Warga memadati area pedagang kaki lima di kawasan Thamrin-Sudirman, Jakarta, Ahad (6/9). | Republika/Thoudy Badai

Tajuk

Siasat Hadapi Pengabaian

Begitu juga pengabaian-pengabaian. Harus kita hentikan.

 

Pagebluk Covid-19 di negara kita menyibak banyak wajah. Selain kasusnya kian hari kian memprihatinkan, Selasa ini total kasus Covid-19 Indonesia akan menyentuh 200 ribu kasus. Warga yang terkena penyakit bertambah secara eksponensial. Sekarang sudah menyentuh 3.000-an kasus per hari. Belum ada tanda-tanda tren penurunan sama sekali. 

Tren kasus terus menanjak. Kasus pertama ke kasus 100 ribu membutuhkan waktu lima bulan. Namun, dari kasus 100 ribu ke kasus 200 ribu hanya membutuhkan waktu kurang dari 40 hari! Kita bisa membayangkan bagaimana perkembangan kasus ini dari 200 ribu ke 300 ribu, mungkin dalam kurun sebulan atau kurang. 

Dengan asumsi serupa, pada akhir tahun kasus Covid-19 di Indonesia bisa menyentuh angka 500 ribu (asumsi moderat) atau mendekati satu juta kasus (asumsi maksimal). 

Tidak terbayangkan kapasitas ranjang rumah sakit penuh oleh pasien Covid-19. Atau gedung karantina di berbagai daerah zona merah sesak dihuni oleh terduga Covid-19 yang belum dirawat. Kemudian lahan kuburan harus bertambah luas. 

Tenaga kesehatan kerepotan bukan main karena pasien masuk per hari semakin banyak melebihi kapasitas maksimal mereka. Perawat dan dokter kian ketakutan tertular Covid-19. Belum lagi perawatan pasien penyakit lain berpotensi terabaikan karena seluruh fokus mengarah ke pagebluk Covid-19. 

 
Tapi toh pengabaian ini justru makin menjadi. Menuju banalitas. 
 
 

Wajah lain Covid-19 yang juga terasa adalah 'pengabaian oleh sebagian masyarakat'. Ini tentu saja terasa kurang masuk akal bagi kita. 

Bagaimana bisa penyakit yang jelas-jelas menyebar secara internasional, diakui secara ilmiah oleh pihak yang kompeten dan tepercaya, membuat krisis ekonomi dan sektor kesehatan di banyak negara, tapi dianggap remeh atau sepele oleh sebagian publik?

Apakah pemerintah lepas tangan menangani Covid-19 ini. Jelas tidak. Kita melihat pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres KH Ma'ruf Amin berupaya sejauh mungkin menangani pagebluk. Walaupun dengan tergopoh dan kekurangan di sana sini. 

Berbagai sosialisasi sudah disampaikan. Berita di televisi, media sosial, radio, internet setiap hari menyoroti soal Covid-19. Setiap pihak sudah berbicara. Mulai dari dokter, perawat, profesor, pakar virus, ilmuwan, pejabat kesehatan, pemilik farmasi, pihak rumah sakit, apoteker, polisi, TNI, bahkan ulama dan tokoh agama serta tokoh masyarakat dilibatkan berbicara soal bahayanya Covid-19. 

Protokol kesehatan minimal: Menggunakan masker, rajin mencuci tangan, menggunakan disinfektan, menjaga jarak, sebisa mungkin menghindari kerumunan dan tempat umum sudah dijelaskan berkali-kali setiap hari. Tanpa bosan. 

 
Pagebluk ini harus kita lenyapkan. Karena ia merampok satu-satunya sumber daya  terbesar: Manusia. Begitu juga pengabaian-pengabaian. Harus kita hentikan.
 
 

Tapi toh pengabaian ini justru makin menjadi. Menuju banalitas. Publik tahu Covid-19 itu berbahaya. Tapi memaklumi dan dalam tempo tertentu dengan sadar melanggar dari kita tidak merasa salah melakukannya, kemudian menganggapnya biasa. 

Apakah publik kehilangan daya kritisnya? Apakah publik tidak mendapat cukup informasi soal berbahayanya penyakit? Apakah pemerintah abai dalam situasi ini? Apakah tidak ada penegakan hukum dan disiplin yang keras? Apakah publik tidak merasa pagebluk ini menyimpan bom waktu?

Kalau pemerintah merasa perlu pembatasan skala besar atau skala nasional, silakan lakukan. Lakukan dengan disiplin dan tegas agar publik melihat ada keseriusan. Jangan sampai kepemimpinan nasional malah diabaikan, bahkan dianggap remeh publik dalam penanganan situasi ini. 

Pagebluk ini harus kita lenyapkan. Karena ia merampok satu-satunya sumber daya  terbesar: Manusia. Begitu juga pengabaian-pengabaian. Harus kita hentikan. Publik punya kewajiban sebagai warga negara yang tegas untuk melawan pengabaian oleh publik lainnya. Jadi bukan oleh semata pemerintah, melainkan seluruh kita. 

Pagebluk macam ini tidak bisa tuntas dengan cara-cara biasa. Apalagi, ditambah oleh pengabaian masyarakat. Harus ada langkah yang lebih taktis, yang lebih tegas, yang lebih keras lagi. Pemerintah dan warga harus bahu-membahu, tidak boleh kehilangan wibawanya dan otoritasnya, menangani pagebluk.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat