Lukisan mengenai wilayah Aljazair yang terpecah belah sejak dijajah Prancis pada abad ke-19. Sebelumnya, Aljazair merupakan sebuah provinsi milik Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Kolonialisme Prancis atas Aljazair tak hanya melemahkan Muslimin, juga menyeng | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Pejuang Antipenjajahan Prancis di Aljazair

Tiga semboyan Revolusi Prancis tak berlaku untuk negeri terjajah, termasuk Aljazair.

OLEH HASANUL RIZQA

Negara tempat lahirnya moto 'kebebasan, kesetaraan, persaudaraan' ternyata ikut melanggengkan penjajahan. Di Aljazair, Amir Abdul Qadir memimpin perjuangan mengusir kolonialisme Prancis. Kisahnya menginspirasi hingga kini.

 

 

“Dalam mempelajari Revolusi Prancis 1789, yang terkenal sebagai sumber demokrasi Barat, ternyata bahwa trilogi ‘kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan’ yang menjadi semboyannya tidak terlaksana di dalam praktik,” tutur Mohammad Hatta dalam pidato penerimaan gelar doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada, 27 November 1956.

Melalui uraian bertajuk “Lampau dan Datang” itu, Bung Hatta menerangkan bahwa Revolusi Prancis tidak mampu mewujudkan moto tritunggalnya, yang dalam bahasa asli disebut “liberté, égalité, fraternité.” Sebab, lanjut dia, Revolusi Prancis meletus sebagai sebuah “revolusi individual”.

Tujuannya semata-mata membebaskan tiap individu dari kungkungan feodalisme. Namun, pengarusutamaan kebebasan individu pada akhirnya melalaikan aspek-aspek persamaan (égalité) dan persaudaraan (fraternité).

Dalam sejarah dunia modern, Revolusi Prancis tidak hanya berdampak pada negara tersebut, melainkan juga seluruh Eropa dan dunia modern. Berlangsung dalam kurun waktu satu dekade, 1789-1799, peristiwa itu dimulai dengan penyerbuan Penjara Bastille oleh kaum revolusioner pada 14 Juli 1789.

Setelah sempat diwarnai satu tahun pemerintahan teror —yang di dalamnya tak kurang dari 17 ribu orang tewas dipancung pisau guillotine— Revolusi Prancis akhirnya tuntas dengan munculnya kekuasaan Napoleon Bonaparte pada 9 November 1799.

photo
Raja Louis XVI dari Prancis - (DOK Wikipedia)

Secara ringkas, Revolusi Prancis mengakhiri kekuasaan Orde Lama (Ancien Régime) yang bercorak monarki absolut-feodal kepada republik. Usainya Ancien Régime ditandai dengan eksekusi mati Raja Louis XVI dan permaisurinya, Marie Antoinette, berturut-turut pada 21 Januari dan 16 Oktober 1794. Sebelum dilucuti dari takhtanya, raja tersebut memerintah dengan sewenang-wenang.

Keturunan Wangsa Bourbon itu memiliki semboyan, l'etat, c'est moi (negara adalah saya). Perekonomian Prancis kian memburuk, sedangkan kalangan istana hidup berfoya-foya. Rakyat setempat kala itu menjuluki Ratu Marie Antoinette sebagai Madame Deficit (Nona Tekor) karena kesenangannya menghamburkan uang negara.

Menurut Hatta, demokrasi yang dihasilkan dari Revolusi Prancis hanya membawa persamaan politik. Dalam politik, semua orang memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih menjadi anggota parlemen. Lebih dari itu, tidak ada persamaan.

Dalam perekonomian, dasar yang tidak sama masih berlaku. Revolusi Prancis membiarkan adanya golongan borjuis yang menindas dan kelompok buruh yang tertindas. Hatta menerangkan, semangat individualisme menyebabkan Konstitusi Prancis yang dibuat pascaruntuhnya monarki melarang orang berserikat. Sebab, perserikatan dianggap bersifat mengikat sehingga membatasi kemerdekaan individu. Alhasil, tidak ada serikat buruh.

 
Di sini tampak pincangnya dasar-dasar Revolusi Prancis yang menjadi sumber demokrasi Barat di masa sekarang.
MOHAMMAD HATTA, Wakil Presiden pertama RI 
 

Sementara itu, kaum pemodal boleh berserikat. Mereka berkumpul untuk menghimpun kapital, mendirikan perusahaan, dan bersaing bebas di pasar demi meraup laba sebesar-besarnya. Tak mengherankan bila demokrasi yang lahir dari Revolusi Prancis akhirnya disebut sebagai Burgerlijke Democratie karena memang cenderung hanya menguntungkan kaum borjuis.

“Di sini tampak pincangnya dasar-dasar Revolusi Prancis yang menjadi sumber demokrasi Barat di masa sekarang. Kaum buruh tidak boleh berserikat, sehingga mereka tidak dapat mempertahankan kebutuhan mereka bersama. Akhirnya, hidup mereka paling melarat, diperas oleh kaum majikan,” tulis wakil presiden pertama Republik Indonesia itu dalam artikel “Krisis Dunia dan Nasib Rakyat Indonesia” (1932).

photo
Lukisan yang menggambarkan penyerbuan Bastille, 14 Juli 1789 yang menandai berakhirnya rezim Orde Lama - (DOK Wikipedia)

Wajah kolonial Prancis

Demokrasi Barat yang dilahirkan Revolusi Prancis 1789 tidak dapat diharapkan. Rakyat seperti lepas dari cengkeraman harimau untuk jatuh ke dalam mulut buaya, yakni dari kungkungan monarki absolut dan gereja kepada tindasan kapitalisme. Nestapa itu tidak hanya dirasakan kaum tertindas di Prancis atau Eropa, melainkan juga—atau bahkan terutama—negeri-negeri koloni.

Pada praktiknya, kapitalisme menghendaki penemuan bahan baku dan pasar baru untuk memperluas jangkauan produknya. Karena itu, kapitalisme pun memasuki petualangan penjajahan atas bangsa-bangsa. Sejak abad ke-16, Prancis turut serta dalam “perlombaan” negara-negara Eropa untuk menjajah berbagai wilayah di Benua Asia, Afrika, dan Amerika. Saingan utamanya adalah Britania Raya.

Revolusi yang menggembar-gemborkan slogan “liberté, égalité, fraternité” ternyata tidak dapat menutupi wajah penuh nafsu Prancis dalam menjajah. Ya, artian semboyan tritunggal itu tidak berlaku bagi negeri terjajah. Kalau dahulu wajah kolonial Negara Heksagon itu untuk kejayaan monarki, maka sejak abad ke-19 keinginan kapitalis yang berhasrat memperluas sumber-sumber modal menambahinya.

 
Ya, artian semboyan tritunggal itu tidak berlaku bagi negeri terjajah.
 
 

Meskipun sempat mengendur, petualangan kolonial Prancis mulai merebak lagi terutama sejak 1830-an. Afrika Utara menjadi salah satu sasarannya, seiring dengan kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah yang kian melemah di kawasan tersebut. Di sana, Aljazair menjadi yang pertama merasakan gempuran.

Pada 14 Juni 1830, Prancis mendaratkan 34 ribu pasukan ke Sidi Farj, tak jauh dari Aljir. Hussein selaku gubernur (dey) Aljazair-Utsmaniyah melawannya dengan 19 ribu tentara dan 7.000 yanisari. Kira-kira sebulan kemudian, Prancis berhasil memenangkan pertempuran dan menguasai Aljir. Dey Hussein diusir ke Naples, lalu kembali ke Turki. Berakhirlah kekuasaan Utsmaniyah atas Aljazair yang telah berlangsung 313 tahun lamanya.

Menurut Dominik J Schaller dalam artikelnya di The Oxford Handbook of Genocide Studies (2010), metode yang digunakan untuk menegakkan hegemoni Prancis di sana mencapai proporsi genosida. Akibatnya, terjadilah pembiaran kelaparan dan wabah penyakit yang merenggut nyawa 500 ribu hingga 1 juta orang Aljazair.

photo
Lukisan bergambar Bertrand Clauzel - (DOK Wikipedia)

Pada 1830, Bertrand Clauzel ditunjuk sebagai kepala misi invasi Aljazair. Untuk menambah kekuatan tempur pasukannya, Clauzel pun merekrut orang-orang lokal—terutama dari suku-suku Berber yang menghuni daerah pegunungan—demi menjadi tentara sewaan.

Ia mengawali upaya Prancis dalam menjadikan Aljazair sebagai wilayah koloni yang produktif. Sementara rakyat setempat menderita karena tanah dan hasil panennya dirampas, para pejabat kolonial mulai dijangkiti korupsi.

Syarif Abdul Qadir

Sejak 22 Juni 1834, Prancis mengeklaim Aljazair sebagai koloninya. Jean-Baptiste Drouet menjadi gubernur jenderal pertama yang menjalankan otoritas sipil sekaligus militer Prancis di sana.

Waktu itu, Aljazair memiliki populasi sekitar dua juta orang Muslim. Tugas utama yang diberikan Paris untuk Drouet ialah memadamkan perlawanan rakyat Aljazair, khususnya yang dipimpin Abdul Qadir (Abd el-Kader ibn Muhieddine).

Dalam sejarah Aljazair, nama Abdul Qadir begitu harum sebagai pejuang yang disegani baik kawan maupun lawan. Sebelum kemunculan perjuangannya, sesungguhnya sudah ada berbagai bentuk perlawanan terhadap arogansi Prancis. Misalnya, suku-suku berber Muslim, Shalah dan Misra, dalam Perang Blida Pertama pada Juli 1830.

photo
Foto Abdul Qadir pada 1860 dari ca - (DOK Wikipedia)

Bahkan, aliansi kedua suku tersebut berhasil menghalau armada Prancis yang berkekuatan 1.500 orang prajurit. Perlawanan yang tak kurang sengitnya juga ditunjukkan kaum Muslimin Aljazair di Bijayah dan Mitijah meskipun masing-masing harus berakhir dengan kemenangan pihak penjajah.

Bagaimanapun, perjuangan Abdul Qadir tampak begitu mencolok karena berhasil menyatukan berbagai unsur kekuatan Aljazair untuk melawan Prancis. Bahkan, penghormatan untuknya tidak hanya datang dari masyarakat lokal dan pihak penjajah yang berhaluan humanis, melainkan juga mancanegara, termasuk Inggris dan Amerika Serikat.

Dirinya sudah memulai jihad sedari belia. Sebagai pemuda belasan tahun, ia ikut serta dengan ayahnya, Muhyiddin (Muhieddine) al-Hasani, ketika Aljazair masih menjadi sebuah provinsi Utsmaniyah.

Sang ayah pernah dipenjara karena berseberangan pandangan politik dengan bey Aljazair. Ketika pasukan Prancis mendarat di Wahran—sekitar 400 km dari arah barat Aljir—para tetua suku setempat sepakat untuk mengangkat sang putra Muhyiddin sebagai pemimpin jihad.

Berdasarkan silsilahnya, nasab Abdul Qadir sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui Hasan—putra Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulullah SAW. Maka dari itu, klannya menyandang gelar syarif. Khususnya di Aljazair Barat, ayahnya merupakan tokoh yang sangat dihormati.

 
Nasab Abdul Qadir sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui Hasan—putra Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulullah SAW.
 
 

Muhyiddin al-Hasani merupakan seorang ulama yang juga mursyid Tarekat Qadiriyah. Karena konsistensinya dalam membela kaum papa, al-Hasani pernah ditetapkan sebagai tahanan rumah oleh gubernur Utsmaniyah di Aljir.

Tidak cukup dengan itu, pada 1826 Utsmaniyah sampai “memaksa” dirinya agar menunaikan haji agar jauh dari kampung halamannya. Waktu itu, Abdul Qadir muda menemani bapaknya untuk berziarah ke Tanah Suci.

“Hukuman” dari penguasa Utsmaniyah itu menjadi semacam blessing in disguise bagi Abdul Qadir. Usai musim haji, ayahnya mengajaknya bepergian ke berbagai kota Islam, termasuk Baghdad dan Damaskus.

Remaja berusia 18 tahun itu sangat terinspirasi oleh para mubaligh yang ditemuinya di sepanjang perjalanan. Saat itu, ia juga berziarah ke makam seorang ulama besar dalam sejarah peradaban Islam, Ibnu Arabi, di Damaskus. Kelak, kecintaannya terhadap sang salik dari abad ke-13 itu membuatnya memilih Damaskus sebagai tempat tinggalnya hingga tutup usia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat