (ANTARA)

Namun, ada hal yang menjadi pro-kontra, seperti pada poin pertama tentang larangan meliput tindakan kekerasan dan arogansi polisi. Poin pertama dalam surat telegram tersebut menyebutkan, media dilarang menyiarkan upaya atau tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Kemudian, media diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas, namun humanis.

"Batasan kepada jurnalis untuk meliput tindakan kekerasan atau arogansi anggota Polri itu yang saya anggap membatasi kebebasan pers serta akuntabilitas dan transparansi kepada publik," ungkap Poengky.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyambut baik keputusan Kapolri untuk mencabut ST tersebut. "Aturan itu potensial pelanggaran HAM, " ujar Anam kepada Republika, Selasa (6/4). 

Ia menekankan, Kapolri tidak bisa mengatur kebebasan media dalam pemberitaan. Sebab, hal itu bukanlah kewenangan dan kapasitas Kapolri. "Fakta apa pun tidak bisa diatur Kapolri, boleh-tidaknya diliput media, baik yang positif maupun negatif. Di sana juga melekat hak publik untuk tahu," kata Anam. 

Anam menegaskan, beleid yang mengatur media atau kerja jurnalistik adalah kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Keduanya secara jelas telah mengatur cara kerja jurnalistik dalam menyampaikan informasi ke publik. Seharusnya, kata Anam, hal yang paling penting jika mengatur internal terhadap sebuah peristiwa tertentu adalah berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, kode etik jurnalistik, dan prinsip akuntabilitas.

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar juga menyambut baik keputusan Kapolri melakukan pencabutan. Menurut Rivanlee, bila ST itu tidak dicabut, kinerja media akan terdampak. Terlebih, tingkat kepuasan publik atas Polri  terus menurun dan cara mengembalikannya pun bukanlah dengan menutup akses dari media. 

Menurut Kontras, pembenahan institusi secara struktural harus dilakukan sampai ke tingkat lapangan. Oleh karena itu, penutupan akses media justru akan membuat publik semakin tidak puas karena kerja-kerja polisi menjadi makin sentralistis. 

Apalagi, kata Rivanlee, banyak catatan dari penanganan aksi massa yang brutal. "Selama ini, publik mengharapkan polisi yang humanis, bukan yang suka kekerasan dengan dalih ketegasan," ujar Rivanlee kepada Republika, kemarin. 

Oleh karena itu, Kontras menilai jukrah dari ST yang telah dicabut itu akan sangat berbahaya bagi kebebasan pers. Itu karena publik diminta hanya percaya pada narasi tunggal negara, sementara polisi minim evaluasi dan audit atas tindak tanduknya, baik untuk kegiatan luring maupun daring.

Kepala Dewan Kehormatan (DK) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Ilham Bintang juga sempat menyoroti ST Kapolri tersebut. Ia menyebut ST tersebut salah alamat jika ditujukan kepada pers.

"Saya pikir telegram Kapolri itu salah alamat kalau ditujukan kepada media pers. Mungkin itu memang buat media-media Polri yang selama ini bekerja sama dengan stasiun TV, membuat program ‘buser’ dan kawan-kawannya," ujar Ilham Bintang dalam keterangannya, Selasa (6/4).

Ilham menjelaskan, sumber hukum pers di Tanah Air adalah Undang-Undang Pers Nomor 40/1999 yang merupakan produk reformasi. Derajat telegram itu jauh di bawah UU Pers. Mustahil peraturan yang berada di bawah, seperti telegram kapolri, mengalahkan UU yang berada di atasnya. 

Kendati demikian, ia juga meminta rekan media massa untuk mengklarifikasi surat telegram itu kepada pihak kepolisian. "Ini supaya lebih terang dan tidak disalahtafsirkan nanti oleh petugas polisi di lapangan yang berpotensi menimbulkan kegaduhan baru," ucap Ilham.

Ilham menjelaskan, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 tidak memiliki peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang bisa ditafsirkan oleh eksekutif. Ini berbeda dengan UU Pers sebelumnya, yaitu UU Pokok Pers, yang tafsirnya sekehendak penguasa. Desain UU Pers Nomor 40/1999, kata dia, memang ditujukan agar pers mengatur dirinya sendiri. "Pengaturannya ditangani oleh Dewan Pers," ujar Ilham menegaskan.

Ia pun sempat menyinggung soal salah satu poin di surat telegram yang melarang penyiaran tindakan arogan polisi. Bagi pers, kata dia, hal tersebut penting diberitakan sebagai bentuk koreksi kepada polisi. Sebaliknya, Kapolri seharusnya melarang polisi bersikap arogan dalam melaksanakan tugas.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat