Subroto | Daan Yahya | Republika

Narasi

Bom Israel  di Kota Gaza

Meliput wilayah konflik harus penuh persiapan.

SUBROTO, Jurnalis Republika

Jalur  Gaza sudah lama menjadi tempat yang ingin aku kunjungi. Keinginanku menginjakkan kaki ke wilayah yang masih diblokade Israel itu bahkan sampai terbawa  ke dalam mimpi. 

Bulan Oktober, tahun 2012 kesempatan berangkat  itu datang padaku. Kantor memintaku meliput ke Jalur Gaza bersama dengan  tim Medical Emergency Resque Committee (MER-C). MER-C sedang membangun Rumah Sakit  Indonesia di Bait Lahiya, Gaza Utara.

Tentu aku senang sekali. Segera saja aku mempersiapkan diri.  Ini perjalanan ke luar negeri yang berbeda dengan sebelumnya. Aku tak perlu menyiapkan koper. Tak perlu juga membawa jas dan dasi.  

 

 
Aku harus siap dengan berbagai kemungkinan di Gaza nanti. Bukan hanya bertahan dengan segala kesulitan disana,  bahkan nyawaku bisa melayang. 
 
 

 

Persiapanku ke Gaza seperti akan naik gunung saja. Menggunakan tas ransel sebagai pengganti koper, memakai sepatu gunung, dan membawa  pakaian lapangan. Tak ketinggalan menyiapkan makanan kering.  Ibu mertuaku sengaja membuatkan sambal teri kacang yang bisa bertahan selama beberapa hari.

Aku harus siap dengan berbagai kemungkinan di Gaza nanti. Bukan hanya bertahan dengan segala kesulitan disana,  bahkan nyawaku bisa melayang. Gaza, wilayah seluas 365 kilometer persegi itu ibarat medan perang. Setiap saat Israel bisa saja menyerang. Rudal-rudal Israel bisa saja menyasar ke arahku.

Kami berangkat dalam rombongan besar. Ada 30  relawan pekerja yang akan melanjutkan pembangunan RS Indonesia tahap dua di Gaza. Selain itu ada sejumlah pengurus MER-C dan enam orang wartawan.

photo
Jurnalis Republika Subroto di Gaza, Palestina. - (dok pribadi)

Kami sampai di Bandara  Internasional Kairo, Mesir,  dini hari. Perjalanan dilanjutkan ke Raffah, perbatasan Mesir dan Gaza. Jaraknya sekitar 500 km dari Kairo. Raffah adalah pintu masuk dari barat daya Gaza. Ada pintu lain di sebelah utara melalui Erez. Masuk Erez harus melalui wilayah Palestina yang sudah dikuasai Israel. Jadi izin masuk dikeluarkan oleh Israel.

Perbatasan Raffah tak selalu dibuka oleh pemerintah Mesir. Kapan dibukanya ? Orang menyebutnya, hanya Tuhan dan pihak Mesir  yang tahu. Aku mendengar sejumlah relawan Indonesia bahkan pernah sampai berbulan-bulan menunggu di Kota  El Arish, sekitar 40 km dari Raffah,  untuk mendapat izin  bisa menyerberang ke Gaza. 

 

 
Tentu saja itu tak berarti perjalanan menembus Gaza menjadi mudah. 
 
 

 

Saat Muhammad Mursi menjadi presiden Mesir ( 2012-2013), pembukaan  perlintasan Raffah lebih longgar. Karena itu MER-C bisa membawa rombongan besar ke Gaza.

Tentu saja itu tak berarti perjalanan menembus Gaza menjadi mudah. Untuk mencapai Raffah kami harus melewati banyak pos sepanjang Kairo dan Raffah. Perjalanan melewati Gurun Sinai yang rawan dengan konflik bersenjata. Kami melintasi dua benua,  Afrika dan Asia. 

Kendati rombongan kami sudah mengantongi surat izin dari Pemerintah Mesir, tapi itu tak menjamin juga bisa  sukses menyeberang sampai Gaza. Sejak di Kairo kami sudah diingatkan untuk tetap tenang jika ada pemeriksaan di tiap pos sepanjang  perjalanan sampai Raffah. Tak boleh mengambil gambar, apalagi video. Tak boleh banyak bicara. Salah-salah nanti diusir kembali ke Kairo.

Sepanjang perjalanan pemandangan didominasi oleh gurun yang gersang. Pos pemeriksaan dijaga oleh tentara bersenjata lengkap. Ada  juga pos yang dilengkapi dengan kendaraan tank. Tiap  sampai di check point, kami semua diam.  Larut dalam doa dan zikir agar lancar sampai ke Gaza.  Hanya pimpinan rombongan yang turun ke pos penjagaan, menunjukkan dokumen- dokumen. Kadang tentara yang berjaga masuk ke dalam bus, memanggil nama kami satu persatu, dan mencocokkan foto di paspor dengan orangnya.

Tentara-tentara itu tak ada yang ramah wajahnya. Sambil tetap menenteng senjata mereka memeriksa  kami satu-persatu.

 

 
Sepanjang jalan menuju RS Indonesia di Gaza Utara, aku melihat wilayah yang luluh lantak.
 
 

 

Aku menahan tawa ketika seorang tentara yang memeriksa kesulitan menyebut namaku. Orang Arab baca nama Jawa, jelas saja belibetan bibirnya.

Kami sampai di Raffah menjelang sore dengan selamat.  Satu-satu antre melewati proses pengurusan pasport. Harus menunggu lama lagi di sini. Aneh, sebenarnya apa sih susahnya cuma stempel pasport  saja ?  Tapi memasuki Gaza senjata utama adalah sabar. 

Kendati lama, proses memasuki Gaza di perbatasan  Raffah beres. Kami pun memasuki wilayah Gaza. Rombongan disambut oleh otoritas Gaza. Rasanya lega, bisa menuntaskan perjalanan panjang,  seperti  baru keluar dari terowongan yang pengap saja. 

Perjalanan dilanjutkan dengan mobil kecil. Mobil berjalan beriring-iringan. Di dalam mobil kami dikawal oleh sejumlah pria berbadan besar. Aku kaget melihat tumpukan senjata di bagasi belakang mobil. Waduh, bagaimana kalau pihak Israel tahu ? Bisa-bisa mobilnya dibom dari udara. 

photo
Jurnalis Republika Subroto di Gaza, Palestina. - (dok pribadi)

Rasa tenang hanya sebentar saja. Aku kembali was-was. Sepanjang jalan menuju RS Indonesia di Gaza Utara, aku melihat wilayah yang luluh lantak. Bekas bangunan-bangunan yang hancur dibombardir rudal menjadi pemandangan sepanjang jalan. Relawan Indonesia Abdillah Onim yang sudah lama tinggal di Gaza menceritakan  tentang kondisi kota itu sepanjang perjalanan. 

Aku  menyaksikan banyak balon-balon udara berderet di kejauhan. Onim menjelaskan balon udara itu digunakan pihak Israel untuk memantau semua pergerakan warga  di Gaza.

Jalur Gaza ini praktis ibarat penjara raksasa. Di sebelah barat daya berbatasan dengan Mesir yang tak selalu mau membuka perbatasannya. Di utara hanya ada satu celah masuk melalui Erez.  Itu adalah wilayah yang dikuasai Israel. Di bagian timur dan selatan dibatasi dengan tembok-tembok Israel. Di bagian barat ada Laut Mediteranea. Jangan berharap bisa berlayar jauh. Lebih dari sembilan km dari pantai,  akan ditembak oleh kapal-kapal perang Israel.

Selama di Gaza aku menginap di bunker RS Indonesia yang masih belum jadi. Kadang juga di apartemen di wilayah dekat pantai. RS Indonesia dibangun oleh masyarakat Indonesia. Sepenuhnya sumbangan masyarakat. Di Gaza sebelumnya hanya ada satu rumah sakit besar, yakni As Syifa. RS itu tak mampu menampung pasien, terutama saat terjadi perang.

 

 
Usai Subuh seperti biasa aku tidak tidur. Sedang asyik membuka laptop, tiba-tiba terdengar suara dentuman.
 
 

 

Perang di Gaza terjadi kapan saja. Rudal-rudah Israel meluncur tak kenal waktu. Tanpa aba-aba pula. Menurutku ini bukan perang. Ini pembantaian. Bagaimana mungkin perang melawan musuh yang tak seimbang ? Rakyat Gaza tak memiliki apa-apa. Roket-roket Hamas jelas bukan tandingan bom-bom canggih milik Israel. Rakyat Gaza jelas tak berdaya menghadapi pesawat-pesawat tempur canggih dan drone Israel yang setiap saat melayang di udara seperti burung elang mencari mangsa. 

Tapi Gaza ibarat Desa Galia dalam komik Asterix, yang tak pernah bisa ditundukkan oleh legiun Romawi.   Berulangkali diserang, Gaza tak pernah menyerah. Bahkan menurut cerita warga Gaza, Israel tak pernah berani menginjakkan kakinya di wilayah Gaza. Jika menyerang, mereka hanya berani  sembunyi di dalam tanknya.

Hari itu Rabu 23 Oktober 2012, aku menginap di aparteman. Usai Subuh seperti biasa aku tidak tidur. Sedang asyik membuka laptop, tiba-tiba terdengar suara dentuman.

 “Njedaaarr….,” suara keras dari luar memekakkan telinga.

Aku terkejut bukan main. Baru kali ini aku mendengar suara ledakan begitu dahsyat.  Dari jendela apartemen lantai enam tempat kami menginap, aku melongok keluar.

Langit Gaza masih agak gelap. Tak ada tanda-tanda asap bekas ledakan di wilayah pantai Gaza. “Tenang saja, bukan bom sepertinya,” kata dokter Joserizal Jurnalis berusaha menenangkanku. Aku tahu pendiri MER-C itu hanya berusaha agar aku tidak panik. Yang kudengar itu jelas suara bom. Tak mungkin suara petasan sekeras itu.

Tak lama setelah ledakan terjadi suasana Kota Gaza berubah riuh. Suara tembakan bersahut-sahutan dari berbagai arah. Sirene mobil ambulans meraung-raung. Teriakan-teriakan muncul dari seluruh penjuru kota. Ternyata Israel membombardir wilayah Jabaliya, Rafah, Bayt Lahiya, dan Bayt Hanun. Serangan sudah terjadi  sejak malam hari. Tiga orang syahid hari itu.

 

 
RS Indonesia yang sedang dibangun tak luput dari dampak serangan. Sebuah rudal  Israel meledak di lahan kosong sekitar 100 meter dari RS.
 
 

 

Siangnya aku menyusuri Kota Gaza. Asap  bekas ledakan  serangan bom masih mengepul di sejumlah titik. Tapi aktifitas warga tetap saja berjalan. Pasar ramai. Anak-anak masih tetap sekolah. Bahkan di sebuah sekolah  yang kami kunjungi, anak-anak tetap saja bernyanyi-nyayi sambil menari, seperti tak terjadi apa-apa.

 “Kami sudah biasa seperti ini. Tidak kaget lagi, “ cerita seorang guru.

RS Indonesia yang sedang dibangun tak luput dari dampak serangan. Sebuah rudal  Israel meledak di lahan kosong sekitar 100 meter dari RS. Akibat getarannya kaca-kaca RS pecah berantakan. Untungnya bagian lain rumah sakit yang belum jadi itu tak mengalami kerusakan sama sekali.

 Bom-bom hari itu ternyata menjadi  permulaan serangan masif Israel tahun 2012 ke wilayah Gaza. Di tengah serangan Israel, RS Indonesia terus dibangun, dan beroperasi hingga saat ini.

Ketika aku sampai di Jakarta, barulah Israel melancarkan serangan besar-besaran. Aku tidak tahu apakah harus bersyukur karena sudah kembali atau justeru menyesalinya. Bersyukur karena jika masih di Gaza nyawaku mungkin bisa melayang terkena bom Israel. Menyesal, karena seandainya masih di Gaza,  tentu aku bisa mengabarkan peristiwa itu secara langsung.

Aku tetap mengikuti perkembangan serangan ke Gaza, baik melalui media, maupun kabar dari teman-teman disana. Suatu  malam seorang  teman warga Gaza mengirim  pesan:  Another horrible night in Gaza. Bombing everywhere. We don't know when our turn is. Pray for us. (Malam mengerikan lainnya di Gaza. Pengeboman dimana-mana. Kami tidak tahu kapan giliran kami. Mohon doa buat kami).

Yang kubayangkan saat itu adalah wajah orang-orang yang kutemui di Gaza. Wajah lugu anak-anak yang aku sambangi di sekolah mereka. Aku menangis memikirkan nasib mereka. Yang  bisa kulakukan hanya berdoa, semoga saudara-saudaraku di Gaza diberikan perlindungan olehNya.

Tips meliput di medang perang

- Pelajari wilayah dan konflik yang terjadi

- Stamina dalam kondisi baik

- Jaga emosi tetap stabil

- Bawa perlengkapan liputan, P3K, dan makanan cadangan

- Bawa tanda pengenal dan kartu pers

- Selalu melaporkan ke pihak kantor apa yang dilakukan di lapangan

- Gunakan pakaian lapangan yang nyaman 

- Jika memungkinkan kenakan rompi antipeluru dan helm

- Lengkapi diri dengan asuransi

- Siapkan diri dengan kemungkinan terburuk yang terjadi di lapangan

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat