Petugas medis menyisir warga saat proses simulasi uji coba vaksinasi Covid-19 di Puskesmas Tapos, Depok, Jawa Barat, Kamis (23/10). | Prayogi/Republika

Opini

Penerima Vaksin Covid-19

Peta jalan pemberian vaksin Covid-19 sebaiknya disesuaikan dengan perkembangan ilmu yang mungkin ada.

TJANDRA YOGA ADITAMA, Guru Besar Paru FKUI dan Mantan Direktur WHO SEARO

Dengan berbagai dinamikanya, diperkirakan dalam hitungan bulan mendatang, di dunia tersedia vaksin Covid-19.

Badan Pengawas Obat dan Makanan di setiap negara tentu akan mengkaji kemungkinan pemberian izin edar, setidaknya yang bersifat sementara dalam kerangka emergency use of authorization (EUA).

WHO, sejak Oktober lalu, juga membuka pintu bagi produsen vaksin menyampaikan dokumen lengkap untuk dievaluasi dalam rangka kemungkinan diberikan prakualifikasi atau memasukkannya dalam emergency use of listing.

Sesudah vaksin diizinkan beredar, pada masa awal belum akan tersedia vaksin bagi seluruh penduduk suatu negara dan dunia. Produksinya tentu memakan waktu. Karena itu, perlu mekanisme penahapan, WHO menyebutnya allocation framework.

Tampaknya, sudah jadi semacam kesepahaman umum. Tahap pertama vaksinasi untuk petugas kesehatan dan petugas lapangan lainnya, lalu diperluas secara bertahap.

 
Jadi, peta jalan pemberian vaksin Covid-19 di suatu negara sebaiknya disesuaikan dengan perkembangan ilmu yang mungkin ada. 
 
 

Di sisi lain, kita tahu ada yang tergolong risiko tinggi, mereka yang di atas 60 tahun dan dengan penyakit penyerta (ko-morbid). Data menyebutkan, mereka yang berusia di atas 65 tahun berjumlah sembilan persen dari penduduk dunia.

Namun, 30- 40 persen kasus Covid-19 di dunia adalah mereka yang berumur di atas 65 tahun juga sekitar 80 persen kematian akibat penyakit ini. Kelompok risiko tinggi harus dilindungi karena akan banyak memengaruhi penurunan angka kesakitan bahkan kematian.

Memang, sebagian uji klinik vaksin hanya pada kelompok umur tertentu, misalnya 18-59 tahun dan tanpa ko-morbid. Namun, ada yang memasukkan usia di atas 60 tahun dan atau dengan ko-morbid. Sebagian lain, menyertakan usia di bawah 18 tahun.

Jadi, peta jalan pemberian vaksin Covid-19 di suatu negara sebaiknya disesuaikan dengan perkembangan ilmu yang mungkin ada. Karena itu, sebaiknya peta jalan berbentuk “living document”.

Kalau kini vaksin hanya bagi usia di bawah 60 tahun dan tanpa ko-morbid, dalam beberapa bulan mendatang mungkin disesuaikan. Khususnya, bila ada uji klinik pada orang tua dan atau dengan ko-morbid.

Herd community

Masih ada perhitungan berapa cakupan imunisasi agar di suatu negara tercapai satu kekebalan kelompok, herd immunity untuk pengendalian Covid-19.

Ada tiga hal yang berpengaruh, yaitu efektivitas vaksin, berapa lama kekebalan bertahan, dan berapa besar angka penularan atau ‘Ro’. Makin kurang efektif vaksinnya, makin pendek lama kekebalan yang terbentuk dan makin tinggi ‘Ro’.

 
Sebelum memulai vaksinasi, penentu kebijakan tentu mempunyai angka ini sehingga cakupan vaksinasi dapat ditetapkan dan dimonitor pencapaiannya dari waktu ke waktu.
 
 

Tentu, akan makin tinggi cakupan yang harus dicapai untuk mendapat herd immunity. Sebelum memulai vaksinasi, penentu kebijakan tentu mempunyai angka ini sehingga cakupan vaksinasi dapat ditetapkan dan dimonitor pencapaiannya dari waktu ke waktu.

Dari media kita dengar, Indonesia akan memberikan vaksin Covid-19 secara cuma-cuma dan ada yang membayar sendiri, program mandiri. Bagi yang mendapat vaksin gratis, lebih mudah dimonitor berapa yang sudah divaksinasi.

Namun, program mandiri, lebih sulit memantaunya, apakah arah ke herd immunity sesuai jalur atau belum. Jadi, di awal lebih baik ditetapkan titik beratnya, kalau vaksinasi berjalan diharapkan berdampak pada angka kesakitan dan kematian serta diperluas dari waktu ke waktu.

Antisipasi pada mereka yang mungkin menolak divaksin juga harus jadi perhatian. Ini perlu diantisipasi dengan hati-hati dan cermat, serta berdasarkan bukti ilmiah yang valid, khususnya soal efektivitas dan keamanan vaksin.

Kegiatan selanjutnya

Sesudah vaksin diberikan, pemantauan harus tetap dilaksanakan. Kita tahu, uji klinik fase III sudah dilakukan pada ribuan orang, tapi pemberian massal pada jutaan orang di suatu negara atau miliaran di dunia tentu perlu pengamatan dan analisis yang tajam.

 
Kedua, efektivitas vaksin pada penderita penyakit berat dan atau keadaan tertentu. 
 
 

Hal ini dapat dilakukan dengan uji klinik fase IV dan atau post marketing surveillance. Uji klinik fase IV merupakan pengamatan terhadap vaksin yang telah dipasarkan. Uji ini bertujuan untuk menentukan pola penggunaan di masyarakat serta efektivitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya di lapangan.

Uji ini dapat berupa survei epidemiologi yang mengamati sedikitnya tiga hal. Pertama, efek samping yang amat jarang ditemukan (katakanlah satu dalam sejuta atau sekian juta kejadian) yang mungkin tidak/belum terdeteksi pada uji fase III dan atau yang timbul setelah jangka panjang.

Kedua, efektivitas vaksin pada penderita penyakit berat dan atau keadaan tertentu. Ketiga, uji klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan efek vaksin terhadap pola morbiditas dan mortalitas dan atau dampaknya pada status pandemi.

Sementara itu, post marketing surveillance adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data terus-menerus terhadap kejadian kesehatan di masyarakat agar dapat dicegah dan ditanggulangi dengan baik.

Informasi surveilans ini disebarkan ke semua pihak berwenang untuk pengambilan keputusan. Kalau vaksinasi akan segera diberikan, monitoring disiapkan juga dan dapat segera dilaksanakan begitu masyarakat mulai divaksin. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat