pekerja menyemprotkan pembersih selepas gempa di Stasiun Fukushima, Ahad (14/3/2021). | AP/Jun Hirata/Kyodo News

Kisah Mancanegara

Menanam Nila untuk Sembuhkan Luka Fukushima

Sudah 10 tahun bencana gempa dan tsunami Fukushima yang memilukan terlewati.

OLEH DWINA AGUSTIN

Petani di sekitar Minamisoma di Fukushima, Jepang, tidak diperbolehkan bercocok tanam selama dua tahun. Alasannya, ada radiasi yang dilepaskan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima yang terimbas gempa hebat satu dekade lalu. 

Setelah pembatasan dicabut, dua petani di wilayah tersebut kembali membangun kehidupan. Kiyoko Mori dan Yoshiko Ogura menemukan cara yang tidak biasa untuk membangun kembali kehidupan mereka dan membantu komunitasnya. Mereka menanam pohon nila atau dikenal dengan indigo dan mewarnai kain dengan pewarna dari tanaman itu.  

“Mewarnai memungkinkan kami melupakan hal-hal buruk untuk sementara waktu," ujar Mori. "Ini adalah proses penyembuhan bagi kami." 

Gempa dan tsunami dahsyat pada 11 Maret 2011, menyebabkan tiga reaktor di PLTN tersebut meleleh dan menghancurkan lebih dari sekedar mata pencaharian para petani. Rumah banyak orang di Minamisoma, sekitar 20 kilometer dari pabrik, hancur oleh tsunami. Bencana tersebut menewaskan 636 penduduk kota. Smentara, puluhan ribu lainnya pergi untuk memulai hidup baru. 

photo
Penjaga toko membersihkan kerusakan akibat gempa di Fukushima, Sabtu (13/3/2021.  - (AP/Jun Hirata/Kyodo News)

Mori dan Ogura percaya bahwa pewarnaan nila dapat membantu pemulihan orang di daerah tersebut. Mori mengaku khawatir mengonsumsi tanaman pangan lokal. Namun, menanam indigo tentu berbeda karena tidak akan dimakan. Mereka memeriksa tingkat radiasi daun indigo dan tidak menemukan kadar yang berbahaya. 

Sudah 10 tahun bencana memilukan terlewati, Mori dan Ogura masih terlibat dalam pewarnaan indigo, tetapi memiliki misi yang berbeda. Bagi Mori, ini telah menjadi alat untuk membangun komunitas yang kuat di kota yang hancur. 

Mori membentuk kelompok bernama Japan Blue yang mengadakan lokakarya yang mengajarkan pewarnaan indigo kepada lebih dari 100 orang setiap tahun. Mori memilih penambahan zat kimia dalam teknik pewarnaannya.  

Sedangkan Ogura yang tidak tergabung dalam kelompok Japan Blue, memilih untuk mengikuti teknik tradisional yang menggunakan fermentasi. Ogura menilai ini sebagai cara untuk mengirim pesan melawan bahaya teknologi modern khususnya tenaga nuklir. Ogura merasa proses alami itu penting karena kecelakaan nuklir menunjukkan bahwa mengandalkan teknologi canggih untuk efisiensi sambil mengabaikan aspek negatifnya bisa berakibat buruk. 

“Saya benar-benar menderita selama kecelakaan nuklir. Kami melarikan diri dengan panik dalam kebingungan. Saya merasa saya melakukan hal serupa lagi," kata Ogura merujuk pada penggunaan bahan kimia.

Pewarna indigo organik membutuhkan lebih banyak waktu dan perhatian lebih. Ogura memfermentasi daun indigo cincang dengan air selama sebulan dan kemudian mencampurkan hasilnya dengan alkali yang terbentuk pada permukaan campuran air panas dan abu. Campuran itu harus dijaga pada suhu sekitar 20 derajat Celcius dan diaduk tiga kali sehari.  

Dengan dukungan pejabat kota, Ogura mulai membuat topeng sutra yang diwarnai dengan indigo organik. Dia dulu menjalankan restoran organik dengan menyajikan sayurannya sendiri sebelum bencana, tetapi sekarang menjalankan wisma bersama suaminya dengan fasilitas pengunjung dapat mencoba pewarna indigo organik. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat