Pasien Covid-19 berada di salah satu tower di kawasan Rumah Sakit Darurat (RSD) wisma atlet, Kemayoran, Jakarta, Jumat (11/9). | Prayogi/Republika

Kisah Dalam Negeri

Hari yang tak Diinginkan Itu Datang!

Kabar tak diinginkan itu datang, kondisi Mama menurun dan harus masuk ruang ICU.

Terjangkit Covid-19 bukan cobaan yang mudah bagi sebagian besar orang. Pada masa pandemi ini, ia jenis penyakit dengan banyak nuansa, bukan hanya memengaruhi kesehatan, melainkan juga kehidupan sosial pengidapnya. Jurnalis Republika, Fauziah Mursid, menuturkan pengalamannya terjangkit dan akhirnya sembuh dari penyakit tersebut. Berikut tulisan bagian pertamanya.

Sebelum bercerita pengalaman sebagai penyintas Covid-19, izinkan saya bercerita mengenai keluarga kami yang merupakan keluaga pasien cuci darah. Sejak awal 2020, tepatnya 16 Januari, persis pada ulang tahun ke-59 ibu saya, beliau mulai menjalani hemodialisa atau cuci darah. Sepanjang awal cuci darah, semua berjalan normal. Kondisi ibu saya pun sehat, tidak ada keluhan. Hanya saat proses hemodialisa, tensi naik turun. Hal wajar saat proses hemodialisa.

Bulan berganti bulan, cuci darah yang dilakukan dua kali sepekan, yakni Rabu-Sabtu itu berjalan lancar. Namun, ketidaknyamanan mulai muncul saat informasi mengenai wabah pandemi Covid-19 mulai masuk ke Indonesia pada Maret awal.

Klinik tempat ibu saya menjalani hemodialisa mulai memberikan panduan mengenai protokol kesehatan demi pencegahan Covid-19. Semua menyadari betul, risiko tinggi yang diakibatkan jika pasien cuci darah sampai tertular Covid-19.

Karena itu, protokol perlahan-lahan mulai kami biasakan, baik pasien maupun para keluarga mengantar. Sebab, biar bagaimanapun, kebutuhan hemodialisa wajib dan tidak bisa ditunda bagi para pasien. Ibaratnya, mesin hemodialisa bagi pasien cuci darah seperti pengganti fungsi ginjal yang ada pada orang normal.

 
Saat itu di antara kami tidak ada yang menunjukkan gejala. Kami juga memutuskan untuk memprioritaskan tes swab kepada ibu saya.
 
 

Kami wajib mengikuti aturan untuk menggunakan masker, baik pasien maupun keluaga penunggu, jaga jarak, imbauan mencuci tangan, atau menggunakan hand sanitizer setiap memegang sesuatu. Semua imbauan itu pun konsisten dilakukan sejak awal. 

Meskipun diakui masker sesekali dilepaskan saat pasien tengah makan atau minum di ruangan. Proses cuci darah memang bukan sebentar. Sekitar lima jam lamanya, ditambah waktu kedatangan, pemasangan alat dan pelepasan alat, bisa total tujuh jam. Berkomunikasi antara satu pasien ataupun keluaga pasien sebagai mengusir kebosanan dan penyemangat tidak bisa dihindari.

Hingga kemudian musibah itu terjadi pada pekan akhir Agustus. Berawal pada Selasa 25 Agustus, selepas Maghrib, ketika informasi duka datang dari teman penyintas cuci darah yang berpulang. Yang bersangkutan selama seminggu terakhir diketahui kondisinya menurun karena diare.

Yang mengejutkan dari kabar ini adalah pasien itu meninggal setelah dikonfirmasi positif Covid-19. Kekhawatiran pun langsung membayangi kami, pasien, dan para keluarga. Ada imbauan kemudian dari tenaga medis di tempat hemodialisa agar semua pasien melakukan tes swab atau tes usap. 

Padahal, keesokan harinya adalah jadwal cuci darah berikutnya. Kami urungkan melakukan cuci darah untuk meminimalisasi risiko penularan jika di antara kami ada yang positif.

 
Baru pada Selasa, kondisi Mama makin membaik. Beliau juga sudah bisa berkomunikasi dengan kami melalui sambungan telepon. 
 
 

Saat itu di antara kami tidak ada yang menunjukkan gejala. Kami juga memutuskan untuk memprioritaskan tes swab kepada ibu saya. Rabu keesokan harinya, ayah saya mulai bergerak. Ia langsung mendatangi puskesmas di tempat kami tinggal, Depok, Jawa Barat, dan melaporkan bahwa ibu saya pasien kontak erat pasien HD yang meninggal tersebut. 

Kami berharap dengan mempertimbangkan komorbid atau penyakit penyerta, ibu saya bisa mendapat prioritas tes swab di puskesmas. Jawaban kurang memuaskan justru kami dapat. Dengan alasan tak ada gejala, ibu saya diminta cukup isolasi mandiri.

Kecewa dengan alasan puskesmas, kami memutuskan untuk tes mandiri. Keesokannya, Kamis pagi, kami tes mandiri di rumah sakit, masih di Kota Depok. Saat tes swab hari itu, kondisi Mama masih fit dan tidak ada gejala apa pun. Hingga pada malam harinya, sepulang tes usap Mama mulai demam tinggi, menggigil, mual, dan sesekali muntah.

Saya masih berpikir positif. Itu karena ibu saya drop setelah mendengar dua rekannya juga dinyatakan positif Covid dan dirujuk ke rumah sakit di Jakarta Selatan. Namun, anehnya, demam tinggi itu tidak kunjung turun, meski Mama sudah diberi parasetamol dan dikompres air hangat. 

Hingga esoknya, hasil swab menunjukkan hasil positif Covid-19. Dan mulai hari itu juga, diawali penurunan kondisi beliau dari hari ke hari. Sabtu 29 Agustus, beliau langsung dirujuk ke RS di Kota Depok, setelah melalui berbagai rangkaian panjang karena dokter puskesmas di wilayah kami terus mengupayakan rujukan rumah sakit yang terdapat fasilitas cuci darah.

Dua hari pertama di RS, berdasarkan informasi perawat, demam ibu saya masih naik turun. Baru pada Selasa, kondisi Mama makin membaik. Beliau juga sudah bisa berkomunikasi dengan kami melalui sambungan telepon. 

 
Kondisi ibu saya menurun dan harus masuk ruang ICU. Sehari sebelumnya, Jumat, memang ibu saya mengeluh susah bernapas hingga harus menggunakan oksigen.
 
 

Beliau hanya bercerita masih merasakan mual atau tidak enak makan, sesekali pusing, tetapi tidak panas. Hari berganti hari, kondisi beliau yang membaik memberi keyakinan bahwa beliau akan kembali sehat. Meski di tengah itu, informasi kami dapat dari rekan-rekan penyintas cuci darah ibu lainnya yang positif Covid-19 satu per satu berpulang.

Namun, kami terus optimistis. Setiap pagi dan sore saya menghubungi ibu untuk memberikan suntikan semangat, sesekali bergurau dan menanyakan keinginannya. 

"Mama kan lagi merantau ini, Nduk (panggilan ibu saya kepada saya)," ujarnya kala itu merujuk kondisinya yang jauh dari keluarga.

Sampai akhirnya, Sabtu 5 September 2020, kabar tidak mengenakkan itu datang. Kondisi ibu saya menurun dan harus masuk ruang ICU. Sehari sebelumnya, Jumat, memang ibu saya mengeluh susah bernapas hingga harus menggunakan oksigen. "Mama kan lagi pilek, agak ngos-ngosan, jadi pakai oksigen, tapi nanti bawain Mama agar-agar ya Nduk. Jangan pakai gula ya," kata dia saat itu.

Saya belum menyadari itu bagian dari permintaan terakhirnya dan alhamdulillah terpenuhi. Saya saat itu masih optimistis ibu saya bisa kembali sehat, keajaiban akan datang. Berbagai macam informasi saya kumpulkan, banyak penyintas Covid-19 yang kembali sehat meski pernah masuk ruangan ICU.

Mama saat itu sudah berjuang kurang lebih 13 hari jika dihitung sejak swab dilakukan atau mungkin lebih sejak virus Covid-19 menginfeksi dirinya. Namun, harapan itu pupus kala pihak RS mengabarkan ibu saya berpulang pada Selasa pukul 22.50 WIB setelah berjuang kurang lebih tiga hari di ICU. Ibu saya pun menyusul enam teman hemodialisanya yang lebih dahulu dipanggil Yang Mahakuasa.

Bagi kami, khususnya saya, Mama tidak pernah menyerah. Beliau tetap mengajarkan arti perjuangan sampai akhir, seperti pernyataannya kepada saya bahwa ia tengah merantau dan berjuang, meski akhirnya takdir berkata lain. Selamat jalan, Mama!

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat