Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte (tengah) menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (2/11). | Reoublika/Thoudy Badai

Kabar Utama

Napoleon dan Jatah 'Petinggi Kita’

Ancaman Napoleon ingin membuka pihak lain penerima suap dalam skandal Djoko Tjandra.

OLEH DIAN FATH RISALAH

Ancaman Irjen Napoleon Bonaparte yang ingin membuka terang pihak lain penerima suap dalam skandal Djoko Sugiarto Tjandra kembali menguat dalam sidang dakwaan pada Senin (2/11). Napoleon, Brigjen Prasetijo Utomo, Djoko Tjandra, dan Tommy Sumardi menjalani sidang dakwaan kasus penghapusan status buron atau red notice di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, kemarin.

Total suap yang diberikan Djoko pada kedua jenderal itu sebesar Rp 8,3 miliar. Dalam dakwan jaksa penuntut umum (JPU) terungkap, Napoleon meminta jatah untuk oknum yang disebut pimpinannya.

Jaksa Zulkipli membeberkan kronologi suap tersebut. Pada sekitar April 2020, Djoko Tjandra menghubungi rekannya, Tommy Sumardi. Djoko mendiskusikan cara masuk ke Indonesia untuk mengajukan peninjauan kembali kasusnya. Djoko bersedia memberikan uang Rp 10 miliar.

Tommy lalu menemui Prasetijo Utomo selaku kepala Korwas PPNS di Bareskrim Polri. Prasetijo memperkenalkan Tommy kepada Irjen Napoleon Bonaparte selaku kepala Divhubinter Polri. Prasetijo lalu memerintahkan bawahannya, Brigadir Fortes, untuk mengedit berkas surat istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran, sesuai format permohonan penghapusan red notice dan mengirimkannya ke Tommy.

Pada 16 April 2020, Tommy menyerahkan paper bag merah tua kepada Napoleon sambil menanyakan status red notice Djoko di Interpol. Napoleon kemudian meminta Tommy datang lagi keesokan hari. Esoknya, Tommy bersama Prasetijo bertemu Napoleon di ruangan kepala Divhubinter Polri.

"Terdakwa Napoleon Bonaparte menyampaikan bahwa, ‘Red notice Djoko Tjandra bisa dibuka karena Lyon yang buka, bukan saya. Saya bisa buka asal ada uangnya.’ Kemudian, Tommy Sumardi menanyakan berapa (nominal uangnya) dan oleh Napoleon Bonaparte dijawab, 'Tiga lah, Ji (3 miliar),’" kata jaksa.

Pada 27 April, Djoko meminta sekretarisnya, Nurmawan Fransisca, menyerahkan 100 ribu dolar AS kepada Tommy. Uang itu kemudian diserahkan Tommy dan Prasetijo ke Napoleon.

"Saat di perjalanan di dalam mobil, Prasetijo Utomo melihat uang yang dibawa Tommy Sumardi, kemudian mengatakan, 'Banyak banget ini, Ji, buat beliau? Buat gw mana?' Dan saat itu uang dibelah dua oleh Prasetijo Utomo dengan mengatakan, 'Ini buat gw, nah ini buat beliau,’ sambil menunjukkan uang yang sudah dibagi dua," tambah jaksa.

Setiba di ruangan Kadivhubinter, Tommy menyerahkan sisa uang yang ada sebanyak 50 ribu dolar AS, tetapi Napoleon tidak mau menerima. "Dengan mengatakan, 'Ini apaan nih segini? Enggak mau saya. Naik, Ji, jadi tujuh, Ji, soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau,’ dan berkata 'petinggi kita ini'," ungkap jaksa.

 
photo
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Tommy Sumardi menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (2/11).  - (Republika/Thoudy Badai)

Akhirnya, Tommy dan Prasetijo meninggalkan gedung TNCC Mabes Polri dengan membawa paper bag warna gelap. Pada 28 April, Tommy menyerahkan 200 ribu dolar Singapura ke Napoleon. Kemudian, pada 29 April 2020, Tommy kembali menyerahkan uang 100 ribu dolar kepada Napoleon. 

Penerimaan terus terjadi hingga red notice Djoko terhapus di Interpol. Status itu terhapus setelah Napoleon memerintahkan anak buahnya, Kombes Tommy Aria Dwianto, membuat surat ke Imigrasi yang ditandatangani atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo. 

 

Setelah selesai, Prasetijo menghubungi Tommy melalui telepon dan mengatakan, 'Ji, sudah beres tuh, mana nih jatah gw punya?' Dan dijawab oleh Tommy Sumardi, 'Sudah, jangan bicara ditelepon, besok saja saya ke sana.’ Tommy kemudian memberikan 50 ribu dolar AS kepada Prasetijo sehingga total yang diserahkan kepada Prasetijo adalah 100 ribu dolar AS. 

Dakwaan

Dalam persidangan kemarin, JPU mendakwa dua jenderal polisi, Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, menerima suap setotal Rp 8,3 miliar dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra. Suap diberikan agar Napolen sebagai kepala Divisi Hubungan Internasional Polri dan Prasetijo sebagai kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) menghapus status buron atau red notice Djoko Tjandra di Interpol.

"Terdakwa Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte telah menerima 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo menerima uang 150 ribu dolar AS dari Djoko Soegiarto Tjandra melalui Tommy Sumardi," kata jaksa Zulkipli di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (2/11).

Napoleon dan Prasetijo diancam pidana dalam Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Atas dakwaan tersebut, Napoleon akan mengajukan nota keberatan (eksepsi) pada 9 November 2020.

photo
Terdakwa kasus suap dan pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali Djoko Tjandra menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/11).  - (Republika/Thoudy Badai)

Djoko Tjandra adalah terpidana kasus korupsi Bank Bali yang dijatuhi hukuman pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp 15 juta subsider tiga bulan. Untuk bisa masuk ke Indonesia dan mengajukan peninjauan kembali (PK) atas kasusnya, Djoko meminta rekannya, Tommy Sumardi, mencari orang yang bisa menghapus red notice di Interpol.

Dalam sidang yang sama, Djoko didakwa menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sejumlah 500 ribu dolar Singapura, Napoleon Bonaparte, dan Prasetijo Utomo. Jika dikonversi ke rupiah, total suap yang diberikan Djoko untuk ketiga aparat hukum itu mencapai Rp 15,567 miliar. Suap kepada Pinangki bertujuan untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung untuk membebaskan Djoko dari jerat hukum.

"Terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra memberikan uang sebesar 500 ribu dolar AS dari sebesar 1 juta dolar AS yang dijanjikan kepada Pinangki Sirna Malasari sebagai jaksa dengan jabatan kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung," kata jaksa M Yusuf Putra.

Djoko Tjandra pertama kali bertemu Pinangki di Malaysia pada 12 November 2019 dan meminta Pinangki membuat action plan serta surat ke Kejaksaan Agung untuk menanyakan status hukumnya. Pada pertemuan selanjutnya, 19 November 2019, mereka membahas biaya yang harus dikeluarkan Djoko seperti tercantum dalam action plan, yaitu 100 juta dolar AS, tetapi Djoko hanya menjanjikan 10 juta dolar AS.

Action Plan itu diserahkan Pinangki pada 25 November 2019 bersama-sama advokat Anita DA Kolopaking dan pihak swasta Andi Irfan Jaya di kantor Djoko Tjandra di Malaysia. Action plan tersebut terdiri atas 10 tahap pelaksanaan dan mencantumkan inisial BR, yaitu Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan HA selaku Ketua MA periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali.

Pada 26 November 2019, Djoko melalui adik iparnya, Herriyadi Angga Kusuma (almarhum), memberikan uang 500 ribu dolar AS kepada Andi Irfan Jaya di sekitar Mal Senayan City. Pinangki lalu memberikan uang dari Djoko itu 50 ribu dolar AS kepada Anita Kolopaking.

Pinangki dan Anita juga tengah menghadapi dakwaan dalam kasus tersebut. Sementara itu, sidang perdana Andi Irfan akan digelar Rabu (4/11).

Sementara itu, Tommy Sumardi juga didakwa kemarin. Jaksa Zulkipli mengatakan, Tommy menjadi perantara suap Djoko kepada Napoleon dan Prasetijo. Dalam sidang itu, Tommy mengajukan diri untuk menjadi saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat (justice collaborator/JC).

"Kami mengajukan surat justice collaborator untuk terdakwa karena sejak penyidikan hingga penuntutan kami sudah menyampaikan fakta sebenar-benarnya sehingga berdasarkan ketentuan di Indonesia pantas untuk menjadi saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum," kata penasihat hukum Tommy, Dian Pongkor.

Selain mengajukan diri sebagai JC, pengacara juga mengajukan permohonan agar sidang kliennya berbeda hari dengan terdakwa lain. "Ada permintaan dari terdakwa karena sidang ini untuk beberapa terdakwa, maka klien kami berharap agar hari sidangnya khusus, jadi dipisah dari terdakwa-terdakwa lain," kata Dion. Seusai sidang, Dion kembali menegaskan, kasus tersebut dapat terkuak karena pengakuan kliennya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat