Irjen Napoleon Bonaparte seusai sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin, (28/9). | Bambang Noroyono/Republika

Nasional

Polri: Napoleon Minta Rp 7 Miliar

Kuasa hukum minta Polri tunjukkan bukti suap Napoleon di persidangan.

JAKARTA — Tim Hukum Bareskrim Mabes Polri membantah dalil permohonan praperadilan tersangka Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte terkait kasus red notice terpidana Djoko Sugiarto Tjandra. Kepolisian menyebut mantan kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) tersebut meminta uang senilai Rp 7 miliar sebagai biaya penghapusan status buronan terpidana korupsi Bank Bali 1999 di interpol dan imigrasi.

Permintaan uang tersebut disampaikan Napoleon kepada orang suruhan Djoko, Tommi Sumardi. “Bahwa untuk (tersangka) Irjen NP tidak mau menerima uang yang disediakan, dan meminta sebesar Rp 7 miliar,” begitu terang salah satu anggota tim hukum Bareskrim Polri dalam sidang lanjutan praperadilan Napoleon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (29/9).

Sidang ketiga itu beragendakan pembacaan jawaban termohon, yakni Bareskrim Polri atas dalil Napoleon yang meminta hakim memerintahkan Polri menghentikan penyidikan dan mencabut penetapan status tersangka terhadapnya. Dalil pemohonan Napoleon sudah dibacakan saat sidang pada Senin (28/9). 

Napoleon menolak tuduhan adanya penerimaan uang 20 ribu dolar AS (Rp 296 juta) dari Djoko lewat tersangka Tommi Sumardi. Napoleon menyatakan, Polri tak punya bukti penerimaan tersebut.

Napoleon menyebut penyidik menyita uang tersebut dari tersangka lainnya, yakni Brigjen Prasetijo Utomo, tetapi membebankan pidana terhadapnya. Dalil tersebutlah yang dibantah oleh Bareskrim Polri kemarin. 

Tim hukum Polri mengatakan, hasil penyidikan menyebutkan rencana penghapusan status buronan terhadap Djoko Tjandra sudah dibicarakan sejak Maret 2020 ketika Djoko Tjandra menghubungi Tommi menyampaikan permintaan bantuan pencabutan red notice. “Dari pembicaraan itu, disebutkan biaya sebesar Rp 15 miliar,” kata dia. 

Dari pembicaraan tersebut, dikatakan Djoko setuju di harga Rp 10 miliar. Rencana tersebut berlanjut pada April. Disebutkan bahwa Tommi mendatangi rumah tersangka Brigjen Prasetijo.

Dalam kunjungan ini, Tommi meminta Prasetijo mengenalkannya dengan Napoleon selaku Kadiv Hubinter Mabes Polri. “PU (Prasetijo) bersama TM (Tommi Sumardi) menghadap NB di Gedung TMCC lantai 11 (Mabes Polri),” begitu terang tim hukum. 

Dari perjumpaan tersebut, Tommi meminta pengecekan status buronan Djoko. Sehari setelah itu, dikatakan sekitar pukul 11.00 WIB, Tommi kembali bertemu Prasetijo untuk mendatangi Napoleon di ruang kerja. Saat pertemuan tersebut, Tommi menyampaikan rencana penghapusan red notice tersebut.

“(Tersangka) TS bersama PU mendatangi ruangan Irjen NB selaku Kadiv Hubinter Polri. Dan NB menyampaikan red notice atas nama DT (Djoko Tjandra) bisa dibuka asal ada uang sebesar Rp 3 miliar,” sambung tim hukum Polri. 

Pada hari itu juga, ungkap tim hukum, Tommi memberikan uang kontan 100 ribu dolar AS (Rp 1,4 miliar). Uang tersebut dibagi menjadi tiga bagian, senilai 20 ribu dolar kepada Prasetijo, 30 ribu dolar untuk Tommi, dan 50 ribu dolar untuk Napoleon. “Akan tetapi tersangka Irjen NP (Napoleon) tidak menerima uang dengan jumlah tersebut, dan meminta sebesar Rp 7 miliar,” begitu kata tim hukum Polri. 

Pada medio April-Mei 2020, sebagai realisasi rencana penghapusan red notice, Napoleon memerintahkan Kombes Tommy Arya membuat surat, yaitu produk hukum yang berkaitan dengan red notice. Surat tersebut ditandatangani Brigjen Nugroho Slamet Wibowo selaku Sekretaris Interpol Polri untuk penghapusan nama buronan dalam DPO Djoko di sistem imigrasi.

Sebagai imbalan dari penerbitan surat tersebut, Djoko harus menebus senilai Rp 7 miliar yang dibagi dalam bentuk dolar AS dan Singapura. Penyidik, dikatakan tim hukum, mempunyai bukti terkait pencairan uang tersebut yang dilakukan bertahap. 

Menanggapi itu, kuasa hukum Napoleon, Gunawan Raka, meminta bukti uang sebesar Rp 7 miliar yang dikatakan tim hukum Bareskrim. "Jadi gini, kalau urusan duit itu duitnya bawa sini deh. Saya tidak mau tanggapin. Kalau narasi, cerita, aduh saya tidak mau tanggapin. Duitnya mana? Itu saja," katanya, kemarin. 

Menurut dia, dalam sidang kemarin, seharusnya Bareskrim mengajukan alat bukti untuk mendukung jawabannya. Kemudian, pengajuan alat bukti dari pemohon untuk mendukung dalil yang diajukan pada Senin.

"Kalau untuk yang masalah dalil menolak dengan tegas, menyampaikan narasi yang sedemikian rupa, itu semua terpatahkan oleh bukti-bukti yang saya ajukan hari (Selasa) ini. Untuk selanjutnya akan kami tanggapi dalam kesimpulan setelah selesai pemeriksaan perkara," kata dia.

Menurut dia, ia telah mengajukan 38 alat bukti. Semua alat bukti disampaikan, lengkap, dan sudah dicek sah sebagai alat bukti untuk pertimbangan hakim membuat keputusan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat