Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Jangan Terlalu Cepat Berpesta

Apakah kini saat tepat bagi kita berpesta?

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Di dunia olahraga, sering sebuah tim runtuh akibat berpesta terlalu cepat. Tidak jarang tim melesat ke puncak di babak penyisihan, tak pernah terkalahkan hingga mengira akan menjadi juara.

Mereka berpuas diri, mulai berpesta, merayakan kemenangan setiap kali meraih kemenangan. Tak lama kemudian, mereka justru  tersingkir karena kalah di fase gugur.

Tim dengan mental juara, memilih tidak berpesta sekalipun telah menang berkali-kali, sampai pertandingan terakhir dan berhasil mencapai titik juara.

Satu tahun sudah korona berlalu. Harus diakui sudah banyak kemajuan dicapai.

 
Tim dengan mental juara, memilih tidak berpesta sekalipun telah menang berkali-kali, sampai pertandingan terakhir dan berhasil mencapai titik juara.
 
 

Dokter lebih berpengalaman, masyarakat awam mulai mengerti bagaimana menjaga protokol kesehatan, jumlah donatur plasma dari penderita yang sudah sembuh makin bertumbuh, kebutuhan masker, hand sanitizer, dan penunjang perlindungan makin mudah diraih.

Lebih dari itu, vaksinasi sudah berjalan tanpa banyak kendala. Setidaknya dalam dua bulan sejak dimulainya, sekitar empat juta penduduk Indonesia sudah divaksinasi tahap pertama dan sejuta lebih sudah divaksinasi tahap kedua.

Kurva angka penderita baru mulai melandai, begitu juga jumlah angka kematian. Namun, apakah kini saat tepat bagi kita berpesta?

Mulai riuh terdengar rencana pusat keramaian dan hiburan akan dibuka. Mudik sudah ada usulan untuk diperbolehkan.

Sekolah akan dibuka, kampus mulai beraktivitas. Perusahaan mulai berkegiatan. Benarkah sudah waktunya?  Ada satu hal yang dilupakan banyak orang. Ketika kita mulai mengerti virus korona dan bagaimana menangani Covid-19, ternyata virus menyesuaikan diri.

 
Kurva angka penderita baru mulai melandai, begitu juga jumlah angka kematian. Namun, apakah kini saat tepat bagi kita berpesta?
 
 

Survival of the fittest, virus melestarikan diri dengan beradaptasi. Mereka berkembang dan bermutasi menjelma banyak varian yang dalam beberapa kasus menjadi lebih berbahaya. Dilansir dari Medical Life Sciences, saat ini terdapat sekitar 930 mutasi yang dilaporkan di seluruh dunia. 

Di Afrika Selatan, muncul varian 501.V2 atau B.1.351. Varian ini mendorong terjadinya gelombang kedua Covid-19 di sana. Mutasi virus tersebut bahkan banyak menyentuh anak muda, dengan minim komorbid (penyakit penyerta).

Di Brasil, muncul varian P1. Sebuah studi mengungkapkan, kemunculan varian virus korona P.1 ini dapat dua kali lebih menular daripada Covid-19 sebelumnya. Dengan penanganan sebelumnya, kemungkinan risiko infeksi ulang dapat terjadi dengan persentase antara 25 persen hingga 60 persen.

Di Inggris, muncul varian B-117 yang langsung  menyebar dengan pesat dan menyumbang 90 persen kasus positif di Negeri Ratu Elizabeth. Dari Inggris, varian ini menyebar ke lebih dari 70 negara lain, termasuk Indonesia.

Varian B-117 sudah diumumkan masuk Indonesia sejak awal Maret 2021 dan terdeteksi pada enam orang di Provinsi Jabar, Sumut, Sumsel, Kaltara, Kalsel. Dua orang penderita tercatat baru pulang dari Arab Saudi. Varian ini menular 50-74 persen lebih cepat dari induknya.

 
Kabar baiknya, sampai saat ini vaksin Sinovac diketahui, masih efektif menghadapi varian baru tersebut.
 
 

Kabar baiknya, sampai saat ini vaksin Sinovac diketahui, masih efektif menghadapi varian baru tersebut.

Mutasi yang juga perlu diwaspadai adalah varian N349K. Mutasi N349K pertama kali terdeteksi di Skotlandia pada Maret 2020 dan sejak saat itu garis keturunan kedua, yaitu B1258 telah muncul secara independen di negara-negara Eropa lainnya.

Pada Januari 2021, terdeteksi lebih dari 30 negara di seluruh dunia telah memiliki mutasi virus ini.

Ketua Umum IDI Daeng M Faqih mengatakan, varian virus korona N439K sudah ditemukan di 30 negara dan lebih "pintar" daripada virus korona, yang ada sebelumnya karena ikatan terhadap reseptor ACE2 di sel manusia lebih kuat dan tidak dikenali oleh polyclonal antibody, yang terbentuk dari imunitas mereka yang pernah terinfeksi.

Semua fakta di atas menunjukkan pada kita, perjalanan melalui pandemi  masih panjang. Ini bukan pernyataan pesimistis, melainkan semata agar kita tidak lalai dan berangsur lalu melupakan protokol kesehatan karena  segalanya terkesan telah membaik.

Kurva yang menurun memang merupakan indikasi bagus, tetapi kurva itu hanya akan terus menurun jika seluruh masyarakat tetap menjaga protokol kesehatan dan tidak lalai.

Jika kita terlalu cepat berpesta, lalai menjaga protokol kesehatan, bisa jadi kurva akan menanjak dan kita kembali melewati masa-masa berat. Sesuatu yang tentu sama-sama tidak kita harapkan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat