Subroto | Daan Yahya | Republika

Narasi

Digoyang Ombak Raja Ampat

Wartaawan harus berusaha membuat tulisannya menarik.

SUBROTO, Jurnalis Republika

Cerita tentang keindahan Raja Ampat, Papua Barat,  membuat aku ingin kesana.  Tak hanya berkunjung, aku ingin menulis tentang salah satu primadona pariwisata Indonesia itu.  

 Wisata ke Raja Ampat  tidak murah. Apalagi kalau pergi sendiri. Biaya pesawatnya saja Jakarta, Sorong pulang-pergi paling murah Rp 5 juta-an. Tiket kapal Sorong-Waisai  pp Rp 400 ribu, sewa spead boat atau kapal kecil untuk berkeliling  Raja Ampat Rp 7-8 juta. Belum lagi ditambah dengan biaya menginap,  makan, transportasi lokal, beli souvenir, dan lain-lain. Jika ditotal, biaya wisata ke Raja Ampat lebih mahal dibandingkan jalan-jalan keluar negeri.

Tapi aku tak kehilangan akal untuk bisa menikmati  wilayah yang dikenal sebagai segitiga terumbu karang dunia itu. Maka aku cari cara agar bisa liputan sambil jalan-jalan kesana. 

Bulan Mei 2009, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD)  Irman Gusman berkunjung ke Papua Barat. Salah satu lokasi yang akan dikunjunginya  Irman adalah Raja Ampat.  Kebetulan sekali. Akupun mengusulkan liputan Raja Ampat ke kantor. Belum pernah  ada yang menulis tentang Raja Ampat di rubrik Jalan Jalan di edisi Ahad Republika.  

Aku pun berangkat bersama rombongan Irman Gusman.  Rombongan DPD cukup banyak. Selain Irman dan anggota DPD asal Papua, juga sejumlah wartawan dari Jakarta,  dan staf DPD.  Kami menginap di Sorong dan menghadiri sejumlah acara.

photo
Subroto di Raja Ampat - (Subroto/Republika)

Besoknya acara dilanjutkan di Raja Ampat. Perjalanan  dari Sorong  Waisai, ibukota Raja Ampat, ditempuh dengan kapal cepat (speed boat)  selama kurang lebih dua jam.  Acara di kantor Kabupaten  Raja Ampat cuma sebentar. Pertemuan dengan bupati. Dia menjelaskan soal perkembangan pariwisata di Raja Ampat.  

Bupati  Markus Wanma menjelaskan,  Kabupaten Raja Ampat terdiri dari empat pulau besar yaitu Pulau Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool. Lainnya adalah pulau-pulau kecil. Pusat pemerintahan berada di Waisai, Distrik Waigeo Selatan. 

Wilayahnya didominasi oleh perairan dengan perbandingan 1:6.  Raja Ampat memiliki kekayaan  laut yang luar biasa dan unik. Tak kurang dari 1.318 jenis ikan, 699 jenis moluska (hewan lunak) dan 537 jenis hewan karang ditemukan di perairan itu. Wilayah  kabupaten yang baru dibentuk tahun 2002 itu juga kaya dengan  keanekaragaman terumbu karang, hamparan padang lamun,  dan hutan mangrove.

Kegiatan  kemudian dilanjutkan dengan jalan-jalan. Kami mengelilingi sejumlah pulau-pulau kecil. Dari speed boat yang kami naiki, aku bisa melihat ikan-ikan berkejaran.  Cerita yang aku dengar tentang Raja Ampat tak berlebihan.  Belum pernah aku menyaksikan gugusan pulau karang yang begitu banyaknya.  Pulau-pulau kecil itu ibarat batu-batu besar ditancapkan di laut, dinding-dindingnya curam,  sebagian dirimbuni pepohonan. Di seluruh  Raja Ampat ada sekitar 610 pulau. Dari jumlah itu hanya sekitar 35 pulau saja yang berpenghuni.

Usai berkeliling gugusan pulau karang itu, kami beristrahat di cottage sebuah pulau kecil, sambil menikmati makan siang. Pantainya berpasir putih. Lautnya tenang. Sambil berbaring di pantai aku memandangi laut yang  biru dan teduh. Sungguh Raja Ampat adalah sepotong surga yang jatuh ke bumi.

Aku  pun mengumpulkan informasi untuk tulisan ficer jalan-jalan. Tapi tak terlau banyak cerita yang kudapat. Aku belum bisa mewawancarai penduduk lokal. Juga belum mencoba diving atau snorkeling. Padahal sebagai wartawan aku harus berusaha agar tulisanku bisa menarik. Aku harus lebih banyak melihat  lokasi wisata di Raja Ampat, mewawancarai penduduk, dan pelaku pariwisatanya.

 
Sore hari penduduk ramai berkumpul.  Aku mengobrol dengan penduduk setempat. Mereka sangat ramah dengan pendatang.
NAMA TOKOH
 

Sorenya rombongan kembali ke Sorong.  alam itu ada acara  DPD di Sorong. Aku pun ikut kembali ke Sorong. Besoknya sudah tidak ada acara DPD, jadi aku pamit  berpisah dengan rombongan, dan kembali ke Raja Ampat sendiri. Melanjutkan liputanku yang belum selesai.

 Aku sudah mempersiapkan kembali ke Raja Ampat sendiri dan menginap di sana.  Aku sudah berjanji dengan kepala dinas kelautan Raja Ampat  yang malam itu menginap di Sorong. Pagi-pagi dia akan kembali ke Raja Ampat,  sekalian menjemput tamu dari Jakarta. Dan aku boleh ikut kapal  bersama rombongan. 

Besoknya aku kembali ke dermaga.  Kepala dinas  sudah menunggu.  Ternyata tamu dari   Jakarta yang ditunggu adalah rombongan Staf Khusus Presiden  SBY,   HS Dillon.   Aku memperkenalkan diri sebagai wartawan yang akan meliput wisata di Raja Ampat. Aku  pun  minta izin bergabung dengan rombongan HS Dillon.   Hari itu aku pun berangkat ke Raja Ampat untuk kedua kalinya. 

Seperti perjalanan kemarin, laut Raja Ampat  tenang.  Waktu paling ideal untuk datang ke Raja Ampat adalah bulan September sampai Mei. Memasuki bulan Juni hingga Agustus,  ombak biasanya tinggi, bahkan bisa mencapai ketinggian empat meter. 

Di Waisai aku berpisah dengan rombongan HS Dillon yang menghadiri acara di kantor kabupaten. Aku berjalan sendiri ke Pantai Waisai Torang Cinta (WTC) yang tak jauh dari hotel tempatku menginap. WTC itu seperti Ancol. Sore hari penduduk ramai berkumpul.  Aku mengobrol dengan penduduk setempat. Mereka sangat ramah dengan pendatang.

Esok paginya aku mengunjungi Pantai Waiwo. Pantai ini tak jauh dari Pantai WTC. Sekitar 15 menit saja perjalanan dengan kendaraan.  Pantainya indah, pasirnya putih. Tak banya orang yang datang, jadinya seperti punya pantai  pribadi.

Cukup lama aku berada di pantai ini, menikmati lautnya yang indah.Tapi aku tak sempat untuk menyelam. Waktunya tak memungkinkan. Jadi aku harus puas dengan bermain dengan ikan-ikan hias yang bebas berenang di pinggir pantai.

Siangnya aku ikut rombongan HS Dillon kembali menyusuri pulau-pulau  di Raja Ampat. Beruntung lokasi yang dikunjungi berbeda dengan rombongan Irman Gusman sebelumnya. Aku jadi punya banyak bahan untuk menulis. Kami  juga singgah di pulau yang berbeda, dan menikmati  keindahan alamnya. 

Sore  harinya aku ikut rombongan kembali ke Sorong dengan speed boat. Udara cerah. Laut tenang. Sekitar 10 menit meninggalkan pelabuhan, ombak mulai terasa membesar. Anak buat kapal meminta kami untuk memakai pelampung.  Padahal  sebelumnya kami tak pernah diminta memakai pelampung. Demikian juga saat berkeliling pulau-pulau di Raja Ampat.

photo
Suasana Raja Ampat, Papua. - (Subroto/Republika)

Speed boat melaju memecah ombak. Pecahan ombak dari sisi kiri dan kanan masuk ke dalam kapal. Ombak makin besar. Speed boat itu oleng diterpa air. Aku mulai merasa was-was. Air kadang muncrat , membuat sebagian baju basah.

Terdengar suara anak buah kapal memberi aba-aba saat ombak tinggi. Mesin speed boat redup saat di atas ombak. Lalu dikencangkan  lagi saat ombak sudah mulai mengecil. Gelombang datang lagi, mesin redup lagi,  begitu  berulang-ulang.  

Kadang-kadang mesin speed boat dimatikan saat di berada atas gelombang. Lalu dibiarkan speed boat terayun-ayun diterpa gelombang air. Aku berpegangan kuat-kuat. Speed boat itu seperti tanpa daya. Oleng ke kiri dan kanan. Tergantung ombak akan dibawa kemana di lautan. Yang ada hanya pasrah.  

Aku teringat judul sebuah tulisan yang aku baca sebelum ke Raja Ampat. Tempat yang Wajib Anda Kunjungi Sebelum Meninggal. Salah satunya Raja Ampat. Apakah aku sudah pantas mati setelah dua kali  dalam tiga hari mengunjungi Raja Ampat ?

Ah, aku tentu  belum mau mati. Masih ada tempat-tempat lain yang ingin kudatangi. Kalaupun speed boat ini tenggelam, aku masih punya kesempatan hidup. Pelampung di badanku mungkin bisa menolongku. Aku mulai mencari-cari papan atau apapun yang bisa aku pakai untuk mengapung di lautan. 

Aku dengar dari awak kapal bahwa kami  harus sampai ke Sorong segera. Ombak akan makin tinggi sore dan malam hari.  Biasanya bulan Mei ombak tidaklah tinggi. Tapi hari itu sepertinya terjadi  anomali.

Kapal mengikuti kemana gelombang membawa.   Kadang ombak benar-benar sudah mengurung speed boat.  Dua jam  lebih perjalanan roller coaster itu berlangsung.  Perutku mual. Kepala pusing. Aku hanya bersandar di kursi dengan muka pucat. 

Perjalanan laut paling mendebarkan dalam hidupku itu akhirnya berakhir juga.  Menjelang dermaja Sorong,  laut mulai tenang.  Ombak tak lagi tinggi. Speed boat bersandar dengan aman. 

Aku segera melompat ke darat. Seisi perutku sudah memberontak ingin keluar. Aku muntahkan, tapi tak keluar. Aku minum air mineral dan terduduk di pinggiran dermaga.

Anggota rombongan  menyalami awak  kapal. Berterima kasih sudah dibawa selamat sampai tujuan.  Akupun ikut menyalami  mereka.

“Terima kasih kakak, ”  kataku.

“ Tidak muntah toh ?” tanya seorang awak kapal memperhatikan wajahku yang pucat pasi.

Nggak. Untung saja kapalnya nggak tenggelam,” jawabku.

“Belum apa-apa ini kakak.  Untung ombaknya tak terlalu tinggi ya,” nadanya serius.

Hah, ombak begitu dibilang tidak tinggi ?  Jadi pingin aku tonjok saja orang itu.

Tips membuat tulisan jadi menarik

- Kumpulkan bahan tulisan yang lengkap

- Berikan informasi yang penting bagi pembaca

- Sajikan informasi baru yang belum pernah ada sebelumnya

- Buat judul yang memikat

- Gunakan bahasa yang enak dibaca

- Lengkapi tulisan dengan video dan foto

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat