Petugas perlindungan masyarakat (Linmas) mengawal pelaksanaan PPKM di depan gang RW 11, Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Senin (15/2). | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Opini

Literasi dan PPKM Mikro

Memberlakukan PPKM berskala mikro, tetapi tidak didasari literasi kesehatan yang baik.

RAHMA SUGIHARTATI, Dosen S3 Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga

Meski sudah setahun lewat, upaya memastikan agar penyebaran Covid-19 dapat dikendalikan tak juga kunjung bisa dipastikan. Sejak PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), hasilnya belum maksimal.

Presiden Joko Widodo mengakui, PSBB dan PPKM yang diberlakukan tak efektif. Untuk itu, untuk membatasi penyebaran Covid-19, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan baru, yakni PPKM skala mikro. Berlaku mulai 9-22 Februari 2021.

PPKM berskala mikro merupakan pembatasan seluruh kegiatan masyarakat dengan pendekatan berbasis mikro, yang meliputi level kampung, desa, dan RT/RW. Kebijakan ini sebetulnya bukan hal baru.

 
Kebijakan yang tidak tumbuh dari bawah biasanya sulit berjalan efektif karena tak didukung partisipasi dan modal sosial masyarakat yang memadai.
 
 

Ini kebijakan terusan human mobility restrictions agar tidak memperparah dan memperluas penyebaran Covid-19. Di daerah berisiko tinggi, PPKM berskala mikro mutlak diberlakukan agar penularan Covid-19 dapat dikendalikan.

Masalah yang timbul

Sejauh mana PPKM berskala mikro efektif mencegah penyebarluasan Covid-19 tentu masih akan diuji waktu. Namun, kalau berkaca dari pengalaman sebelumnya, kebijakan yang dimobilisasi dari atas umumnya rawan gagal.

Kebijakan yang tidak tumbuh dari bawah biasanya sulit berjalan efektif karena tak didukung partisipasi dan modal sosial masyarakat yang memadai.

Pertama, berbeda dengan periode pertama penyebaran Covid-19, yang memungkinkan masyarakat bisa dicegah pergerakannya karena masih memiliki tabungan, kini situasi makin sulit. Pada gelombang kedua, daya tahan masyarakat boleh dikata nyaris habis.

 
Membatasi ruang gerak masyarakat yang telah kehilangan penyangga ekonomi keluarga, tentu tidak mudah jika tidak ada subsidi yang cukup bagi mereka.
 
 

Masyarakat yang telah kehilangan penyangga ekonomi keluarga, tabungannya telah terkuras, menjadi korban PHK, atau usahanya kolaps, tentu tidak mungkin bersedia tetap tinggal di rumah. Bisa dipahami jika sebagian mereka tetap keluar rumah mencari nafkah.

Membatasi ruang gerak masyarakat yang telah kehilangan penyangga ekonomi keluarga, tentu tidak mudah jika tidak ada subsidi yang cukup bagi mereka.

Kedua, berkaitan dengan keragaman kondisi sosio-kultural masyarakat. Menghadapi berbagai komunitas di level mikro yang beraneka ragam, tak mungkin digerakkan semata mengandalkan pendekatan homogen.

Membangkitkan partisipasi dan kesadaran masyarakat agar mau berperan serta menghadapi Covid-19, tak mungkin hanya dengan pendekatan regulatif.

Ancaman sanksi memang akan berjalan efektif jika ada konsistensi penegakan hukum dan kondisi masyarakat yang siap untuk itu. Namun, lain soal ketika kondisi masyarakat tengah prihatin dan dijejas tekanan kebutuhan hidup yang luar biasa.

 
Daripada hanya mengandalkan tekanan dan ancaman sanksi, lebih memungkinkan kesadaran masyarakat dibangun melalui pendekatan persuasif.
 
 

Daripada hanya mengandalkan tekanan dan ancaman sanksi, lebih memungkinkan kesadaran masyarakat dibangun melalui pendekatan persuasif, yang berbasis keragaman kondisi sosio-kultural masyarakat.

Ketiga, dibandingkan PSBB atau PPKM, kebijakan PPKM berskala mikro sebetulnya lebih longgar. Pada PPKM, jam operasional restoran dan pusat perbelanjaan, misalnya, dibatasi hingga pukul 19.00 WIB.

Pada PPKM berskala mikro, jam operasional lebih longgar, yakni hingga pukul 20.00 WIB. Jam operasional mal atau pusat perbelanjaan juga diizinkan hingga pukul 21.00 WIB. Pada PPKM, pembatasan di perkantoran 25 persen WFO dan dan 75 persen WFH.

PPKM mikro, aturannya lebih longgar, yakni  50 persen WFO dan 50 persen WFH. Kebijakan lebih longgar ini tentu melegakan masyarakat. Namun, di sisi lain, harus dipastikan tak kontraproduktif dengan memicu penyebaran Covid-19 lebih masif.

Literasi kesehatan

Dari hari ke hari, di Indonesia jumlah kasus pasien baru Covid-19 bertambah. Pemberlakuan kebijakan apa pun yang tidak didukung kesadaran dan partisipasi masyarakat, mustahil memperlihatkan hasil yang maksimal.

 
Di tengah kondisi masyarakat yang belum memiliki literasi kesehatan yang baik, tentu sulit berharap partisipasi masyarakat tumbuh mendukung PPKM berskala mikro.
 
 

Menunggu hasil vaksinasi yang terus dilakukan dan berharap herd immuninity mulai tumbuh memang dari segi medis menjanjikan. Namun, kunci untuk menangani penyebaran Covid-19 adalah inisiatif masyarakat lokal agar berperan dalam penanganan Covid-19.

Pada masa transisi menuju era normal baru, membangun kesadaran masyarakat agar bersedia memakai masker, menjaga jarak dengan orang lain, dan rajin mencuci tangan tetap harus dilakukan. Agar hal itu tak kendur di tengah jalan, perlu literasi kesehatan masyarakat.

Studi yang dilakukan Rahma Sugihartati et al (2020) menemukan, literasi kesehatan masyarakat umumnya belum berkembang baik. Tidak sedikit masyarakat masih menganggap Covid-19 adalah penyakit biasa, yang  hilang dengan sendirinya.

Di tengah kondisi masyarakat yang belum memiliki literasi kesehatan yang baik, tentu sulit berharap partisipasi masyarakat tumbuh mendukung PPKM berskala mikro.

Terus-menerus menyosialisasikan bahaya Covid-19 dan bagaimana mengatasinya, perlu menjadi fokus perhatian kita semua. Memberlakukan PPKM berskala mikro, tetapi tidak didasari literasi kesehatan yang baik, niscaya hasilnya sia-sia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat