Seorang bidan desa menunjukkan limbah medis yang ditemukan warga di Kelurahan Mlati Kidul, Kudus, Jawa Tengah, Sabtu (13/3/2021). | ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

Opini

Ancaman Limbah Medis

Terbatasnya jumlah rumah sakit yang memiliki izin pengolahan limbah B3 menyebabkan pengolahannya terkendala.

BUDI SETIADI DARYONO, Guru Besar, Dekan Fakultas Biologi UGM

 Perjuangan masyarakat menghadapi Covid-19 sejak pertama kali ditetapkan menjadi pandemi oleh WHO pada awal Maret 2020,  terus berlanjut.

Saat ini, setidaknya 116 juta kasus positif di seluruh dunia yang telah terlacak selama satu tahun berjalan dan  1,5 juta di antaranya berada di Indonesia. Keadaan ini membawa Indonesia menempati urutan pertama kasus positif terbanyak di Asia Tenggara sampai hari ini.

Seiring banyaknya kasus positif di Indonesia, peningkatan limbah medis pun tak terhindarkan. Limbah medis seperti cairan medis, masker sekali pakai, baju hazmat, dan sarung tangan masuk kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Seharusnya, perlu perlakuan khusus dalam pembuangannya karena selain bisa menyebabkan pencemaran lingkungan, limbah B3 berpotensi memberikan paparan penyakit menular. 

 

 
Menurut hasil penelitian LIPI, virus korona bisa bertahan 4-21 hari di permukaan alat pelindung diri (APD) dan tergantung material yang digunakan. 
 
 

Menurut hasil penelitian LIPI, virus korona bisa bertahan 4-21 hari di permukaan alat pelindung diri (APD) dan tergantung material yang digunakan. Ini bisa melahirkan klaster-klaster kecil tak terdeteksi bila pengelolaan limbah tanpa meminimalisasi tingkat infeksi virus.

Pengelolaan limbah

Menurut UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur tentang limbah B3, pengolahan limbah harus dilakukan pihak yang menghasilkan limbah tersebut. 

Namun berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga 2019, tercatat dari 2.877 rumah sakit di Indonesia hanya 117 rumah sakit yang memiliki izin pengolahan B3. Ini pun belum semua memiliki standar sama.

Sebab, dari 117 rumah sakit tersebut, hanya 111 rumah sakit menggunakan incinerator. Enam rumah sakit lainnya menggunakan autoklaf. Tercatat,  timbunan sampah medis akibat Covid-19 hingga Februari 2021, mencapai 6,4 juta ton.

Penelitian terbaru yang mengestimasi jumlah limbah medis di Asia melaporkan, Indonesia diprediksi telah membuang setidaknya 420 ton limbah medis dan penggunaan masker sekali pakai 159 juta buah per harinya.

 

 
Indonesia diprediksi telah membuang setidaknya 420 ton limbah medis dan penggunaan masker sekali pakai 159 juta buah per harinya.
 
 

Terbatasnya jumlah rumah sakit yang memiliki izin pengolahan limbah B3 menyebabkan pengolahannya terkendala dan berakibat menumpuknya limbah B3. Berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. 

Pandemi juga menyebabkan semakin tersebarnya sumber limbah medis yang tak hanya dari aktivitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit tetapi juga dari sampah rumah tangga dan berbagai industri sebagai pencegahan penyebaran Covid-19.

Timbunan sampah medis yang belum mampu tertangani dengan baik ditemukan salah satunya di daerah Teluk Jakarta. Sampah berbahaya itu 15 persen dari total sampah  di Teluk Jakarta dan cenderung meningkat lima persen selama pandemi.

Sampah medis yang terus meningkat juga memiliki konsekuensi dalam peningkatan kasus aktif Covid-19 di Indonesia. Ini disebabkan  penggunaan limbah medis oleh pihak tak bertanggung jawab, seperti oknum pendaur ulang limbah medis ilegal yang tidak memiliki izin. 

Tambahan, timbunan sampah  ini juga berbahaya untuk kesehatan lingkungan. Sebab, saat ini APD sekali pakai yang banyak digunakan, diproduksi dari bahan anorganik yang membutuhkan waktu lama untuk terurai.

 

 
Rantai pengelolaan limbah medis, terutama saat pandemi harus dimulai dari skala individu hingga negara.
 
 

Masker sekali pakai dengan tiga lapis bahan, seperti disarankan WHO, salah satu limbah yang melepaskan mikroplastik dalam proses degradasinya. Tambahan mikroplastik ini bisa masuk ke dalam tanah dan badan air, yang selama ini menjadi perhatian khusus.

Solusi permasalahan

Rantai pengelolaan limbah medis, terutama saat pandemi harus dimulai dari skala individu hingga negara. Setiap masker sekali pakai yang telah digunakan, dapat disimpan dalam wadah tertutup tanpa udara dalam keadaan telah dilipat dan dirusak.

Plastik bersegel atau wadah tertutup ini dibuang ke tempat sampah khusus limbah B3 atau limbah medis. Lalu diangkut kendaraan dan protokol terpisah dari sampah rumah tangga lainnya. Ini berlaku di berbagai negara seperti Thailand, Malaysia, Korea Selatan, dan Cina.

Tujuan pengangkutan bukan lagi tempat pembuangan akhir (TPA) yang telah memiliki gunungan sampah. Kekurangan tempat pengolahan limbah B3 juga harus segera dilengkapi.

KLHK bersama Bappenas memiliki target pembangunan 32 tempat pengolahan limbah B3 baru yang akan tersebar di berbagai daerah dan hingga akhir 2020, terdapat lima tempat pengolahan limbah B3 baru yang telah dibangun.

 
Seiring kian banyaknya pembangunan tempat pengolahan khusus limbah medis, teknologi pengolahannya pun perlu dikembangkan.
 
 

Pemanfaatan mikroorganisme

Seiring kian banyaknya pembangunan tempat pengolahan khusus limbah medis, teknologi pengolahannya pun perlu dikembangkan.

Pembakaran atau pemanasan yang banyak digunakan saat ini,belum menjawab kekhawatiran menumpuknya mikroplastik yang bisa mengancam kesehatan lingkungan. Mekanisme biodegradasi menggunakan bantuan mikrobia bisa menjawab permasalahan itu.

Kelompok bakteri seperti Pseudomonas sp dan beberapa jenis jamur mikroskopis memiliki enzim tertentu yang dapat mengurai berbagai jenis polimer plastik menjadi sumber karbon dan air yang aman dilepas ke udara.

Perlu penelitian lebih lanjut menentukan mikroba, faktor fisika, dan kimiawi yang tepat guna dan aman. Biodegradasi pada tempat pembuangan limbah B3 yang berjalan baik, membuka peluang lebih luas untuk sampah-sampah lebih umum dan minim risiko. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat