Pedagang menata dagangannya di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Sabtu (3/10). | MUHAMMAD ADIMAJA/ANTARA FOTO

Opini

Makna Pemulihan Ekonomi

Pemulihan ekonomi dunia dan nasional dengan spirit keadilan.

DIDIN S DAMANHURI, Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB

Kini, ada frasa baru great reset (GR) yang masih beredar terbatas. Frasa ini dilontarkan Prof Klaus Schwab, chairman World Economic Forum (WEF) mengenai perlunya GR (atur ulang menyeluruh) yang akan diajukan dalam WEF 2021 ke-51 di Davos.

Ini respons atas krisis karena pandemi 2020 ini. Dia juga yang memopulerkan Revolusi 4.0 sehingga praktis sekarang semua pihak mengacu pada strategi Klaus Schwab.

Dalam menghadapi masa depan, perlu GR dalam tata kelola dan pembangunan berkelanjutan (sustainable), merengkuh (inclusive), adil (fairness), dan mempertimbangkan dampak jangka panjang (longitudinal impact).

Selama ini, pembangunan ekonomi terutama di era globalisasi sangat merusak lingkungan. Globalisasi ekonomi memang memacu volume perdagangan global serta pertumbuhan ekonomi, tetapi sebagian masyarakat dunia tak terlalu merasakan kesejahteraan.

 
Pandemi Covid-19 menyentakkan kesadaran global dengan great lockdown sehingga seketika terjadi “deglobalisasi”.
 
 

Data Oxfam (2019) menunjukkan, harta 2.153 kaum superkaya yang semuanya ada di negara maju, setara dengan 4,6 miliar warga miskin (60 persen penduduk dunia). Jadi, globalisasi ekonomi selama ini sangat tidak adil.

Pandemi Covid-19 menyentakkan kesadaran global dengan great lockdown sehingga seketika terjadi “deglobalisasi”.

Maksud awal menghindari penyebaran Covid-19, bermula dari Wuhan, Cina, menyebar ke Eropa, negara Asia lain, lalu ke AS, Amerika Latin, Afrika, dan akhirnya ke seluruh dunia dengan keterlibatan 215 negara.

Lalu, menyeruak dampaknya, yakni terhentinya produksi dan distribusi serta menurun drastisnya daya beli yang akhirnya merontokkan konsumsi penduduk dunia yang pada gilirannya perekonomian terkontraksi secara dalam.

 
Saat pandemi Covid-19, terjadinya penguncian sosial antarnegara dan internal negara, tampak hal baru dalam pergaulan dunia yakni empati, kerja sama, solidaritas, keyakinan pada Tuhan. 
 
 

Disrupsi globalisasi

Dunia yang sebelumnya terdisruspsi kebijakan proteksionis AS ala Trump, lalu timbul perang dagang sehingga terjadi deglobalisasi dengan ciri proteksionisme, chauvinisme, dan populisme. Namun, deglobalisasi ini lebih pada reaksi kaum globalis atas Trump.

Saat pandemi Covid-19, terjadinya penguncian sosial antarnegara dan internal negara, tampak hal baru dalam pergaulan dunia, yakni empati, kerja sama, solidaritas, keyakinan pada Tuhan. Dalam globalisasi, selama ini kita saksikan persaingan individu, hedonisme.

Pemaknaan deglobalisasi tampaknya tak hanya saat melawan Covid-19, tetapi bisa jadi sebagai sikap baru dunia pasca-Covid-19. Fenomena baru lainnya, gejala di dunia termasuk negara maju mengalokasikan anggaran besar untuk kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM.

Anggaran ini tak semata dianggap biaya, tapi untuk penyelamatan nyawa warga. Jadi, ini human investment sebagaimana dalam kategori ekonom pemegang Nobel Gary Becker (The Theory of Human Capital, 1962, 1992) dalam pembangunan berkelanjutan.

Ini juga hikmah di era pandemi. Perhatian pada pembangunan manusia (pendidikan, kesehatan, penyelamatan nyawa warga, berdayanya UMKM) menjadi alokasi langsung anggaran yang penting dari perekonomian yang people driven.

 
Di alam globalisasi, masyarakat terbentuk dalam pola konsumsi oleh imajinasi palsu (pseudo consumption), hasil cuci otak iklan di media dengan biaya kolosal perusahaan multinasional. 
 
 

Belajar dari pandemi, negara dipaksa memenuhi kebutuhan rakyatnya dari kapasitas produksi domestik. Gagasan ekonomi ini juga bermakna deglobalisasi yang bisa kita pinjam dari Walden Bello (Deglobalization: Ideas for a New World Economy, 1982).  

Deglobalisasi adalah reorientasi ulang perekonomian domestik dari yang menekankan produksi untuk ekspor ke produksi untuk pasar lokal.

Ini sejalan dengan John Maynard Keynes ketika paradigma pemikirannya dipakai oleh Presiden AS Theodore D Roosevelt dalam New Deal-nya untuk menghadapi resesi hebat tahun 1930-an, yang berprinsip perlunya national self-sufficiency (1933).

Kembali ke deglobalisasi, adalah tesis di mana permintaan atau konsumsi harusnya berbasis masyarakat lokal terutama bagi negara berkembang yang ingin meraih kemandirian ekonominya sehingga orientasi produksi lebih ke pasal lokal.

Di alam globalisasi, masyarakat terbentuk dalam pola konsumsi oleh imajinasi palsu (pseudo consumption), hasil cuci otak iklan di media dengan biaya kolosal perusahaan multinasional. Umumnya, GDP negara berkembang disumbang konsumsi, lebih dari 50 persen.

 
Dengan model lain globalisasi, masyarakat dunia mengharapkan koreksi atas model globalisasi saat ini yang menimbulkan ketidakadilan. 
 
 

Ini mengakibatkan anggaran negara tiap tahunnya defisit. Salah satu sebabnya borosnya devisa untuk impor kebutuhan barang dan jasa yang artificial needs dalam bentuk barang mewah dan/atau bukan barang kebutuhan nyata, sering menyubtitusi barang lokal.

Lebih esktrem, ada pihak domestik melakukan rekayasa hingga barang kebutuhan pokok diimpor. Akhirnya bergantung pada impor.

Maka, makna deglobalisasi di negara berkembang dalam menciptakan keadilan bagi masyarakatnya adalah negara lebih aktif mendorong agar konsumsi dan produksi nasional diorientasikan untuk kebutuhan masyarakat lokal.

Ini format deglobalisasi yang dapat diambil negara berkembang termasuk Indonesia dalam rangka great reset-nya Schwab. Apakah ini “antipasar dan antiperdagangan internasional”? Jawabannya sama sekali menolak konstatasi tersebut.

Sebab, mekanisme pasar yang sehat justru prasyarat deglobalisasi dengan model globalisasi berbeda.

Dengan model lain globalisasi, masyarakat dunia mengharapkan koreksi atas model globalisasi saat ini yang menimbulkan ketidakadilan. Maka, pemulihan ekonomi dunia dan nasional, semoga dengan spirit demikian. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat