Petugas kesehatan melakukan tes usap (swab test) kepada seorang guru di Puskesmas Cimahi Tengah, Kota Cimahi, Rabu (26/8). | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Opini

Keberpihakan Kebijakan

Kepatuhan pada protokol kesehatan, tak dapat ditawar.

HENDARMAN, Kepala Pusat Penguatan Karakter, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pemberian kesempatan bagi daerah zona kuning menyelenggarakan pembelajaran tatap muka, merupakan terobosan lugas dan berani pemerintah. Ini diumumkan pada 7 Agustus 2020  melalui keputusan bersama Penyesuaian Kebijakan Pembelajaran pada Masa Pandemi Covid-19.

Keputusan tersebut seyogianya disambut positif, terutama bagi yang selama ini mengeluhkan pembelajaran dari rumah. Di sisi lain, kebijakan ini perlu diikuti sejumlah proses mitigasi yang mengedepankan tanggung jawab pemerintah daerah dan orang tua.

Prinsip semula dari keputusan bersama pembelajaran pada masa pandemi Covid-19 adalah menempatkan kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai prioritas utama.

Dalam penyesuaian, ditambahkan prinsip baru, yaitu tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial. Prinsip kedua ini diduga sebagai tanggapan terhadap keluhan orang tua yang kesulitan menangani anak-anak selama belajar dari rumah.

 
Prinsip semula dari keputusan bersama pembelajaran pada masa pandemi Covid-19 adalah menempatkan kesehatan dan keselamatan peserta didik.
 
 

Sekaligus, respons terhadap masalah yang dihadapi guru. Guru cenderung fokus pada penuntasan kurikulum. Kemungkinan guru tak memenuhi beban jam mengajar akibat waktu pertemuan tak cukup dan kesulitan komunikasi dengan orang tua sebagai mitra di rumah.

Penyesuaian ini juga mengakomodasi keluhan orang tua. Di antaranya, tak semua orang tua mampu mendampingi anak belajar di rumah karena ada tanggung jawab lain, seperti status bekerja dan urusan rumah, selain kesulitan memahami pelajaran dan memotivasi anak.

Di sisi lain, penyesuaian ini mempertimbangkan kesulitan siswa. Antara lain, konsentrasi belajar dari rumah, beratnya penugasan soal dari guru, peningkatan rasa stres dan jenuh akibat isolasi berkelanjutan. Hal ini berpotensi menimbulkan rasa cemas dan depresi.

Keluhan-keluhan yang muncul bisa jadi karena minimnya komunikasi komponen ekosistem pendidikan. Tidak mulusnya dialog dan sinergi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat dapat diduga menjadi penyebab hal-hal di atas.

Pertanyaannya, apakah pelonggaran pembelajaran tatap muka di zona kuning dapat memastikan orang tua mau bertanggung jawab terhadap berbagai risiko, yang mungkin terjadi bila protokol kesehatan tidak dipatuhi, baik di sekolah maupun di rumah?

Antisipasi pascapembukaan

Pengalaman pembukaan sekolah di sejumlah negara, perlu dipertimbangkan pemda dan sekolah agar kebijakan pembukaan zona kuning, tidak menimbulkan korban seperti di beberapa negara. Mengapa harus pemda dan sekolah?

Sebab, keduanya berwenang memutuskan pembukaan sekolah, bukan tanggung jawab empat kementerian.

 
Kepatuhan pada protokol kesehatan, tak dapat ditawar.
 
 

Denmark, negara pertama di Eropa yang kembali membuka sekolah setelah beberapa bulan tutup. Cara menjaga keamanan yang mereka jalani dengan mencuci tangan secara rutin dalam beberapa jam sekali dan tetap menjaga jarak.

Ini dianggap cukup efektif. Anak-anak langsung bisa beradaptasi, tetapi terkadang lupa menjaga jarak. Karena itu, guru harus memerhatikan saksama pergerakan siswa. Pada 11 Mei 2020, sekolah dan penitipan anak di Prancis kembali buka. Sekitar 1,4 juta anak kembali ke sekolah.

Melansir dari Daily Mail via  Health Grid, setelah dibuka kembali, setidaknya ada 70 kasus Covid-19 yang dilaporkan terdeteksi di sekolah-sekolah. Kasus ini terjadi di penitipan anak dan sekolah dasar di Prancis. Finlandia merasakan hal yang sama setelah membuka sekolah kembali.

Ada 17 siswa dan empat guru yang terpapar virus korona di sekolah menengah yang memiliki 550 siswa itu. Semua siswa yang masuk sekolah saat pandemi dan dinyatakan positif terpapar Covid-19, melakukan karantina di rumah.

Kepatuhan pada protokol kesehatan, tak dapat ditawar. Sekolah harus memastikan ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan, mampu mengakses fasilitas layanan kesehatan, dan bersepakat dengan komite satuan pendidikan terkait pembelajaran tatap muka.

Bukan diwajibkan

Keputusan bersama penyesuaian kebijakan pembelajaran pada masa pandemi Covid-19, merupakan kebijakan yang berpihak. Keberpihakan itu karena mempertimbangkan berbagai keluhan masyarakat serta didasarkan evaluasi yang cukup dapat dipertanggungjawabkan.

Alangkah baiknya, kebijakan ini tak ditolak atau ditunda. Menurut Agustino dalam Dasar-dasar Kebijakan Publik (2008:160), beberapa faktor penentu penolakan atau penundaan kebijakan, bila bertentangan dengan sistem nilai yang ada dan tidak adanya kepastian hukum.

Keberpihakan kebijakan ini dikuatkan fakta, penyesuaian kebijakan tidak dimaknai kewajiban bagi daerah zona hijau dan kuning untuk membuka proses tatap muka. Ini ditunjukkan Provinsi Nusa Tenggara Barat yang meski berstatus zona hijau, tetap menjalankan pembelajaran jarak jauh.

Penyesuaian kebijakan ini juga memberikan otoritas terbesar kepada orang tua untuk membuat keputusan, apakah anaknya masuk sekolah atau tidak. Ini terjadi di beberapa negara. Di Montreal, Kanada, meski sekolah dibuka, masih sedikit murid yang dibolehkan masuk oleh orang tuanya.

Apakah setelah adanya penyesuaian, kebijakan ini dapat meredam orang tua untuk tidak berkeluh kesah dengan berbagai alasan? Apakah para orang tua masih memiliki keraguan untuk menyekolahkan anak-anaknya? 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat