Seorang staff DPR menunjukkan paspor dalam proses pembuatan paspor di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (25/8). | RENO ESNIR/ANTARA FOTO

Opini

Resiliensi Pelayanan Publik

Posisi negara dalam melayani publik adalah prioritas dalam era pandemi.

M RIZKI PRATAMA, Tenaga Pengajar Prodi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Pandemi kali ini membuat seluruh sektor merasakan tekanan pahit. Pemerintah, bisnis, dan masyarakat merasakan kerugian luar biasa. Pemerintah kehilangan kesempatan prioritas pembangunan dengan merelokasi dana untuk mengalahkan pandemi.

Bahkan, setidaknya 10 negara dengan ekonomi kelas global pun telah mengumumkan mengalami resesi, sulit membayangkan pada masa pra-pandemi, AS, Jerman, Korea Selatan, Singapura hingga Inggris jatuh di jurang resesi. 

Namun, jika tesis sentral tanggung jawab adalah negara melalui representasi pemerintah, tentu tekanan dan kerugian itu harus mampu direduksi optimal.

 
Pelayanan publik yang seharusnya memiliki karakter resiliensi, menjadi determinan penting membangun masyarakat menjadi lebih baik selama dan pascakrisis.
 
 

Kisah sukses negara-negara yang mampu mengendalikan penyebaran Covid-19, dapat menuturkan narasi penting kehadiran negara melalui instrumen pelayanan publik untuk membantu publik saat krisis.

Bagaimana pelayanan publik yang seharusnya memiliki karakter resiliensi, menjadi determinan penting membangun masyarakat menjadi lebih baik selama dan pascakrisis.

Pelayanan publik tidak hanya mampu membuat masyarakat menjadi kembali stabil, tetapi juga menunjukkan kapabilitas baru dan inovasi untuk tetap berdaptasi dengan lingkungan baru (Lengnick-Hall et al. 2011).

Pengalaman negara di Asia Timur yang kini mampu mengendalikan pandemi, dapat menjadi rujukan resiliensi pelayanan publik. Mereka kembali dengan kemampuan baru setelah berkali-kali mengalami wabah serius dan bencana yang sewaktu-waktu muncul.

Sebut saja Korea Selatan, bangkit setelah dihantam wabah flu burung dengan penanganan wabah Covid-19 lebih baik atau Jepang yang mampu membangun kembali infrastruktur vital dengan cepat setelah gempa bumi.

Inisiasi Jepang juga memunculkan kerangka kerja “Sendai Framework for Disaster Risk Reduction” untuk mondorong ide “build back better” (BBB) ketika terjadi bencana alam, yang kemudian banyak diadopsi negara lain.

Analisis Kishore Mahbubani (2020) memperkuat argumen bahwa negara Barat tak lebih baik dari negara Asia Timur dalam menghadapi pandemi ini.

 
Posisi negara dalam melayani publik adalah prioritas dalam era pandemi.
 
 

Negara di Asia Timur lebih siap karena belajar dari pengalaman wabah masa lalu dan investasi pelayanan publik besar-besaran seperti sistem pelayanan kesehatan.

Studi dari Baniamin et al (2020) menunjukkan, faktor pemerintah dan sosial yang membedakan antara negara gagal dan sukses dalam mengendalikan Covid-19.

Faktor negara terdiri atas pembelajaran kebijakan, struktur implementasi, kesiapan teknologi, dan administrasi. Sedangkan faktor sosial adalah profil demografi, struktur keluarga, dan atribut kultural.

Gelombang reclaiming public service, yaitu pemerintah mengambil alih pelayanan publik dari sektor bisnis, menunjukkan liberalisasi pelayanan publik tak dapat diandalkan untuk melayani publik sepanjang waktu.

Tesis Francis Fukuyama bahwa negara-negara berpopulasi besar menyerahkan pelayanan publik kepada sektor bisnis dan negara berpopulasi kecil mengelolanya sendiri, harus direvisi.

Seharusnya, negara hadir dengan mengelola pelayanan publiknya sendiri yang dapat menjamin pelayanan publik tetap bekerja meskipun kala krisis, tidak melarikan diri atau justru dengan mempersulit posisi kelompok rentan dan minoritas.

Posisi negara dalam melayani publik adalah prioritas dalam era pandemi. Tentu, negara tidak dapat memainkan peran vital sendirian dengan keterbatasan sumber daya, tetapi tetap menjadi pemain utama dengan menggandeng berbagai aktor nonnegara lainnya.

 
Elemen kunci resiliensi pelayanan publik adalah membantu individu dan kelompok masyarakat, yang memiliki paling sedikit alternatif untuk dapat bangkit kembali.
 
 

Dalam konteks Indonesia, kita masih berjuang mengendalikan penyebaran Covid-19. Berbagai kebijakan sedang dan telah dilaksanakan, tetapi belum ada indikasi penurunan penyebaran secara signifikan.

Kini, dapat kita lihat saat krisis pelayanan publik kita cenderung masih defisiensi daripada resiliensi.  

Semoga saja, setelah rezim infrastruktur ini berhasil kemudian dilanjutkan rezim pelayanan publik, yakni tanggung jawab negara adalah mengurus rakyatnya tanpa kecuali, kualitas pelayanan publik meningkat pesat.

Saat ini, empati pada petugas pelayan publik harus tetap dijaga, jangan saling menyalahkan yang justru memperburuk kondisi. Tetap menjaga sikap saling berbagi, sangat membantu kelompok-kelompok yang jatuh lebih dalam akibat pandemi ini.

Pemerintah juga seharusnya menyadari, mereka tidak disiplin dalam melakukan investasi pelayanan publik sehingga jangan menyalahkan masyarakat ketika tidak disiplin mematuhi protokol kesehatan.

Elemen kunci resiliensi pelayanan publik adalah membantu individu dan kelompok masyarakat, yang memiliki paling sedikit alternatif untuk dapat bangkit kembali.

Kelompok dengan ekonomi rentan, anak-anak, perempuan, dan minoritas sangat sulit jika telah terjatuh tanpa bantuan dari negara.

Mari kita evaluasi sedikit kondisi Indonesia saat ini apakah dapat melakukan resiliensi ketika banyak kelompok rentan yang terpinggirkan pada masa sulit ini? Tentu saja jawabannya cukup sulit antara build back better atau build back but worse

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat