Petugas kepolisian membersihkan bagian gedung Capitol pada Kamis (7/1) selepas serbuan pendukung Presiden AS Donald Trump sehari sebelumnya. | AP Photo/Andrew Harnik

Tajuk

Memetik Pelajaran dari AS

Kekerasan yang dipertontonkan pendukung Trump jadi catatan kelam demokrasi AS.

Amerika Serikat, negara yang mengeklaim sebagai bapak demokrasi dunia baru saja mempertontonkan kepada dunia bahwa demokrasi tidak hanya menang atau kalah. Demokrasi juga butuh keikhlasan untuk menerima kekalahan. Tanpa rasa ikhlas, demokrasi dapat memunculkan kericuhan dan kekerasan.

Kongres Amerika Serikat (AS), Kamis (7/1) dini hari waktu setempat memang akhirnya secara resmi mengesahkan kemenangan Presiden terpilih AS, Joe Biden, atas Presiden Donald Trump dalam Pilpres AS 2020. Wakil Presiden Mike Pence, yang memimpin sidang pengesahan, mengumumkan bahwa Biden menang dengan 306 suara elektoral atas Trump, yang mengantongi 232 suara elektoral.

Pengesahan keunggulan Biden sesungguhnya bukan hal yang mengejutkan. Sebelum Kongres AS bersidang, data kemenangan Biden telah dilansir komisi pemilihan berbagai negara bagian usai pilpres digelar. Upaya hukum yang telah dilakukan oleh kubu Donald Trump pun ditolak sehingga celah hukum untuk menggugat kemenangan tersebut nyaris sudah tertutup. 

 

 
Kekerasan yang dipertontonkan para pendukung Donald Trump di Capitol Hill, menjadi salah satu catatan kelam dalam demokrasi di negara tersebut. 
 
 

 

Namun, para pendukung Trump menggunakan cara-cara lain untuk mengagalkan kemenangan lawannya. Kekerasan yang dipertontonkan para pendukung Donald Trump di Capitol Hill, menjadi salah satu catatan kelam dalam demokrasi di negara tersebut.

Insiden penyerbuan Gedung Kongres Amerika Serikat untuk menghentikan Kongres AS, yang akan mengesahkan kemenangan presiden terpilih Joe Biden, jelas sangat mencoreng nilai-nilai demokrasi di Negeri Paman Sam. Kepolisian setempat kemarin melaporkan bahwa empat orang tewas di halaman gedung Capitol dan 52 orang telah ditangkap. 

Tak pelak, apa yang terjadi di Amerika Serikat tersebut menuai kecaman dan sorotan para pemimpin dunia. Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas, misalnya, meminta para pendukung Trump untuk berhenti menginjak-injak demokrasi. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, menyerukan agar pihak-pihak tersebut bisa mengakhirinya. Secara khusus, dia juga menyebut jika adegan itu sangat memalukan terjadi di Washington.

Kecaman juga lahir dari dalam negeri Amerika Serikat. Para pengamat gerakan ekstrem kanan Amerika Serikat (AS) mengatakan, penyerbuan ke Capitol Hill sebagai sesuatu yang mengerikan. Direktur Eksekutif Integrity First for America, Amy Spitalnick mengatakan, kerusuhan ini dinilai produk natural atas retorika kebencian dan kekerasan, yang dipicu informasi palsu dan teori-teori konspirasi.

 
Kunci suksesnya pelaksanaan demokrasi bukan terletak pada sistemnya yang sudah matang. 
 
 

Kejadian kekerasan tersebut tak heran jika kemudian memunculkan seruan pencopotan Trump dari jabatan presiden AS bahkan sebelum 20 Januari 2021. Ada dua cara untuk melengserkan presiden dari jabatannya. Pertama, Amendemen ke-25 Konstitusi AS, dan pemakzulan diikuti dengan persetujuan Senat. Dalam skenario keduanya, Wakil Presiden Mike Pence akan mengambil alih sampai pelantikan presiden terpilih AS dari Partai Demokrat Joe Biden, yang akan digelar 20 Januari 2020.

Setelah menuai kecaman, Presiden Donald Trump pun merilis pernyataan terbaru setelah Biden disahkan Kongres sebagai presiden Amerika ke-46. Trump menyatakan, meski tidak sepakat dengan hasil pilpres, dia menjanjikan transisi kekuasaan berlangsung tertib.

Kita masih menanti, apakah akan ada kejadian yang mengejutkan lagi sebelum Biden dilantik pada 20 Januari 2021. Namun, ada pelajaran yang sangat berarti untuk para elite politik di Tanah Air atas kejadian di Amerika Serikat. Kunci suksesnya pelaksanaan demokrasi bukan terletak pada sistemnya yang sudah matang. Bukan pula karena suatu negara telah menerapkan sistem demokrasi sejak puluhan tahun.

Namun, lebih pada bagaimana kedewasaan para elite politik yang bertarung di ajang pemilu, baik itu di level wali kota/bupati, gubernur, maupun presiden. Para elite menjadi faktor utama suksesnya pelaksanaan demokrasi. Ketika para elite politik mengakui kekalahan, otomatis masa pemilihnya akan ikut menerimanya. Tetapi sebaliknya, ketika elite politik tidak mau menerima kekalahan maka potensi kericuhan akan selalu mencederai nilai-nilai demokrasi. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat