Bupati Bogor Ade Yasin (tengah) menemui buruh yang menggelar unjuk rasa tolak Undang-Undang Cipta Kerja di Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Bogor, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (16/10). | ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Kabar Utama

Daerah Kawal Turunan UU Ciptaker

Sejumlah elemen serikat buruh masih menolak ikut dalam pembahasan turunan UU Ciptaker.

MAKASSAR — Sejumlah pemerintahan daerah (pemda) mulai bergerak mengawal Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan aturan turunannya. Perimbangan kewenangan daerah dan pusat dalam regulasi tersebut mendapat sorotan dari pemerintah daerah.

Di Makassar, Sulawesi Selatan, Gubernur Sulawesi Selatan HM Nurdin Abdullah membuka dialog dengan 23 rektor perguruan tinggi negeri swasta di provinsi tersebut guna menelaah UU Ciptaker. Masukan dari akademisi itu lalu dihimpun dan akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.

"Kami melakukan koordinasi, komunikasi kepada semua pihak. Kita tahu persis elemen mahasiswa juga ikut memprotes UU Cipta Kerja. Makanya seluruh Rektor kita kumpulkan hari ini untuk menyamakan visi kita tentang UU Omnibus law ini," kata Gubernur Nurdin Abdullah, di Makassar, Ahad (18/10).

Nurdin Abdullah memandu dan memimpin langsung jalannya diskusi untuk meminta masukan dari berbagai pihak terkait UU Cipta Kerja. Acara itu turut dihadiri ketua DPRD, kapolda, dan unsur Forkopimda lainnya di Sulawesi Selatan. Komunikasi juga dilakukan dengan elemen mahasiswa dan serikat pekerja.

"Kalau kita bisa berdialog, kenapa kita mesti turun ke jalan, apalagi merusak fasilitas negara yang notabenenya adalah uang rakyat yang dipakai membangun. Sehingga, kita di Sulsel ini lebih pada menyelesaikan masalah melalui dialog," ujar gubernur.

photo
Sejumlah mahasiswa Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar melakukan aksi unjuk rasa di depan kampus Unismuh Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (16/10). Aksi unjuk rasa mahasiswa menolak Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR tersebut terjadi di sejumlah titik di Kota Makassar. - (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Sebelumnya, akhir pekan lalu Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) juga melakukan pertemuan untuk membahas UU Ciptaker, di Jakarta. Wakil Ketua Apeksi sekaligus Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, hasil dialog akan ditampung untuk dibahas lagi pada Rabu (21/10). "Apeksi akan membentuk tim khusus untuk mengawal peraturan pemerintah ini, mengawal semua perumusan aturan turunannya. Tim khusus dari Apeksi ini harus dilibatkan dalam perumusan aturan-aturan tersebut," kata Bima pada Republika.

Bima menekankan, kepala daerah memiliki tanggung jawab untuk menyerap aspirasi di wilayahnya. Sebab, kepala daerah juga mempunyai tanggung jawab memastikan rencana pembangunan di daerahnya masing-masing bisa tetap terus berjalan sesuai dengan aturan. 

Rapat Apeksi dipimpin Ketua Apeksi Airin Rachmi Diany (wali kota Tangerang Selatan) dan diikuti pengurus lainnya. Wali kota lainnya dari enam komisariat wilayah Apeksi hadir dan ikut berdiskusi melalui saluran daring. 

Dalam draf awal yang dilayangkan Pemerintah ke DPR pada Februari lalu, kentara dalam sejumlah pasal bahwa kewenangan pemerintah daerah dalam hal perizinan usaha dipangkas dan dialihkan ke pemerintah pusat. Sejumlah kewenangan tersebut akhirnya dikembalikan dalam draf akhir yang diserahkan ke Presiden pekan lalu.

Kendati demikian, ada sejumlah pasal yang masih menempatkan kewenangan daerah di bawah pusat. Pasal 174, misalnya, mengatur bahwa "... kewenangan menteri, kepala lembaga, atau pemerintah daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden".

Selanjutnya, pada Pasal 176 UU Ciptaker yang merevisi Pasal 350 UU Pemda, pelayanan perizinan oleh pemda tak hanya berlandaskan perundang-undangan melainkan juga "norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat".

UU Cipta Kerja juga mengatur bahwa kelambanan perizinan di daerah bisa diambil alih pusat setelah diberi teguran. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota juga dikurangi perannya dalam menentukan upah regional yang dalam UU Cipta Kerja berada di tangan pemerintah provinsi.

Dalam pertemuan Apeksi pekan lalu, disepakati juga bahwa UU Ciptaker justru menggerus semangat otonomi daerah. "Pengurus Apeksi melihat banyak sekali kewenangan daerah yang berkurang dan bergeser kembali ke pemerintah pusat. Kami melihat semangat otonomi daerah ini akan tergerus dengan UU Ciptaker," kata Bima Arya.

Dari rapat itu, Apeksi mengkritisi UU Ciptaker dalam sektor perizinan, tata ruang, pengelolaan lingkungan hidup. Sebab terjadi perubahan di mana kewenangan daerah kembali direduksi dan ditarik ke pusat.

Walau demikian, Apeksi tetap membuka ruang dialog. Termasuk dengan menyerap aspirasi para pemangku kepentingan, akademisi kampus, aktivis lingkungan hidup, pakar hukum dan ekonomi untuk menyerap aspirasi terkait apa saja yang menjadi catatan di omnibus law UU Ciptaker.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menyangkal bahwa UU Cipta Kerja memperkuat sentralisasi terkait perizinan usaha. "Saya tegaskan juga bahwa UU Cipta Kerja ini tidak melakukan resentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Tidak, tidak ada," kata Jokowi. 

Ia kemudian mengajak pemerintah daerah ikut membahas turunan regulasi tersebut. Pemerintah menyiapkan 35 peraturan pemerintah (PP) dan 5 peraturan presiden (Perpres) sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja. 

Menurut pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, ditariknya hak otonomi daerah sudah dimulai dengan diawali oleh UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi ditarik ke pemerintah pusat.

photo
Mahasiswa melakukan aksi di pusat Kota Bogor, pekan lalu. - (ARIF FIRMANSYAH/ANTARA FOTO)

Menanggapi penarikan hak otonomi daerah ini, menurut Zuhro, ada sisi negatif dan positifnya. Dampak positifnya bisa jadi pembagian pendapatan untuk daerah belum maju dan tidak memiliki sumber daya alam prospektif. Tetapi dampak negatifnya, kata dia, ditariknya kewenangan daerah dapat membuat mereka lepas tanggung jawab.

"Dengan ditariknya kewenangan daerah dalam mengelola minerba akan membuat daerah-daerah merasa tidak memiliki tanggung jawab. Termasuk pasca penambangan dan kemungkinan kerusakan yang ditimbulkan," kata Zuhro, Sabtu (17/10).

Keputusan pemerintah menarik kembali kewenangan daerah ke pusat, lanjut Zuhro, bisa jadi karena pertimbangan efektivitas. Terutama dalam memangkas rantai birokrasi. "Urusan yang dipusatkan diharapkan dapat memangkas rantai birokrasi. Selain itu, dengan sentralisasi, nuansa politik anggaran akan mengedepan. Asumsinya dengan kekuasaan pemerintah pusat lebih tampak dan membuatnya lebih diperhitungkan oleh daerah," terang Zuhro. 

Buruh ogah bahas UU Ciptaker

Pemerintah disebut mulai mengirimkan undangan bagi pihak-pihak terkait untuk membahas regulasi turunan UU Ciptaker. Meski begitu, sejumlah elemen serikat buruh masih menolak ikut dalam pembahasan tersebut.

Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengaku, sudah mendapatkan undangan dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk terlibat dalam pembahasan rancangan peraturan pemerintah (RPP) UU Cipta Kerja. "Kemenaker sudah mengundang kita untuk penyusunan PP dan meminta nama-nama yang akan ikut penyusunan turunan UU, tapi KSBSI tidak akan mengirimkan nama untuk hadir," kata Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban, kepada Republika, Ahad (18/10).

Dalam surat Kemenaker bernomor 4/801/HI.03.00/X/2020 yang diterima Republika dari Elly, dijelaskan bahwa RPP yang dibahas mengenai sejumlah hal, di antaranya mengenai hubungan kerja, waktu kerja, waktu istirahat, PHK, pengupahan, jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), dan tenaga kerja asing. Serikat pekerja dan serikat buruh diminta untuk mengirimkan nama paling lambat 15 Oktober.

Elly menjelaskan, KSBSI tidak mengirimkan nama karena masih kecewa dengan masukan-masukan sebelumnya, yang tak sepenuhnya ditampung dalam draf final UU Cipta Kerja.

photo
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo (kanan) berdialog dengan massa yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Jateng dalam aksi damai menolak UU Cipta Kerja di depan kompleks DPRD Jateng, Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/10). - (AJI STYAWAN/ANTARA FOTO)

Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga menegaskan, tidak akan urun rembuk pembahasan aturan turunan UU Cipta Kerja. "Terkait dengan aturan turunan, KSPI menolak untuk terlibat dalam pembahasan," kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar S Cahyono, Ahad (18/10).

Kahar menyatakan, pihaknya saat ini tengah mempersiapkan ke Mahkamah Konstitusi untuk uji formal dan uji materi. Kemudian, meminta tinjauan legislative review ke DPR dan tinjauan eksekutif ke pemerintah. 

Uji materi ke MK didasari pada anggapan pihak penolak bahwa pasal-pasal di regulasi usulan pemerintah itu menyalahi konstitusi negara sehingga bisa dibatalkan. Sedangkan, tinjauan legislatif dan eksekutif mengupayakan pembatalan regulasi sepenuhnya terkait proses pembuatan regulasi tersebut.

UU Cipta Kerja dalam pembahasannya sejak Februari-Oktober 2020 memang diwarnai sejumlah kejanggalan. Di antaranya, soal isi draf yang berubah-ubah, bahkan setelah pengesahan RUU Cipta Kerja diketok palu dalam sidang paripurna pada 5 Oktober. 

Selain itu, pembahasan juga tergolong lekas. Waktu pengesahan yang sempat disepakati pada 8 Oktober 2020 juga secara mendadak dimajukan harinya menjadi 5 Oktober 2020. Pada sidang paripurna pengesahan itu, sebagian anggota DPR juga mengeklaim sama sekali tak memegang naskah fisik ataupun digital RUU Cipta Kerja.

Kahar menambahkan, KSPI juga mendesak agar pemerintah tidak kejar tayang dalam menyusun aturan turunan UU Cipta Kerja. Hal tersebut karena saat ini, UU Cipta Kerja masih terus ditentang buruh dan sejumlah elemen lainnya.

Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) juga menegaskan, pihaknya tetap menolak UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada 5 Oktober 2020. Presidium Gekanas, Indra Munaswar, mengaku tak ambil pusing terkait pembuatan aturan turunan UU Cipta Kerja yang tengah disiapkan pemerintah. "Suka-suka mereka aja karena serikat pekerja atau serikat buruh tetap menolak UU Cipta Kerja tersebut," kata Indra kepada Republika, Ahad (18/10).

Indra mengatakan, Gekanas dan serikat pekerja lainnya akan mengambil langkah judicial review ke Mahkamah Konstitusi. "Langkah lainnya yang sedang juga dipersiapkan oleh Gekanas adalah legislative review ke DPR, Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit) ke Pengadilan Negeri atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH) oleh Presiden (pemerintah) dan DPR," ujarnya.

Indra juga mendesak agar Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang pembatalan UU Cipta Kerja. 

Kepala Staf Presiden, Moeldoko menyebut, dalam penyusunan aturan turunan yang dikebut dalam tiga bulan ke depan ini, pemerintah masih bisa memasukkan usulan buruh dan pekerja, khususnya poin-poin yang belum tertampung dalam UU Ciptaker. 

"Menteri ketenagakerjaan masih memberikan kesempatan dan akses pada teman-teman pekerja dan buruh untuk ikut memikirkan bagaimana mereka menanggapi ini nantinya," ujar Moeldoko dalam jawaban tertulisnya, Sabtu (17/10).

Kendati begitu, pemerintah belum memberikan rambu-rambu mendetail soal sektor apa saja yang akan lebih dulu dibuatkan aturan turunannya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat