Sejumlah menteri kabinet berfoto bersama seusai menyampaikan keterangan pers terkait penjelasan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (7/10). | Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO

Opini

Perubahan UU Cipta Kerja

Kurang pengetikan dalam UU Cipta Kerja, jika tak segera ditindaklanjuti, dapat jadi preseden buruk.

JOHAN IMANUEL, Advokat dan Praktisi Hukum 

Setelah UU Cipta Kerja diundangkan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020, hal tersebut menjawab prediksi beberapa kalangan yang mendesak dikeluarkannya peraturan pengganti undang-undang (perppu) untuk menunda pemberlakuan UU Cipta Kerja.

Tercatat, UU Cipta Kerja mendapatkan sorotan publik dari proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, bahkan pengesahan. Kurangnya keterbukaan dan partisipasi publik menjadi alasan dominan dalam menyorot proses sebelum diundangkannya UU Cipta Kerja.

Selain itu, materi dalam UU Cipta Kerja terdapat kurang pengetikan karena pada Pasal 6 dinyatakan, merujuk Pasal 5 ayat (1),  sangat disayangkan Pasal 5 ayat (1) tidak disebutkan. Dengan demikian, ini memberikan ketidakpastian hukum pada UU Cipta Kerja yang telah diundangkan.

Memang jika melihat historical draf RUU Cipta Kerja yang beredar saat itu dengan jumlah 905 halaman, justru pasal itu tercantum.

Selain kurang pengetikan, menurut penulis, dalam format penulisan pengaturan pasal per pasal yang merupakan perubahan dari UU lainnya tidak mematuhi Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.

 
Pemerintah dan DPR harus menunjukkan sikap kenegarawanan dengan segera dirancang perubahan UU Cipta Kerja.
 
 

Format penulisan perubahan UU dimulai dengan pasal yang ditulis dengan angka romawi, yang dilanjutkan dengan angka arab (angka 233 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011).

Namun, karena sudah telanjur, diperlukan jalan keluar yang dapat diterima publik tanpa mengurangi ketentuan yang berlaku di Indonesia. Beberapa ide terkait hal ini banyak diberitakan, seperti uji materiil, penerbitan perppu, atau perbaikan dalam salinan.

Menurut penulis, seharusnya menilik kembali proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Pemerintah dan DPR harus menunjukkan sikap kenegarawanan dengan segera dirancang perubahan UU Cipta Kerja. Langkah normatif harus didahulukan daripada langkah politis.

Preseden buruk

Dengan adanya kurang pengetikan dalam UU Cipta Kerja, jika tidak segera ditindaklanjuti, dapat menjadi preseden buruk.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), preseden adalah hal yang telah terjadi lebih dahulu dan dapat dipakai sebagai contoh.

Dengan demikian, preseden buruk dapat diartikan contoh yang tidak baik. Dalam hal ini, kejadian kurang pengetikan bila tidak segera dilakukan tindakan koreksi, yang kemudian hari malah menjadi praktik ketatanegaraan (tanpa memperhatikan prosedur hukum). 

Maka itu, agar tidak dikatakan preseden buruk oleh publik, harus dilakukan perubahan terhadap kurang pengetikan dalam UU Cipta Kerja, melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Terkait permasalahan dalam pengetikan peraturan perundang-undangan, memang bukan hal pertama di Indonesia.  Permasalahan pengetikan terkait UU Cipta Kerja sebelum diundangkan pun terjadi pada saat tercantumnya Pasal 170 dalam RUU Cipta Kerja.

 
Jadi, UU Cipta Kerja dengan kurang pengetikan sifatnya mengikat. Bila ada yang perlu diperbaiki, ranah atau prosedur dalam perubahan undang-undang.
 
 

Saat itu berbunyi: "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan UU ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam UU ini dan/atau mengubah ketentuan dalam UU yang tidak diubah dalam UU ini.’’

Sementara itu, ayat (2), "Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah". Menteri hukum dan HAM saat disorot akan adanya Pasal 170 ini, menerangkan di berbagai media hal itu merupakan salah ketikan.

Namun, karena masih dalam draf sehingga proses perubahan pengetikan atau penghapusan masih dapat dilakukan. Hal ini tidak sama dengan suatu peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan dan berlaku untuk umum.

Pasal 87 UU Nomor 12 Tahun 2011 tegas menyatakan, peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-undangan bersangkutan.

Jadi, UU Cipta Kerja dengan kurang pengetikan sifatnya mengikat. Bila ada yang perlu diperbaiki, ranah atau prosedur dalam perubahan undang-undang.

Perubahan undang-undang

Karena itu, mendesak agar dilakukan perubahan UU Cipta Kerja demi perbaikan kurang pengetikan pada Pasal 6. Perubahan UU Indonesia telah dinyatakan dalam Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 angka 230 sampai dengan 238.

 
Kurang pengetikan dalam Pasal 6 UU Cipta Kerja mendesak diperbaiki, dengan mengusulkan perubahan undang-undang dari pemerintah.
 
 

Dalam angka 230 dinyatakan, perubahan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan menyisip atau menambah materi ke dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu, menghapus atau mengganti sebagian materi peraturan perundang-undangan.

Pada angka 231 dinyatakan, perubahan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat, selain itu kata, frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.

Menurut penulis, kurang pengetikan dalam Pasal 6 UU Cipta Kerja mendesak diperbaiki, dengan mengusulkan perubahan undang-undang dari pemerintah karena diharuskan, adanya penambahan frasa dan kalimat dalam hal ini bunyi Pasal 5 ayat 1.

Ini demi kepentingan publik, mencegah preseden buruk, tetap mematuhi asas pembentukan perundang-undangan yang baik serta mekanisme perubahan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat