Madinah, kota yang dahulu bernama Yastrib ini, memiliki riwayat sejarah yang panjang. Bahkan, keberadaannya konon sudah tercatat sejak zaman pascabanjir besar masa Nabi Nuh. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Jejak Sejarah Kota Nabi

Madinah diyakini berdiri sejak surutnya banjir besar pada zaman Nabi Nuh.

 

OLEH HASANUL RIZQA

Inilah kota tujuan Rasulullah SAW tatkala berhijrah lebih dari 14 abad silam. Madinah al-Munawwarah merupakan salah satu tanah suci menurut Islam. Hati setiap Muslim akan terpaut padanya.

 

Umat Islam memiliki tiga kota suci. Salah satunya adalah Madinah al-Munawwarah. Wilayah yang berjulukan Kota Nabi SAW itu acapkali disebut sebagai kota suci kedua, yakni setelah Makkah al-Mukarramah dan sebelum Yerusalem. Julukan demikian sangat berdasar.

Sebab, di sanalah tujuan hijrah Nabi Muhammad SAW. Peristiwa hijrah yang terjadi pada 622 Masehi itu mengawali fase penting dalam sejarah Islam. Di kota itulah, Rasulullah SAW pun menetap hingga akhir hayatnya. Bahkan, jenazah beliau dimakamkan di sana, tepatnya pada ujung selatan Masjid Nabawi.

Secara geografis, Madinah terletak di tengah-tengah Kawasan Hijaz yang meliputi Kerajaan Arab Saudi bagian barat. Posisinya berada sekitar 625 meter dari atas permukaan laut. Lokasinya tidak begitu jauh dari pesisir Laut Merah. Bila ditarik garis lurus, jaraknya dengan tepi pantai sejauh 150 kilometer (km). Pelabuhan terdekat ialah Bandar Yanbu, yang berada 221 km arah barat daya kota tersebut.

Tak ubahnya kota-kota di sekujur Semenanjung Arabia, Madinah memiliki iklim gurun yang kering. Suhu udaranya bercirikan panas yang tinggi dengan interval antara 30 hingga 45 derajat celsius. Namun, suhu udara setempat menurun cukup drastis tatkala musim dingin, yakni antara 10 hingga 25 derajat celsius.

Antara Madinah dan Makkah terbentang jarak 430 km. Seperti halnya kota tempat kelahiran Nabi SAW itu, Madinah juga memiliki sejarah yang panjang. Dalam buku Sejarah Kota Madinah Munawwarah dan Tempat-tempat Bersejarahnya yang diterbitkan Pusat Riset dan Penelitian Ilmiah Kerajaan Arab Saudi, disebutkan bahwa riwayat kota tersebut bermula sejak beberapa masa pascabanjir besar yang melanda umat Nabi Nuh AS.

Para pakar sejarah menyatakan, pendiri Madinah bernama Yastrib. Tak mengherankan bila kota itu disebut Yastrib sebelum Rasulullah SAW mengubahnya menjadi “Madinah”. Yastrib dipercaya sebagai seorang keturunan Nabi Nuh AS dari generasi keenam atau kedelapan. Kabilah yang dipimpinnya ialah A’bil.

 
Para pakar sejarah menyatakan, pendiri Madinah bernama Yastrib.
 
 

Dari masa ke masa, penghuni kota tersebut tidak hanya berasal dari kalangan Bani A’bil, tetapi juga masyarakat lain. Mereka datang ke sana baik secara berkelompok maupun sendiri-sendiri. Lama kelamaan, Kabilah A’bil tidak dapat bersaing dengan orang-orang A’maliq, para pendatang yang sukses mengolah kebun-kebun setempat.

Beberapa abad sebelum Masehi (SM), ada sejumlah kerajaan yang menguasai Madinah. Di antaranya adalah Negeri Ma’in, Saba, dan Kaldaniyin. Keberadaan Madinah bukanlah sesuatu yang asing bagi para ahli sejarah dan geografi dari era Yunani Kuno.

Klaudius Ptolemaeus, seorang ahli geografi kelahiran Iskandariah, Mesir, yang hidup pada abad kedua menyebutkan keadaan suatu kota di dekat pesisir barat Arab yang disebutnya Iathrippa (Yathrib). Begitu pula dengan manuskrip-manuskrip peninggalan Stephanus Byzantium pada abad keenam.

photo
Konsep artis zaman pertengahan dari Claudius Ptolemaeus - (DOK Wikipedia)

Pra-Hijrah

Sejak belasan ribu tahun SM, orang-orang Arab menghuni Makkah dan sekitarnya. Mereka adalah keturunan Nabi Ibrahim AS dari jalur Nabi Ismail AS. Barulah pada abad keenam SM, sebagian orang-orang Yahudi, yakni keturunan sang Khalilullah dari trah Nabi Ishaq AS, hijrah ke Hijaz, termasuk Madinah. Umumnya, para pendatang itu mengungsi dari tempat kelahiran mereka di daerah Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent) karena diusir penguasa yang zalim.

Pada awal abad kedua Masehi, Madinah mulai dihuni tiga kabilah Yahudi yang utama. Mereka adalah Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa. Ketiganya memperkenalkan budaya pertanian dan perkebunan kepada penduduk setempat.

Kabilah-kabilah Yahudi itu dikenal ahli dalam mengolah lahan-lahan di sekitar oasis untuk ditanami kurma. Untuk melindungi diri, masing-masing suku bangsa itu tinggal di kawasan—baik dalam maupun sekitaran Madinah—yang dipagari tembok benteng.

Pada abad kelima, Bendungan Mar’ib di Arab Selatan (Yaman) jebol. Negeri Yaman yang sebelumnya tenteram dan subur pun porak-poranda. Banyak kabilah Arab hijrah dari sana menuju arah utara. Dua kabilah di antaranya, yakni Aus dan Khazraj, kemudian berhenti di Madinah. Mereka menghuni wilayah-wilayah setempat yang masih belum digarap.

photo
Reruntuhan bendungan Ma'rib - (lite.Islamstory.com)

Tiga kabilah Yahudi yang lebih dahulu menetap di Madinah melihat para pendatang Arab itu sebagai peluang. Sebab, orang-orang Yahudi kala itu membutuhkan banyak tenaga untuk menggarap kebun-kebun. Jadilah mereka mempekerjakan kabilah Aus dan Khazraj. Dengan perkataan lain, keahlian bertani dan berkebun pun ditransmisikan kepada orang-orang Arab itu.

Seiring berjalannya waktu, kondisi Aus dan Khazraj pun kian membaik. Bahkan, kabilah-kabilah Arab itu mulai menyaingi suku-suku Yahudi di Madinah, baik dalam hal jumlah penduduk maupun kemampuan mengolah lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Kabilah-kabilah Yahudi akhirnya menampakkan rasa khawatir dan gentar.

Namun, antara Aus dan Khazraj pada masa itu lebih sering diwarnai kontestasi atau bahkan konflik terbuka. Orang-orang Yahudi memanfaatkan situasi tersebut. Bani Quraizhah dan Bani Nadhir secara terang-terangan menjadi sekutu Bani Aus.

Sementara itu, Bani Qainuqa mendukung Bani Khazraj untuk melawan Aus. Ketika kedua suku Arab itu saling berperang, orang-orang Yahudi ikut memerangi saudaranya yang berada di kubu lawan. Seandainya kemudian ada dari mereka yang tertawan, maka tawanan itu dapat ditebus dengan harta.

Dalam hal ini, orang-orang Yahudi itu bersikap mendua, yakni mengamalkan tetapi sekaligus meninggalkan sebagian ajaran kitab suci mereka. Kelak, sikap itulah yang disinggung Allah SWT melalui wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad SAW.

Misalnya, surah al-Baqarah ayat 85, yang artinya, “Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (sesamamu), dan mengusir segolongan dari kamu dari kampung halamannya. Kamu saling membantu (menghadapi) mereka dalam kejahatan dan permusuhan. Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal kamu dilarang mengusir mereka. Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat.”

Masa Nabi SAW

Pada akhirnya, para pemuka Aus dan Khazraj memutuskan untuk berunding demi menengahi peperangan. Kedua belah pihak lantas bersepakat untuk hidup dengan damai.

Prinsipnya, mereka memang berbeda, tetapi bersedia menyatukan kekuatan untuk melindungi Madinah bila diserang dari luar. Orang-orang Yahudi tidak suka melihat saingan Arab mereka saling berdamai. Maka, dilancarkanlah berbagai tipu daya untuk menjerumuskan Aus dan Khazraj kembali ke kancah konflik.

Mereka pun membunuh beberapa orang dari kaum Aus dan Khazraj. Akibatnya, dua suku Arab itu meminta bantuan dari sepupunya yang tinggal di Gosasinah, Syam—Suriah dan sekitarnya.

Gelombang pasukan pun dikirim dari arah utara Madinah itu. Meskipun dapat dipatahkan, kekuatan kabilah-kabilah Yahudi tidak menyerah begitu saja. Mereka justru kian gencar dan semakin rapi dalam menjalankan fitnah di antara bangsa Arab penduduk Madinah.

 
Kaum Yahudi justru kian gencar dan semakin rapi dalam menjalankan fitnah di antara bangsa Arab penduduk Madinah.
 
 

Hasilnya, perang pun kembali pecah antara Aus dan Khazraj. Bahkan, pertempuran yang dinamakan Perang Bua’ts itu berlangsung lama, yakni hampir 120 tahun. Suku-suku Yahudi di Madinah girang bukan main. Aus dan Khazraj mengalami kerugian besar.

Akhirnya, kedua kabilah Arab itu bersepakat untuk meneguhkan perjanjian damai lagi. Kali ini, Abdullah bin Ubay bin Salul diangkat sebagai penengah sekaligus pemimpin mereka.

Namun, posisi tokoh yang berasal dari Bani Khazraj itu tidak bertahan lama. Allah Ta’ala menghendaki skenario lain, yakni menjadikan nabi-Nya sebagai pemimpin Negeri Madinah sehingga terjagalah ketenteraman dan kedamaian di sana. Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah pada Tahun Gajah atau sekitar 570 M. Sejak berusia 40 tahun, beliau menerima wahyu dari Allah.

Sebagai utusan-Nya, Rasulullah SAW berdakwah kepada manusia. Sebagian besar penduduk Makkah kala itu tidak hanya menolak dakwahnya, tetapi juga tak segan-segan menyiksa dan bahkan membunuh para pengikutnya. Beliau sendiri berkali-kali menerima persekusi dan ancaman pembunuhan.

Tradisi berziarah atau haji ke Ka’bah di Makkah saat itu sangat kental akan nuansa paganisme. Berbagai berhala “mengotori” bangunan suci tersebut yang didirikan bapak moyang bangsa Arab—Nabi Ibrahim dan Ismail AS. Di antara para peziarah ialah orang-orang Arab dari Madinah.

photo
Masjid Nabawi di Madinah al-Munawwarah, Arab Saudi, diproyeksikan dapat menampung lebih dari 1 juta jamaah pada 2040 mendatang. - (DOK EPA Mohamed Messara)

Karena bertetangga dengan orang-orang Yahudi, masyarakat Arab, baik dari Aus maupun Khazraj, mengetahui nubuat yang disampaikan para ahli kitab mengenai akan datangnya utusan Allah SWT di tengah manusia. Para pemuka Yahudi kerap membuat propaganda bahwa nabi Allah itu akan mendukung Yahudi dan membinasakan musuh-musuhnya, termasuk Aus dan Khazraj.

Muhammad Husain Haekal dalam Hayat Muhammad menuturkan, propaganda itu didasari tabiat Yahudi yang selalu menganggap diri mereka sebagai “bangsa pilihan Tuhan”. Di samping itu, orang-orang Yahudi pun tak pernah mengajak suku lain di luarnya untuk menganut agamanya atau monoteisme.

Bagaimanapun, berkat interaksinya dengan orang-orang Yahudi, Aus dan Khazraj menjadi yang paling banyak mengetahui perkara-perkara kerohanian dan keagamaan monoteisme dibanding suku-suku Arab lainnya.

Maka, perjumpaan dengan Nabi Muhammad SAW begitu berkesan bagi para jamaah haji dari Madinah—yang kala itu masih bernama Yastrib. Mereka dengan kebulatan hati meyakini, beliaulah sosok yang disebut-sebut para Yahudi ahli kitab sebagai sang penutup para nabi.

Baiat Aqabah I terjadi pada 621 M. Itulah perjanjian antara Nabi SAW dan 12 orang Yastrib yang memeluk Islam. Peristiwa yang mengawali tonggak penting dalam sejarah Islam: hijrah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat