Kota Madinah terus mengalami perkembangan pesat sejak awal masa dakwah Nabi Muhammad SAW hingga kini. | DOK EPA Nabil Mounzer

Tema Utama

Madinah Hingga Masa Modern

Sepeninggalan Nabi Muhammad SAW, Madinah mengalami berbagai dinamika politik dan sosial.

OLEH HASANUL RIZQA

 

Sekitar 10 tahun lamanya Nabi Muhammad SAW berdakwah di Madinah. Periode tersebut dimulai sejak beliau dan Abu Bakar ash-Shiddiq berhijrah dari kota kelahirannya, Makkah al-Mukarramah, pada 2 Rabiul Awwal tahun ke-13 dari kenabian, bertepatan dengan 20 Juli 622 M.

Kota tujuannya kala itu masih bernama Yastrib. Sejak ditempati dan dipimpin Rasulullah SAW, namanya menjadi Madinah al-Munawwarah (Kota Penuh Cahaya) atau Madinah an-Nabi (Kota Nabi).

Dengan dipimpin beliau, Madinah yang sebelumnya kerap diwarnai pertikaian menjadi penuh kedamaian, kemakmuran, dan stabilitas. Dua kabilah Arab yang utama di sana, yakni Aus dan Khazraj, tidak lagi terlibat permusuhan.

Muslimin juga menjalin perjanjian damai dengan Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa setempat meskipun ketiga suku Yahudi itu kerap mengadakan konspirasi untuk menjatuhkan Nabi SAW.

Sekitar delapan tahun sejak hijrah, Rasulullah SAW sukses memimpin ekspedisi pembebasan Makkah (Fathu Makkah). Kota tempat Masjidil Haram berada dibebaskan tanpa pertumpahan darah, padahal waktu itu beliau memiliki kekuatan militer yang lebih unggul daripada Quraisy.

Seluruh petinggi dan masyarakat Makkah yang sebelumnya memusuhi Nabi SAW dan Muslimin kemudian dimaafkan. Lantas, berbondong-bondong penduduk setempat memeluk Islam.

Sesudah Fathu Makkah, sempat muncul kekhawatiran di sebagian golongan Anshar—penduduk Madinah. Mereka cemas bilamana Rasulullah SAW pada akhirnya kembali ke kampung halamannya, Makkah, sehingga meninggalkan Madinah yang telah menolongnya dan Muhajirin dahulu dari keganasan Quraisy. Hal itu lantas didengar Nabi SAW.

Beliau kemudian mengumpulkan orang-orang Anshar dan bersabda, “Tidakkah kalian rela, wahai saudara-saudara Anshar, jika orang-orang itu (penduduk Makkah) pergi membawa kambing, membawa unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad, seandainya bukan karena hijrah, tentu saya termasuk golongan Anshar. Jika orang menempuh suatu celah gunung, sedangkan Anshar menempuh jalan yang lain, niscaya saya memilih jalan yang dilalui Anshar. Allahumma, ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak-anak, cucu-cucu Anshar!”

Mendengar itu, seluruh kaum Anshar menangis haru. Mereka merasakan, betapa sayang dan cintanya Rasulullah SAW terhadap penduduk Madinah. Begitu pula, tidak ada yang paling mereka cintai selain Allah dan Rasul-Nya. “Biarlah orang-orang itu mendapatkan seisi dunia, sedangkan Rasulullah SAW tinggal bersama kami, sebagai bagian dari kami!” seru mereka.

 
Biarlah orang-orang itu mendapatkan seisi dunia, sedangkan Rasulullah SAW tinggal bersama kami, sebagai bagian dari kami
 
 

Sesudah Perang Tabuk, Nabi SAW tidak pernah lagi meninggalkan Madinah kecuali saat melaksanakan ibadah haji (Hajj Wada’). Dua tahun setelah Hajj Wada’, beliau mengalami sakit. Akhirnya, sang Khatamul Anbiya' wal Mursalin berpulang ke rahmatullah pada Senin bulan Rabiul Awal, tahun ke-11 Hijriah, dalam usia 63 tahun. Jasadnya dimakamkan di rumah istrinya, ‘Aisyah binti Abu Bakar, tepat di sebelah Masjid Nabawi.

Sepeninggalan Nabi SAW, umat Islam dipimpin empat sahabat yang mulia, yakni para khulafaur rasyidin. Tiga khalifah yang pertama, yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan, menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahan.

Berbeda halnya dengan khalifah terakhir dalam periode khulafaur rasyidin, Ali bin Abi Thalib. Sepupu Rasulullah SAW itu meninggalkan Madinah untuk menuju Kufah, Irak, pada Rajab 36 H atau Oktober 656 M.

Peralihan kepemimpinan dari Utsman kepada Ali disertai prahara besar. Khalifah ketiga itu syahid karena dibunuh di rumahnya oleh gerombolan pemberontak. Ali, yang pada mulanya menolak, akhirnya bersedia diangkat menjadi khalifah karena melihat dengan cara itulah Muslimin dapat kembali disatukan di tengah guncangan.

Namun, sebagian tokoh, khususnya para pendukung Mu’awiyah bin Abu Sufyan dari Syam (Suriah), menentang kepemimpinan Ali. Demi menyelamatkan kesucian Madinah dari intrik-intrik politik yang kotor di kemudian hari, Ali pun berinisiatif memindahkan ibu kota ke Kufah.

Di Masjid Agung Kuffah, Ali diserang oleh pendukung Khawarij saat sedang memimpin shalat subuh. Dua hari kemudian, menantu Nabi SAW itu syahid. Putranya, Hasan, lalu diangkat menjadi khalifah.

Namun, jabatan itu dilepasnya setelah enam atau tujuh bulan. Cucu Rasulullah SAW itu berijtihad, konflik di tengah umat akan mereda bila dirinya meletakkan jabatan. Mu’awiyah pun resmi menjadi khalifah sekaligus mendirikan Dinasti Umayyah yang berbasis di Damaskus pada 661 M.

photo
Masjid Agung Kufah di Irak - (DOK Wikipedia)

Masa dinasti-dinasti

Pada periode awal Dinasti Umayyah, Madinah cenderung menjadi tempat bagi mereka yang ingin “mengungsi” dari hiruk-pikuk politik. Hasan bin Ali tinggal di sana sesudah melepaskan titel khalifah. Begitu pula dengan istri-istri dan anak-anak Husain bin Ali, cucu Nabi SAW yang syahid dalam Insiden Karbala. Orang-orang Bani Umayyah yang tidak mau terlibat dalam kepemimpinan Mu’awiyah dan Yazid bin Mu’awiyah, juga menetap di Kota Nabi.

Era Yazid menimbulkan tekanan bagi penduduk Madinah. Raja kedua Dinasti Umayyah itu bahkan mengirimkan pasukan di bawah komando Muslim bin Uqbah untuk menyerbu kota tersebut. Mereka membunuh para penentang rezim Umayyah yang tinggal di sana. Masyarakat setempat pun hidup dalam ketakutan.

Pada 63 H atau 682 M, Abdullah bin Zubair menyatakan dirinya sebagai khalifah di Makkah. Penduduk Madinah mengakui kepemimpinannya. Dimulailah suatu kontestasi politik baru, yakni antara kutub Haramain dan Damaskus.

Bagaimanapun, selama beberapa tahun pertentangan politik itu terjadi, Madinah tidak pernah mengalami kerasnya pertumpahan darah. Pada 70 H atau 689 M, Dinasti Umayyah mengendalikan total pemerintahan atas dua kota suci, Makkah dan Madinah. Sejak itu, stabilitas politik kembali dirasakan masyarakat setempat.

Madinah dengan cepat bertransformasi sebagai kota intelektual. Hal itu wajar adanya karena banyak generasi sahabat Rasulullah SAW, tabiin, dan tabiit tabiin yang menetap dan mengajar di kota tersebut.

Pada era Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Kota Nabi mengalami kemajuan pesat. Majelis-majelis ilmu kian banyak dan tersebar. Selain itu, penguasa juga merenovasi Masjid Nabawi.

 
Pada era Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Kota Nabi mengalami kemajuan pesat.
 
 

Begitu pula dengan berbagai infrastruktur publik, semisal jalan, pasar, sekolah, saluran irigasi, dan sebagainya. Alhasil, kondisi ekonomi dan sosial di sana pun semakin berkembang.

Pada 132 H atau 750 M, Dinasti Abbasiyah mengalahkan Bani Umayyah. Sejak itu, Madinah mengalami tiga fase penting. Pertama, periode antara 132-363 H (750-974 M). Kota Nabi diwarnai ketenangan dan prahara politik yang silih berganti.

Ketika dipimpin gubernur yang cakap, kota tersebut merasakan perkembangan yang signifikan dalam bidang dakwah, ilmu pengetahuan, dan sosial. Akan tetapi, bila gubernur menjalankan kebijakan-kebijakan yang tidak efektif, stagnan terjadi di sana.

Kedua, periode antara 363-546 H (974-1151 M). Dua abad lamanya, Madinah terikat dengan kekuasaan Dinasti Fatimiyyah yang berpusat di Mesir. Hubungan antara gubernur-gubernur Madinah dan Mesir cenderung fluktuatif. Terkadang, hubungan tersebut sekadar formalitas.

Ketiga, periode antara 546-652 H (1151-1254 M). Di Suriah, Nuruddin Zanki naik sebagai penguasa yang bercita-cita menyatukan Muslimin dari Irak hingga Mesir. Pemimpin berdarah Turki itu juga sukses menghalau Pasukan Salib.

Imbasnya bagi Madinah, dalam masa tersebut umumnya diliputi ketenangan dan kelapangan. Tak hanya memperbaiki jalan-jalan untuk rute haji, Nuruddin pun memberikan kekayaan yang berlimpah untuk membangun berbagai infrastruktur di Madinah. Kebijakannya diteruskan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.

Wangsa Ayyubi tergantikan oleh Dinasti Mamluk di Mesir. Madinah ikut merasakan imbasnya. Umumnya, kondisi kota setempat silih berganti antara konflik politik dan stabilitas. Kehidupan di sana dapat dipandang dari dua perspektif, yakni arus ilmu, ibadah, dan pekerjaan sehari-hari di satu sisi dan arus pergolakan politik di sisi lain. Perebutan kekuasaan kerap terjadi, termasuk antara penguasa Madinah dan sepupu mereka yang memerintah di Makkah.

Dari Anatolia, Sultan Selim I berhasil mengalahkan Mamluk. Sejak itu, penguasaan atas dua kota suci—Makkah dan Madinah—berada di tangan Dinasti Turki Utsmaniyah. Pada 939 H atau 1532 M, Sultan Suleiman I al-Qanuni membangun benteng di sekitar kota tersebut sehingga menguatkan jaminan keamanan. Tidak hanya memakmurkan Madinah, Masjid Nabawi pun direnovasi dengan menambah berbagai fitur modern.

photo
Sultan Selim I - (DOK Wikipedia)

Di Arab Tengah atau Najd, muncul gerakan puritan yang dipimpin Muhammad bin Abdil Wahhab. Tokoh Wahabi itu bekerja sama dengan Saud bin Abdul Aziz pada 1220 H atau 1805 M. Pemuka Madinah pun berbaiat kepada mereka.

Namun, Muhammad Ali Pasha berhasil mengalahkan aliansi Saud. Saat memerintah kota itu, Ali Pasha memperindah Masjid Nabawi. Ia mendirikan asrama besar untuk membagikan harta dan makanan kepada fakir miskin.

Akhir kepemimpinannya menandakan awal masa modern Madinah di bawah panji Utsmaniyah. Hal itu ditandai dengan, antara lain, pembangunan rel kereta dan jaringan listrik yang menghubungkan Konstantinopel (Istanbul) dan Hijaz.

 

Sejarah Masjid Nabawi

 

Madinah al-Munawwarah akan selalu berada di hati setiap Muslim. Di sanalah cahaya Islam bersinar terang benderang. Kota itulah yang merasakan untuk pertama kalinya kepemimpinan Nabi Muhammad SAW selaku kepala negara.

Rasulullah SAW menjadikan wilayah yang sebelumnya bernama Yastrib itu sebagai kota ilmu. Dan, pusat pendidikannya berlokasi persis di Masjid Nabawi. Di tempat itulah, beliau membina dan membimbing tunas-tunas muda, yang pada akhirnya menjadi lokomotif pengembangan syiar Islam.

Nabi SAW mendirikan Masjid Nabawi begitu sampai di Madinah dari Makkah al-Mukarramah. Penentuan lokasinya berdasarkan tempat berhenti untanya beliau. Pada mulanya, masjid tersebut berbentuk sangat sederhana. Denahnya seperti bujur sangkar dengan luas sekitar 1.060 meter persegi.

Pada tahun ketujuh Hijriah, Masjid Nabawi tak cukup lagi menampung Muslimin yang jumlahnya kian bertambah. Nabi SAW pun memerintahkan perluasan masjid itu. Masjid Nabawi diperluas pada sisi barat dan utara sehingga total luasnya menjadi 2.475 m persegi.

photo
Kaligrafi nama Nabi Muhammad SAW pada gerbang masjid Tanah Suci. Rasulullah SAW memimpin Madinah dan menjadikannya basis kekuatan Islam yang pertama. - (DOK WIKIPEDIA)

Pada zaman khulafaur rasyidin, kian banyak umat Islam menghuni Madinah. Khalifah Umar bin Khattab memperluas lagi Masjid Nabawi dengan menambah area seluas 1.100 m persegi. Adapun ruangan seluas 470 m persegi ditambahkan pada zaman Khalifah Utsman bin Affan.

Khalifah al-Walid bin Abdil Malik dari Dinasti Umayyah merenovasi Masjid Nabawi. Untuk pertama kalinya, menara-menara masjid tersebut juga dibangun pada masanya. Empat buah menara dengan ketinggian hingga 27,5 m dibangunnya pada tiap empat sudut bangunan.

Pada 161 H atau 777 M, Khalifah al-Mahdi dari Dinasti Abbasiyah memperluas dan merenovasi Masjid Nabawi hingga luasnya menjadi 8.890 m persegi. Perbaikan juga dilakukan Abbasiyah pascakebakaran besar pada masjid tersebut pada 654 H atau 1226 M.

Kubah pertama di Masjid Nabawi dibangun atas perintah dari Sultan al-Manshur Qolawun ash-Sholihi dari Dinasti Mamluk. Kubah yang dibangun di atas makam Nabi SAW itu berwarna hijau sehingga dikenal sebagai Kubah Hijau hingga kini.

photo
Masjid Nabawi di Kota Madinah al-Munawarah mulai dipadati jamaah haji dari berbagai negara. Foto diambil sebelum pandemi Covid-19 - (Syahruddin El-Fikri/Republika)

Pada 1277 H atau 1860 M, Dinasti Turki Utsmaniyah memperluas dan memperindah bangunan suci itu. Seluruh atap Masjid Nabawi ditutup dengan kubah-kubah yang bervariasi ukurannya dengan jumlah 170 buah.

Memasuki abad ke-20, Kerajaan Arab Saudi terus menggencarkan perawatan dan pembangunan kawasan dua kota suci. Pada 1984, Raja Fahd memerintahkan renovasi yang terbesar dan termegah dalam sejarah Masjid Nabawi. Maka jadilah luas masjid itu mencapai 92.327 m persegi.

Proyek itu dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama menambah kapasitas masjid menjadi lebih dari 800 ribu orang jamaah. Melalui tahap kedua dan ketiga, daya tampung Masjid Nabawi ditambah menjadi lebih dari satu juta jamaah.

Pemerintah Saudi bervisi, sebelum tahun 2040 akan ada penambahan ruang lagi di masjid peninggalan Nabi Muhammad SAW itu sehingga dapat menampung 1,2 juta jamaah.

photo
Jamaah beribadah di area saf Raudhatun Jannah/Raudhah (Taman Surga) di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi, Senin (6/5/2019) - (ANTARA FOTO)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat