Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. | Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO

Opini

Diplomasi Perdamaian pada Masa Pandemi

Perdamaian harus diupayakan, ditumbuhkembangkan, dan terus disemai.

RETNO MARSUDI, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia

Hari ini, 19 Agustus 2020, Kementerian Luar Negeri berumur 75 tahun. Hanya selisih dua hari dari umur bangsa Indonesia yang baru memperingati HUT ke-75.

Bulan Agustus 2020 terbilang istimewa karena bertepatan dengan kembalinya Indonesia memegang presidensi di Dewan Keamanan PBB (DK PBB).

Rekam jejak diplomasi Indonesia, terutama diplomasi perdamaian dan kemanusiaan dalam beberapa tahun terakhir dihargai dunia. Mulai dari isu Afghanistan hingga Rohingya, dari isu Palestina hingga konsep Indo Pasifik.

Tentu, di tengah badai pandemi Covid-19, tantangan pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia tidak semakin ringan, bahkan sebaliknya menjadi semakin sulit. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat menyeret negara-negara rentan kembali ke pusaran konflik.

 
Indonesia meyakini, perdamaian bukan datang begitu saja. Perdamaian harus diupayakan, ditumbuhkembangkan, dan terus disemai.
 
 

Keadaan ini juga diperkeruh situasi geopolitik dan geoekonomi yang semakin tidak pasti. Untuk itu, presidensi Indonesia mengusung tema Advancing Sustainable Peace, memajukan perdamaian yang lestari, khususnya pada masa pandemi.

Indonesia meyakini, perdamaian bukan datang begitu saja. Perdamaian harus diupayakan, ditumbuhkembangkan, dan terus disemai.

Tanpa perdamaian dan keamanan, upaya kita untuk menangani krisis kesehatan dan pemulihan ekonomi pada masa pandemi akan sangat sulit, bahkan mungkin sia-sia.

Tantangan perdamaian dunia

Covid-19 memberikan dimensi baru ancaman pandemi terhadap stabilitas perdamaian dan keamanan dunia, khususnya di wilayah konflik.

Keterbatasan pergerakan semasa pandemi telah mengganggu arus bantuan kemanusiaan, menghambat operasi pemeliharaan perdamaian, dan menunda proses bina damai (sustaining peace).

Sejak Februari hingga saat ini, terdapat penundaan pemilu di 69 negara akibat pandemi. Padahal, pemilu merupakan bagian krusial dalam proses peace building

 
Tantangan perdamaian menjadi semakin besar dengan adanya dinamika hubungan kekuatan besar dunia yang semakin meruncing.
 
 

Covid-19 juga menambah kerentanan penduduk yang berada di tengah konflik. Contohnya, sebanyak 1,4 juta pengungsi yang berada di Jalur Gaza hidup dengan kondisi memprihatinkan. Akses perawatan kesehatan dan pengiriman bantuan kemanusiaan terhambat karena blokade yang disebabkan konflik berkepanjangan.

Sementara itu, teroris dan kelompok bersenjata rawan mengeksploitasi kondisi pandemi untuk meningkatkan serangannya. Pada akhirnya, kegagalan kita mengatasi dampak Covid-19 di wilayah konflik, menambah risiko instabilitas keamanan dan perdamaian dunia.

Pandemi kian mengekspos defisit kepercayaan (trust deficit) antarnegara. Sikap nasionalisme semakin menonjol. Nilai-nilai kolaborasi mulai ditinggalkan. Kepercayaan terhadap kerja sama internasional dan sistem multilateralisme juga semakin menurun. 

Tantangan perdamaian menjadi semakin besar dengan adanya dinamika hubungan kekuatan besar dunia yang semakin meruncing. Rivalitas negara-negara besar tampak pada gagalnya DK PBB merespons pandemi ini secara cepat.

Ini terlihat saat pembahasan resolusi terkait seruan gencatan senjata global (global ceasefire) yang disuarakan oleh sekjen PBB dalam upaya melawan Covid-19.

Akibat dinamika dan perbedaan pandangan di antara anggota DK yang cukup tajam mengenai isu ini, diperlukan waktu kurang lebih empat bulan untuk menyelesaikan rancangan resolusi tersebut sebelum akhirnya diadopsi pada 1 Juli 2020.

 
Indonesia yakin, lingkungan yang kondusif, damai, dan stabil merupakan prasyarat utama memenangkan perang melawan pandemi.
 
 

Seruan gencatan senjata global terbukti relatif menurunkan intensitas konflik di berbagai tempat, tetapi pandemi masih belum akan berakhir dalam waktu dekat. Perlu tanggung jawab bersama masyarakat internasional untuk berkontribusi dan merawat situasi konflik yang ada, agar tidak terseret kembali ke jurang krisis.

Diplomasi perdamaian Indonesia

Di tengah berbagai tantangan di atas, diplomasi perdamaian Indonesia tidak berhenti, bahkan sebaliknya semakin intensif.

Indonesia yakin, lingkungan yang kondusif, damai, dan stabil merupakan prasyarat utama memenangkan perang melawan pandemi. Untuk itu, diplomasi perdamaian Indonesia difokuskan pada beberapa hal.

Pertama, menjaga perdamaian di kawasan. ASEAN berkepentingan menjaga agar kawasan kita tidak menjadi ajang proyeksi kekuatan di antara negara-negara besar. Belakangan ini kita melihat “show of force” yang dapat menciptakan peningkatan ketegangan di Laut Cina Selatan. 

Jika ketegangan di antara kekuatan besar semakin memuncak, tidak tertutup kemungkinan terjadi guncangan lebih dahsyat, yang menyebabkan instabilitas keamanan dan menghambat upaya pemulihan ekonomi usai Covid-19.

Untuk itu, ASEAN harus berperan sentral di kawasan dengan memperkuat kolaborasi dan kerja sama.

Dalam hal ini, Indonesia mengusulkan sebuah “ASEAN Foreign Ministers’ Statement on the Importance of Maintaining Peace and Stability in Southeast Asia” yang telah dikeluarkan pada HUT ke-53 ASEAN, bulan lalu.

 
Dalam open debate yang secara khusus mengangkat tema pandemi dan pemeliharaan perdamaian, Indonesia mengingatkan bahwa perdamaian itu harus terus dipelihara.
 
 

Pernyataan sikap ini menegaskan, interaksi negara-negara besar di kawasan harus sejalan dengan prinsip-prinsip yang disepakati di ASEAN, seperti ZOPFAN, TAC, dan ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP).

Kedua, turut aktif menjaga perdamaian dunia. Indonesia terus mendukung proses perdamaian di berbagai negara walaupun di tengah pandemi, di antaranya di Palestina dan Afghanistan. Indonesia turut menggalang solidaritas global menolak rencana aneksasi wilayah Palestina di Tepi Barat.

Saya sendiri menulis surat kepada hampir 40 menlu negara kunci dan mendorong agar parameter internasional serta solusi dua negara tetap dihormati. Pada saat yang sama, kita membantu dalam meringankan beban penderitaan saudara-saudara kita di Palestina, termasuk melalui ICRC dan UNRWA.

Di Afghanistan, Indonesia menyambut baik dan berkomitmen membantu para pihak untuk memulai kembali perundingan yang Afghan-owned dan Afghan-led, termasuk dalam hal pelibatan perempuan dalam proses perdamaian.

Saat ini, Indonesia bersama Jerman menjadi tim perumus resolusi (pen-holder) untuk isu Afghanistan di DK PBB. Ketiga, optimalisasi peran Indonesia di DK PBB.

Dalam open debate yang secara khusus mengangkat tema pandemi dan pemeliharaan perdamaian, Indonesia mengingatkan bahwa perdamaian itu harus terus dipelihara, bahkan ketika semua perhatian kita terpusat pada penanganan pandemi.

Saya menyerukan agar bina damai dijadikan bagian dari respons komprehensif penanganan pandemi, dengan memanfaatkan sinergi antara seluruh badan PBB dan pemanfaatan dana secara tepat.

Di samping itu, Indonesia juga mengangkat perhatian DK PBB mengenai keterkaitan antara terorisme dan kejahatan transnasional, yang menjadi ancaman keamanan baru melalui sinergi antara penegak hukum, penguatan infrastruktur hukum, dan mekanisme penanggulangan terorisme kawasan.

Saya juga mendorong agar PBB melakukan kajian mendalam terhadap fenomena tersebut.    

Di pengujung keketuaan Indonesia di DK PBB pada akhir bulan ini, saya akan kembali memimpin pembahasan isu Palestina. Saya akan kembali menegaskan dukungan terhadap Palestina untuk mendapatkan hak kedaulatan mereka, sejalan dengan mandat konstitusi Indonesia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat