Warga menggunakan Facebook. Perusahaan itu mengumumkan rencana cryptocurrency bernama Libra pada Juni 2019 lalu. | EPA

Opini

Menelisik Uang Digital

Satu hal sangat penting pascapandemi Covid-19 nanti adalah uang digital.

YANDRA ARKEMAN, Profesor Teknologi Industri Pertanian, Peneliti AI dan Blockchain, IPB University

Bulan April lalu, Pemerintah Cina meluncurkan uang digital mereka, digital currency/electronic payment (DCEP) atau disebut yuan digital. Ini jawaban atas Libra, uang digital berbasis blockchain yang diperkenalkan Facebook, sekitar Juli tahun lalu.

Meski belum resmi digunakan, gaung uang digital AS ini membuat Cina dan negara lainnya, seperti Jepang, Korea, dan Inggris harus mempersiapkan diri menghadapi persaingan uang digital di tingkat internasional.

DCEP membuat Cina selangkah lebih maju dalam kompetisi inovasi uang digital. Sekarang, DCEP diuji coba di tiga provinsi besar di Cina, kalau sukses akan resmi digunakan di seluruh Cina dan mungkin beberapa negara lain di Asia.

Ini ujian besar bagi dolar AS yang selama ini digunakan secara luas di tingkat internasional.

Kalau kita lihat sejarah, uang beberapa kali berganti bentuk. Awalnya, uang malah tidak ada. Transaksi dilakukan dengan barter. Lalu, muncul uang dalam bentuk produk pertanian (cokelat) serta logam mulia seperti emas dengan nilai instrinsik tertentu.

Nilai instrinsik bergantung pada nilai logam mulia pembentuk uang tersebut. Karena dirasa kurang praktis, emas digantikan uang kertas. Uang kertas dicetak dengan jaminan emas yang disimpan di bank.

Uang digital pertama muncul sekitar 10 tahun lalu saat ditemukan teknologi penyimpanan data peer to peer dan terdesentralisasi, yang disebut  blockchain. Bersamaan dengan itu, diluncurkan bitcoin, uang digital pertama berbasis blockchain.

Bitcoin diperkenalkan Satoshi Nakamoto dalam makalahnya yang terkenal berjudul “Bitcoin: A Peer to Peer Electronic Cash Register” sekitar 2009. Setelah itu, uang digital berbasis blockchain lain, seperti etherum, litecoin, dan dash hadir.

Uang digital seperti ini, disebut pula mata uang kripto karena “pembuatannya” menggunakan teknologi cryptography yang tersarang pada blockchain. Blockchain dianggap inovasi yang bisa mengubah peradaban dan ekosistem ekonomi dunia.

 
Selain itu, mata uang kripto masih volatile, artinya nilainya sangat mudah berubah dan tak dijamin dengan emas. 
 
 

Upaya penguasaan teknologi ini di Cina, dipimpin langsung Presiden Xi Jinping yang dalam salah satu pidatonya beberapa bulan lalu menyebut, blockchain sebagai terobosan teknologi yang harus segera dikuasai Cina.

Jika mata uang kripto diterapkan murni dan utuh sesuai konsep awalnya, akan terjadi perubahan besar, yaitu runtuhnya sistem perbankan. Sebab, mata uang kripto bisa digunakan langsung dari satu pengguna ke pengguna lain tanpa melalui perantara (bank).

Perubahan yang sangat revolusioner ini, belum bisa diterima masyarakat dunia saat ini. Itulah sebabnya, di berbagai negara, termasuk Indonesia, mata uang kripto belum dianggap alat pembayaran resmi.

Selain itu, mata uang kripto masih volatile, artinya nilainya sangat mudah berubah dan tak dijamin dengan emas. Karena itu, muncul versi lebih moderat dari mata uang kripto. Versi pertamanya disebut Libra yang dikembangkan Facebook.

Uang digital Libra ini dijamin konsorsium beberapa mata uang dunia, yaitu USD, EUR, JPY, GBP, dan SGD sehingga nilainya lebih stabil. Versi kedua, DCEP milik Cina. Mata uang ini dikeluarkan People Bank of China (PBoC) dan peredarannya dijamin emas milik pemerintah.

Teknologi blockchain yang digunakan kedua uang digital ini berbeda dengan awalnya. Sebagian ahli teknologi digital menyebut, Libra sebagai consortium blockchain dan DCEP sebagai centralized blockchain.

Istilah centralized blockchain ini, cukup unik karena blockchain “asli’’ menggunakan sistem terdesentralisasi. Terlepas dari itu, teknologi dasar blockchain, seperti smart contract dan cryptography digunakan dalam DCEP.

Keunggulan lain DCEP, dapat digunakan walaupun tak ada jaringan internet. Dengan fitur ini, DCEP bisa menjangkau petani dan pedagang kecil di perdesaan. Namun, DCEP juga mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahan terbesar adalah privasi.

Dengan sistem sentralistik, transaksi individu atau perusahaan dapat dimonitor pemerintah. Ini tak disukai masyarakat berpikiran lebih bebas, yang lebih menyukai anonimitas seperti yang diberikan mata uang digital berbasis blockchain murni ataupun uang kertas.

 
Satu hal sangat penting pascapandemi Covid-19 nanti adalah uang digital, yang diharapkan membebaskan kita dari penggunaan uang kertas yang dipandang tidak higienis karena bisa menjadi media penyebaran virus.
 
 

Fakta seperti ini, membuat pengamat ekonomi dan ahli teknologi digital dunia belum menganggap DCEP bentuk akhir uang digital. Berbagai penelitian di AS, Jepang, Eropa, dan negara maju lainnya dilakukan untuk menyempurnakan bitcoin, Libra, dan DCEP.

Mereka ingin semua fitur yang diinginkan masyarakat, seperti kestabilan nilai, keamanan transaksi, privasi, kemudahan transaksi, dan keterjangkauan, dapat hadir bersama-sama dalam mata uang digital masa depan.

Satu hal sangat penting pascapandemi Covid-19 nanti adalah uang digital, yang diharapkan membebaskan kita dari penggunaan uang kertas yang dipandang tidak higienis karena bisa menjadi media penyebaran virus.

Karena itu, blockchain, kecerdasan buatan, dan teknologi digital maju lainnya harus dipelajari agar kita bisa ikut menciptakan uang dan teknologi digital masa depan lainnya. Kalau tidak, kita hanya bisa menjadi pengguna teknologi digital yang mereka buat. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat