Amir Abdul Qadir bin Muhyiddin al-Hasani (Abd el-Kader ibn Muhieddine) merupakan pejuang Aljazair pada zaman kolonialisme Prancis. Ia tak hanya dikagumi kawan, tetapi juga lawan karena keteguhannya berprinsip dan mengutamakan maslahat tanpa pandang kesama | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Heroisme Amir Abdul Qadir Melawan Penjajahan Prancis

Sosok pahlawan Aljazair ini menuai respek dari kawan maupun lawan.

OLEH HASANUL RIZQA 

Abdul Qadir bin Muhyiddin al-Hasani (Abd el-Kader ibn Muhieddine) merupakan sosok legendaris dalam sejarah Aljazair. Perjuangannya dalam melawan kolonialisme Prancis tidak hanya menginspirasi rakyat negerinya, melainkan juga kalangan humanis di Amerika dan Eropa, bahkan termasuk Prancis.

Salah satu buktinya, sebuah kota di negara bagian Iowa, Amerika Serikat (AS), dinamakan sebagai Elkader untuk mengenang kepahlawanan figur berjulukan “Elang Padang Pasir” tersebut. Itulah satu-satunya kota di AS yang nomenklaturnya mengambil dari nama seorang Arab.

Prancis mulai merangsek Aljazair terutama sejak 1830-an. Negeri Heksagon dapat melumpuhkan pertahanan Turki Utsmaniyah sehingga berakhirlah masa 313 tahun kekuasaan kekhalifahan Islam itu di wilayah tersebut.

Suku-suku Muslim setempat terus membendung serangan penjajah meskipun beberapa kabilah berber di antaranya justru bergabung dengan kubu musuh sebagai tentara sewaan. Di antara kelompok-kelompok pejuang itu ialah para pengikut Tarekat Qadiriyah yang berasal dari banyak suku, termasuk Bani Hasyim. Mereka dipimpin Muhyiddin (Muhieddine) al-Hasani.

Pada 22 November 1832, balatentara Prancis menduduki Wahran, sekitar 400 kilometer arah barat Aljir. Para tokoh Bani Hasyim meminta Muhyiddin al-Hasani yang saat itu sudah berumur 75 tahun untuk mengomandoi serangan gerilya.

Begitu malam datang, al-Hasani mengalami mimpi berjumpa dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Pendiri Tarekat Qadiriyah itu mengimbau dirinya untuk menyerahkan kepemimpinan kepada putranya, Abdul Qadir. Keesokan harinya, putra kedua al-Hasani itu diangkat menjadi amirul mu'minin untuk memimpin para pengikut Tarekat Qadiriyah dan Muslimin setempat dalam melawan penjajah.

 
Abdul Qadir memimpin para pengikut Tarekat Qadiriyah dan Muslimin setempat dalam melawan penjajah. Ia masih berusia 24 tahun.
 
 

 

Waktu itu, Abdul Qadir masih berusia 24 tahun. Perawakannya sedang, tidak pendek dan juga tidak terlalu tinggi. Orang-orang memujinya bukan hanya lantaran dirinya anak seorang mursyid tarekat, tetapi juga kecerdasan dan ketampanannya.

Di medan pertempuran, pemuda kelahiran Guittena (kini termasuk Provinsi Mu’askar, Aljazair) itu selalu tampil luwes dan tangguh. Mengikuti jejak ayahnya, ia pun sangat religius, terdidik, serta fasih berpidato.

Untuk sementara waktu, pasukan yang dipimpin Abdul Qadir dapat menahan militer Prancis. Putra Muhyiddin al-Hasani itu kemudian mengonsolidasi bukan hanya pasukannya, melainkan juga suku-suku pribumi di Mu’askar dan sekitarnya. Awalnya, kepemimpinannya sempat dicemooh beberapa kabilah non-jamaah Qadiriyah. Bahkan, ada yang menjulukinya “si pemimpin kerdil yang ambisius”.

Namun, dengan penuh kesabaran dan mengerahkan seluruh kemampuan diplomasinya Abdul Qadir akhirnya dapat meyakinkan mereka untuk turut serta dalam barisan perjuangan. Hanya satu tahun sejak baiat pada 1832, ia pun berhasil mendirikan sebuah negara baru di Aljazair barat dengan dukungan para pengikutnya.

Mulai saat itu, titel Amir (bahasa Prancis: Emir) atau ‘kepala negara’ melekat pada namanya. Bagaimanapun, kondisi politik Aljazair pada waktu itu masih kacau-balau. Usai Prancis mengusir Hussein Dey yang merupakan gubernur terakhir Aljazair-Utsmaniyah ke Naples pada 1830, rakyat setempat terpecah-belah ke dalam banyak kelompok. Masing-masing mengeklaim sebagai penguasa lokal baru.

Menghadapi keadaan demikian, Amir Abdul Qadir terus berupaya mempersatukan mereka. Setelah berhasil di Mu’askar, ia pun menjalankan politik diplomasi dengan berbagai wilayah lain, termasuk Mostaghanem.

Khusus untuk kota tersebut, surat dikirimkannya kepada Qaid Ibrahim, seorang bekas pejabat Utsmaniyah yang mengangkat dirinya sendiri sebagai gubernur setempat. Dalam suratnya, ia mengingatkan lawan politiknya itu untuk mengutamakan persatuan di atas perbedaan dalam melawan musuh bersama: Prancis.

“Mari kita orang-orang Arab, Turki, Kouloughlis (campuran Turki dan pribumi Afrika Utara), serta Moor (berber) hidup sebagai saudara, sama-sama menyembah Tuhan Yang Esa. Hendaknya kita semua menyatukan kekuatan untuk melawan musuh,” demikian tulis Abdul Qadir, seperti dikutip dalam A History of Algeria karya James McDougall (2017).

Aliansi dengan Qaid Ibrahim dipandangnya sangat penting karena sekaligus menyudahi pertikaian yang terjadi di masa silam. Sebelumnya, Muhyiddin al-Hasani pernah melawan otoritas Utsmaniyah di Aljazair karena dianggap telah melakukan praktik-praktik ketidakadilan terhadap masyarakat lokal. Bahkan, ayahanda Abdul Qadir itu pernah berstatus tahanan rumah karena menggerakkan perlawanan itu.

Namun, kalangan bekas pejabat Utsmaniyah itu kini perlu dirangkul. Abdul Qadir mengakui, mereka memiliki sistem administrasi yang jauh lebih baik daripada miliknya. Begitu pula dengan tata kelola keuangan dan jaringan hubungan diplomasi dengan luar negeri. Di atas itu semua, seperti yang ditegaskannya dalam surat untuk Qaid Ibrahim, seluruh elemen Aljazair harus bersatu padu demi mengusir kolonialisme Prancis.

photo
Salah satau lukisan tentang pertempuran di wilayah jajahan Prancis. - (DOK Wikipedia)

Melawan penjajah

Akhirnya, Qaid Ibrahim berhasil diyakinkan. Persatuan yang diperlukan pun terwujud. Bahkan, pada Februari 1834 Prancis mengakui secara de facto kedaulatan negara yang dibentuk Abdul Qadir di Aljazair barat. Kedua belah pihak kemudian menyepakati perjanjian damai setelah Pertempuran Macta yang dimenangkan pasukan gerilya Aljazair pada 28 Juni 1835.

Hasil dari kesepakatan itu, Prancis membuka konsulatnya di Mu’askar. Sebaliknya, Abdul Qadir pun diizinkan untuk mendirikan perwakilan di kota-kota pendudukan Prancis, seperti Oran dan Arzew.

Namun, hingga dua tahun berikutnya letupan-letupan konflik terus terjadi antara Prancis dan Aljazair. Perjanjian Tafna lantas ditandatangani, tetapi klausul-klausulnya cenderung begitu ketat dalam mengatur arus masuk-keluar antarwilayah kedua belah pihak. Saat itu, Prancis sebenarnya cukup terdesak. Sebab, nyaris dua per tiga wilayah bekas provinsi Turki Utsmaniyah itu sudah dikuasai Abdul Qadir.

 
Nyaris dua per tiga wilayah bekas provinsi Turki Utsmaniyah itu sudah dikuasai Abdul Qadir.
 

Sementara itu, arus emigrasi dari Prancis ke Aljazair terus melonjak. Hingga akhir 1830-an, Aljir dihuni sekitar 14 ribu orang Eropa, 12 ribu Muslim, dan enam ribu orang Yahudi. Artinya, perluasan wilayah menjadi pilihan utama bagi si penjajah.

Apalagi, ambisi Prancis untuk menjadikan negeri tersebut sebagai koloni produktifnya masih saja membara. Maka dari itu, pada Oktober 1839 Paris memerintahkan gubernur jenderal Valee untuk memulai ekspansi militer demi merebut seluruh Aljazair.

Abdul Qadir tidak langsung menyerukan perang total, tetapi terlebih dahulu menulis surat kepada raja Prancis. Dalam korespondensinya, pemimpin Muslim tersebut mempertanyakan komitmen Prancis terhadap perdamaian, seperti terpatri dalam Perjanjian Tafna. Ia juga menegaskan, tidak akan ragu menumpas setiap pasukan penjajah.

Ada nuansa keyakinan penuh dari Abdul Qadir dalam suratnya itu. Yang luput dari perhatiannya adalah, Prancis sesungguhnya telah berhasrat besar untuk menjajah sebagian (besar) Benua Afrika dan Timur Tengah. Berbagai persiapan pun telah dilakukan, termasuk dalam soal persenjataan modern dan strategi. Kolonisasi atas Aljazair “hanyalah” satu fase dari rencana besar tersebut.

Valee ternyata gagal mengalahkan pasukan gerilya yang dipimpin Abdul Qadir. Pada 1840, posisinya digantikan oleh Thomas-Robert Bugeaud. Inilah mulainya puncak kolonialisme Prancis atas Aljazair.

photo
Peta evolusi penjajahan Prancis atas Aljazair pada 1830–1962 - (DOK Wikipedia)

Setelah tiga tahun berjuang, Abdul Qadir dan pasukannya kian tersudut sehingga terpaksa meminta perlindungan kepada negara tetangga, Maroko. Sultan Maroko Abdurrahman kemudian memaklumkan perang terhadap Prancis sebagai suatu langkah politis demi menggaet popularitas di tengah komunitas Muslim.

Namun, pada 14 Agustus 1844 kapal perang bangsa Eropa itu dapat memborbardir Pelabuhan ash-Shawirah dan Tangier di Maroko barat. Sultan Abdurrahman pun mengibarkan bendera putih.

Hingga 1847, hubungan antara Abdul Qadir dan penguasa Maroko itu kian memburuk. Bahkan, Prancis kemudian menyaksikan perang saudara antarkedua kubu yang sama-sama Muslimin itu. Pertempuran berpusat di Rif, Maroko utara.

Bagi Abdurrahman, keberadaan pendukung Abdul Qadir di sana seolah-olah menjadikan adanya “negara dalam negara”. Karena semakin terdesak, Abdul Qadir pun menyingkir dari daerah tersebut dengan menyeberangi Sungai Muluwiyya. Namun, di ujung sungai itu ternyata pasukan Prancis telah menunggunya. Komandan Aljazair itu menyadari kondisinya kini sudah terkepung total.

Dirinya menolak opsi perang mati-matian yang ditawarkan beberapa penasihatnya. Maka pada 20 Desember 1847, atas inisiatif sendiri Abdul Qadir bersurat kepada Jenderal Louis Juchault de Lamoricière.

Ia menyatakan siap menyerah dengan syarat jaminan keamanan untuk anak-anak, perempuan, kalangan budak, serta harta benda milik kaumnya. Dalam suratnya itu, ia juga menegaskan hanya mau diasingkan ke Iskandariah (Mesir) atau Acre (Palestina), bukan tempat lain. De Lamoricière berjanji memenuhi semua permintaan itu.

photo
Lukisan karya Jan-Baptist Huysmans yang menggambarkan Amir Abdul Qadir sedang menyelamatkan umat Kristen dari kerusuhan pada 1860 di Damaskus, Suriah--dahulu bagian dari Turki Utsmaniyah. - (DOK WIKIPEDIA)

Menyelamatkan Umat Nasrani 

Pada 21 Desember 1847, Amir Abdul Qadir bin Muhyiddin al-Hasani dan sejumlah pengikutnya mendatangi markas Prancis di Aljazair. Ia memberikan kuda perangnya kepada Gubernur Jenderal Henri d'Orleans. Dalam budaya Arab setempat, hal itu menandakan sikap menyerahkan diri kepada musuh.

Ternyata, Abdul Qadir tidak jadi diasingkan ke Mesir atau Palestina, seperti yang dijanjikan Jenderal Louis Juchault de Lamoricière sebelumnya. Sang pejuang Aljazair itu justru ditahan di Toulon, Prancis. Lima tahun lamanya syarif keturunan Rasulullah SAW itu diasingkan di negeri penjajah.

Sebenarnya, tak hanya Abdul Qadir yang menyuarakan protes. De Lamoricière pun tidak terima dengan keputusan pemerintah pusat yang menempatkan sang “Elang Padang Pasir” itu di Prancis. Baginya, penunaian janji adalah tanda bangsa yang bermartabat. Dalam suratnya, Abdul Qadir pun berargumentasi tentang nilai-nilai yang sering digembar-gemborkan Prancis tentang peradaban yang tinggi.

photo
Kastil Amboise di tepi Sungai Loire, Prancis. Di sanalah sang pahlawan Aljazair, Amir Abdul Qadir, pernah menjalani masa pengasingan. - (DOK WIKIPEDIA)

Tidak hanya De Lamoricière, Henri d’Orleans pun menaruh respek terhadap Abdul Qadir. Baginya, Muslim tersebut merupakan sosok yang tulus berjuang untuk bangsanya dan teguh berprinsip. Karena itu, putra Raja Louis-Philippe I tersebut menyayangkan sikap pemerintah Prancis yang cenderung terbawa stigma media-media massa saat itu.

Banyak pemberitaan menyebutkan, Abdul Qadir sebagai “pemberontak yang berbahaya”. Sebagai jalan tengah, otoritas Prancis lantas menempatkannya di Kastil Amboise dengan perlakuan terhormat.

Terpenjara bertahun-tahun lamanya tidak membuat mental Abdul Qadir lemah. Ia banyak menghabiskan waktu dengan membaca dan mengajar para pengikutnya yang turut dalam penahanan. Kondisi negeri asing tempatnya berada pun dicermatinya secara saksama. Sejak 1848, Prancis dilanda revolusi yang menggulingkan kekuasaan aristokrat. Sebagai hasilnya, Republik Kedua pun terbentuk. Louis Napoleon Bonaparte alias Napoleon III naik sebagai presiden.

photo
Napoleon III dari Prancis - (DOK Wikipedia)

Pada Oktober 1852, Napoleon III membebaskan Abdul Qadir dari status tahanan politik dengan syarat sang amir tak lagi kembali ke Aljazair. Pejuang Muslim itu menyetujuinya. Ia pun hijrah ke Damaskus melalui Bursa, Turki, pada 1855.

Di Suriah, Abdul Qadir semakin menekuni dunia tasawuf. Ketokohannya tidak hanya diakui para pengikutnya, tetapi juga masyarakat setempat yang multiagama. Sebagai contoh, pada Mei 1860 huru-hara pecah antara orang-orang Druze dan Kristen di Jabal Lubnan. Sekitar tiga ribu orang tewas dalam konflik itu.

Abdul Qadir sudah memperingatkan otoritas Damaskus akan potensi sebaran kerusuhan. Ia pun meminta para pemuka Druze dan Kristen di kota tersebut untuk terus berupaya menenangkan umat masing-masing.

Ketika akhirnya kekacauan tiba, ia dengan sigap melindungi sekitar 11 ribu orang Kristen—bahkan termasuk pejabat konsulat Prancis—dari amuk massa. Para pengungsi itu ditempatkan di rumahnya sendiri dan kediaman para pengikut sufi Aljazair tersebut di Damaskus.

photo
Hadiah Lincoln untuk Amir - (DOK Wikipedia)

Heroisme Abdul Qadir yang melintasi batas identitas agama dan bangsa itu mengundang respek banyak kalangan. Presiden ke-16 AS Abraham Lincoln pernah mengirimkan kepadanya cenderamata berupa sepasang pistol bertatahkan sebagai tanda persahabatan. Vatikan menyematkan Lencana Kehormatan Paus Pius IX untuknya sebagai tanda terima kasih atas jasanya menyelamatkan umat Nasrani dari kerusuhan.

Pada 26 Mei 1883, pahlawan bangsa Aljazair ini wafat. Jenazahnya dikebumikan dekat makam salik agung Ibnu Arabi di Damaskus, Suriah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat