Manajemen Terminal Kampung Rambutan menertibkan calo | Republika/Edwin Dwi Putranto

Khazanah

Bagaimana Hukum Calo dalam Islam? 

MUI mengimbau masyarakat untuk menjauhi calo

OLEH DEA ALVI SORAYA 

Pernahkah Anda mengurus paspor, surat izin mengemudi (SIM), atau lainnya melalui jasa calo? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, calo adalah orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah.

Penggunaan jasa calo kerap dijadikan jalan pintas sejumlah orang yang terlalu sibuk untuk mengurus pembuatan dokumen-dokumen penting, seperti SIM, paspor, atau lainnya. 

Pada Desember 2020, Petugas gabungan Polres Metro Jakarta Pusat dan Polsek Senen menangkap tiga orang diduga calo tes cepat (rapid test) di Stasiun Kereta Api (KA) Senen, Jakarta Pusat. Pelaku menawarkan hasil tes cepat tanpa dilakukan pemeriksaan kesehatan dan harganya murah.

Tiga calo tes cepat tersebut diringkus tak lama setelah pihak kepolisian menerima laporan masyarakat mengenai adanya praktik percaloan hasil tes cepat di Stasiun Senen. "Pelapor memberikan informasi bahwa telah terjadi praktik percaloan hasil tes cepat," kata Yusri.

Atas laporan tersebut petugas langsung melakukan penyelidikan dan meringkus tiga orang calo tes cepat yang berinisial AS, LY dan HS. Ketiganya kemudian diamankan untuk diperiksa secara intensif. Petugas langsung melakukan penyelidikan dan berhasil menangkap para pelaku, selanjutnya pelaku dibawa ke Polres Metro Jakarta Pusat untuk penyidikan selanjutnya.

Lantas, bagaimana Islam memandang penggunaan jasa calo ini? Pakar ilmu tafsir dan hukum Islam, Prof KH Ahsin Sakho Muhammad, menjelaskan, penggunaan jasa calo sejatinya dibolehkan, selama calo tersebut tidak melakukan penipuan atau kebohongan yang merugikan. Sebelum menggunakan jasa calo, pastikan terlebih dahulu harga yang ditawarkan calo tersebut sesuai kesepakatan kedua pihak, tanpa ada keterpaksaan.

“Yang penting tidak boleh ada penipuan dan kebohongan, pokoknya secara hukum itu boleh, karena sejatinya calo ini menawarkan jasa untuk membantu. Namun, harus ada kejelasan harga dan si calo ini tidak mengambil keuntungan yang merugikan orang lain,” kata mantan rektor Institut Ilmu Al-Quran ini kepada Republika, Selasa (9/3). 

“Faktor penentunya, kalau dalam perdagangan, jangan sampai joki itu berlaku sebagai pembeli, di mana dia memborong barang dalam jumlah besar atau menjualnya dengan harga yang fantastis, yang dia tentukan seenaknya sendiri khususnya saat barang itu sedang langka,” ujar dia.

Dalam hal jasa pembuatan dokumen penting seperti SIM, STNK, paspor, atau lainnya, hakikat calo atau joki adalah penyedia jasa yang ingin menolong pengurusan pembuatan dokumen, dan mendapatkan upah dari pembeli jasa.

Jika kesepakatan upah telah disetujui kedua belah pihak tanpa ada keterpaksaan maka dibolehkan. Namun, jika merugikan satu atau kedua pihak maka dilarang.

Meski dibolehkan, wakil ketua Komisi Faktwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini mengimbau agar menghindari penggunaan jasa calo. “Di pelayanan pembuatan SIM atau paspor atau dokumen lainnya biasanya sudah diimbau larangan menggunakan jasa calo dan kita harus mematuhinya,” kata alumnus Universitas Islam Madinah ini.

Sementara, menurut Dr Ahmad Zain An-Najah MA, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam memandang status upah calo. Mayoritas ulama menyatakan, upah calo harus jelas nominalnya, seperti Rp 500 ribu atau Rp 1 juta dan tidak boleh dalam bentuk persentase, misalnya 10 persen dari hasil penjualan. Alasannya, para ulama menganggap bahwa pendapatan calo masuk dalam kategori ju’alah (hadiah/upah) yang harus jelas nominalnya. 

“Bahwasanya Rasulullah SAW melarang seseorang menyewa seorang pekerja sampai menjelaskan jumlah upahnya.” (HR Ahmad).

Namun, menurut doktor lulusan Universitas Al-Azhar Kairo ini, sebagian ulama membolehkan seseorang memberikan upah kepada calo dalam bentuk persentase, seperti yang dijelaskan dalam Kasyaf al-Qina’ (11/ 382).

Patut pula dicatat, lanjut alumnus Univesirtas Islam Madinah ini, calo dapat pula menjadi dilarang dalam Islam, khususnya jika si calo berbuat sewenang-wenang kepada pembeli jasanya dengan cara menindas, mengancam, atau mengintimidasi, sebagaimana yang disering dilakukan calo tanah atau calo tiket bus. 

“Calo yang berbuat curang atau tidak jujur, seperti tidak memberikan informasi yang sesungguhnya kepada pembeli jasanya juga dilarang dalam Islam,” ujarnya. Dia mengatakan, calo yang memonopoli suatu barang yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak dan menaikkan harganya berkali lipat dari harga asli juga dilarang.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat