Pemandangan pantai Pulau Kampai | Dok Ery Soedewo

Jalan Jalan

Cerita Pulau Kampai yang Terlupakan

Ada peninggalan sejarah yang menarik dari Pulau Kampai.

Pulau Kampai. Pada abad ke-11 hingga pertengahan abad ke-15, pulau ini berjaya dalam perniagaan. Sayangnya, setelah masa kejayaan berlalu, pulau yang berada di muara Teluk Aru ini seolah terlupakan. Peninggalan zaman kuno di Pulau Kampai baru mendapat perhatian dari para peneliti pada tahun 1974 hingga 1977. Ketika itu Edward McKinnon dan Tengku Lukman melakukan observasi dan mendapatkan sejumlah artefak kuno seperti keramik Cina.

Setelah terlupakan sekitar 33 tahun, jejak kepurbakalaan di pulau yang merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langka, Provinsi Sumatra Utara itu kembali diteliti oleh tim peneliti dari Balai Arkeologi Medan yang dipimpin oleh Ery Soedewo.

Dari hasil temuan tersebut, ada empat besar jenis artefak yang ditemukan di Pulau Kampai, yaitu tembikar kasar sebanyak 12.499 keping, terbikar halus sebanyak 3.222 keping, keramik sebanyak 3.221 keping dan manik-manik berbahan kaca sebanyak 1.797 butir. 

Dan primadona dalam penemuan itu adalah si manik kaca.

Manik-manik kaca yang ditemukan di Pulau Kampai sebagian besar adalah manik-manik monokrom berkadar alumina tinggi yang berasal dari Asia Selatan bagian barat yaitu Gujarat, dan timur laut yaitu Benggala. Sementara sebagian kecil lainnya, terutama manik-manik polikrom berkadar alumina rendah berasa dari kawasan Timur Tengah khususnya Mesir. “Manik-manik kaca memiliki beragam bentuk, ukuran dan warna. Misalnya ada manik kaca silinder polikrom, manik kaca merah tua, kuning, biru, hijau, hitam, putih dan lainnya. Namun yang mendominasi itu adalah manik kuning dan merah tua,” kata Ery dalam satu ajang webinar.

 

 
Manik-manik kaca memiliki beragam bentuk, ukuran dan warna.
Ery Soedewo, kepala tim peneliti Balai Arkeologi Medan
 

Jumlah manik-manik kuning merupakan jenis yang paling banyak jika dibandingkan dengan manik-manik lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian pada 2013, manik-manik kuning selalu muncul di setiap lapisan sehingga dianggap representatif mewakili manik-manik temuan di Pulau Kampai.

Secara relatif, kata Ery, dapat dinyatakan bahwa manik-manik kuning mulai hadir setidaknya di awal abad ke-11. Masa puncak manik-manik jenis kuning tercapai di abad ke-11 hingga 12. Sementara gejala surut manik-manik kuning mulai terlihat setidaknya pada akhir abad ke-12 hingga 13. Ini berdasarkan pada jumlah artefak yang sezaman yakni keramik-keramik Cina. 

Selanjutnya, manik-manik kaca merah tua di Pulau Kampai diperkirakan mulai muncul di awal abad ke-11 dan mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-13 hingga akhir abad ke-14 atau abad ke-15. Kehadiran kedua jenis manik-manik kaca yaitu warna kuning dan merah tua itu menjadi gambaran utuh betapa fluktuatifnya seluruh jenis manik-manik kaca. “Temuan ini tidak hanya mewakili peristiwa tertentu yang terjadi di Pulau Kampai atau kawasan Teluk Aru, namun pada skala lebih luas pasti terkait dengan peristiwa tertentu di kawasan Selat Malaka, bahkan lebih luas lagi dengan pusat-pusat peradaban kuno Asia di Tiongkok dan India,” jelas Ery.

 

Kejayaan yang Memudar

Manik-manik kaca memiliki arti penting bagi Pulau Kampai. Menurut Ery Soedewo, kepala tim peneliti Balai Arkeologi Medan, perbandingan antara jumlah data manik-manik dan luas ekskavasi atau tempat penggalian benda purbakala di Pulau Kampai menggambarkan keberlimpahannya dibandingkan data sejenis dari situs-situs lain di Sumatra Utara.

Menurut Ery, jumlah, ragam dan kualitas manik-manik yang fluktuatif menggambarkan fluktuasi perniagaan di Pulau Kampai sekaligus menjelaskan penyebab keruntuhan dan kejayaan perniagaan kuno di Pulau Kampai.

Bagaimanakah keruntuhan itu terjadi? Kejayaan Pulau Kampai mulai memudar sejak kekuasaan Dinasti Ming yang membatasi pengusaha swasta dalam perdagangan lintas samudera mulai abad ke-15. Ini berakibat pada menurunnya permintaan terhadap produk alam Sumatra.

Ketika itu Tiongkok menilai, masuknya barang-barang mewah dari seberang lautan itu mendorong masyarakatnya menjadi konsumtif. Beberapa jenis barang mewah yang dilarang itu antara lain bahan-bahan wewangian, cula badak, gading dan bulu burung raja udang yang kemungkinan besar didatangkan dari kawasan tropis seperti Teluk Aru.

Peran Kampai dalam perniagaan akhirnya mencapai titik terbawah pada abad ke-16 ketika bandar-bandar lain di Sumatra menjadi tempat dijualnya komoditi ekspor yang dihasilkan oleh Aru. “Aru dan Kampai itu saling terkait. Sehingga keruntuhan itu tidak dapat terelakkan oleh Kampai pada abad ke-16. Bandar-bandar pesaingnya di tempat lain di Sumatra menarik pada pedagang Aru untuk menjual produk alam Aru di bandar-bandar seperti Pasai, Pedir dan Panchur,” kata Ery.

Sejak itulah nama Pulau Kampai mulai sayup terdengar.

photo
Manik-manik batu dari Pulau Kampai - (Dok Ery Soedewo)

 

Wajah Kampai Kini

Saat ini sebagian kawasan Pulau Kampai dimanfaatkan sebagai lahan pertanian seperti sawah maupun perkebunan kelapa sawit dan kelapa. Pulau Kampai sendiri dihuni oleh 1.238 kepala keluarga dengan jumlah penduduk 4.000 jiwa.

Diperlukan moda transportasi air untuk mencapai pulau ini dari pelabuhan Pangkalan Susu, yang terletak di sisi selatan Teluk Aru, selama 45 menit menggunakan perahu bermotor regular maupun carteran hingga mencapai dermaga Pulau Kampai. Situs Pulau Kampai secara administratif masuk dalam wilayah Desa Pulau Kampai, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatra Utara.

Dari hasil penelitiannya, Ery Soedewo mengungkapkan belum dapat digambarkan secara pasti kapan peradaban Pulau Kampai bermula dan mencapai puncak kejayaannya. Namun sebagai kesimpulan sementara, berdasarkan temuan keramik-keramik Cina dari masa Dinasti Song Utara, dia memperkirakan bahwa pemukiman di Pulau Kampai bermula setidaknya pada abad ke-11.

Sumber-sumber historis yang didukung informasi para tetua masyarakat Pulau Kampai memberi kesan bahwa pulau ini masih bertahan sebagai pusat niaga di kawasan Teluk Aru hingga pemerintah kolonial Hindia Belanda membangun pelabuhan minyak hasil pengeboran dari kawasan sekitar Teluk Aru yang meliputi tambang di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu. Sejak saat itulah fokus perhatian masyarakat kawasan Teluk Aru teralihkan oleh masyarakat industri perminyakan di Pangkalan Brandan dan sekitarnya yang berdampak luas secara sosial ekonomi bagi masyarakat setempat.

Menurut para tetua masyarakat Pulau Kampai, jelas Ery, sebelum hadirnya pertambangan minyak bumi di Pangkalan Brandan yang membangun pelabuhannya di Pangkalan Susu, aktivitas perekonomian pulau ini dapat dikatakan ramai.  

Toko-toko yang menjual berbagai kebutuhan warga sekitar Teluk Aru berdiri di sepanjang kawasan Pecinan pulau ini termasuk di antaranya toko emas, toko kain bahkan pernah berdiri satu kilang minuman keras milik pengusaha Tionghoa terkemuka Medan di akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20, yakni Tjong A Fie.

Namun, satu per satu pengusaha itu meninggalkan Pulau Kampai untuk hijrah ke Pangkalan Susu yang lebih menjanjikan kemakmuran. Pengusaha Tionghoa terakhir di Pulau Kampai adalah usahawan kilang belacan (terasi) yang meninggal pada 2012 dan usahanya itu tidak diteruskan lagi oleh istri maupun anaknya lagi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat