
Internasional
Jeda Kemanusiaan tak Berdampak, di Gaza
Enam orang kembali meninggal akibat kelaparan di Gaza.
GAZA – Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan bahwa rumah sakit di Gaza telah mencatat kematian enam orang dewasa akibat kelaparan dan kekurangan gizi selama periode pelaporan 24 jam terakhir. Sementara, “jeda kemanusiaan” yang diberlakukan Israel belum berdampak signifikan.
Kematian enam orang dewasa itu tercatat di beberapa rumah sakit di seluruh wilayah. Kematian terbaru ini menjadikan jumlah total kematian akibat kelaparan dan kekurangan gizi di Gaza menjadi 175, termasuk 93 anak-anak. Ini menandai krisis kemanusiaan di Gaza yang terus memburuk di tengah blokade Israel yang mengakibatkan kekurangan makanan dan pasokan medis.
Sejak 2 Maret 2025, pemerintah Israel menutup semua penyeberangan perbatasan dengan Gaza, mencegah masuknya bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan, yang telah mempercepat penyebaran kelaparan di wilayah kantong tersebut.
Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNRWA) sebelumnya memperingatkan bahwa tingkat kekurangan gizi di kalangan anak-anak balita meningkat dua kali lipat antara bulan Maret dan Juni karena blokade yang terus berlanjut.
Organisasi Kesehatan Dunia juga mengkonfirmasi bahwa tingkat kekurangan gizi di Gaza telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, dan menghubungkan hilangnya banyak nyawa dengan pembatasan bantuan yang disengaja. Hampir satu dari lima anak balita di Kota Gaza kini menderita kekurangan gizi akut yang parah, kata badan tersebut.

Pada Ahad, setidaknya empat orang syahid dan beberapa lainnya terluka di dekat pusat distribusi bantuan di poros Netzarim di Jalur Gaza tengah, kata seorang sumber di Rumah Sakit al-Awda kepada Aljazirah Arab. Sembilan orang lagi syahid dalam tembakan Israel di dekat pusat bantuan di utara Rafah di Gaza selatan, kata sumber dari ambulans dan departemen darurat.
Terlepas dari kenyataan bahwa Israel mengklaim jeda kemanusiaan dan setuju untuk membiarkan lebih banyak truk dan bantuan kemanusiaan masuk ke Jalur Gaza, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Koresponden Aljazirah melaporkan warga Palestina tidak melihat adanya perbedaan dari sebelum jeda kemanusiaan diberlakukan Israel.
Sudah beberapa hari berlalu, jumlah truk yang masuk sangat terbatas, Truk-truk tersebut tidak menjangkau kemana pun, baik rumah maupun titik distribusi. Dapur makan panas juga masih belum beroperasi.
Namun setiap hari, warga Palestina meninggal karena kekurangan gizi dan kelaparan, kasus terbaru adalah Atef, seorang warga Palestina berusia 17 tahun.
Di pasar, jarang ada makanan dijual. Apapun yang tersedia sangatlah mahal, dan masyarakat masih terpaksa mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan apapun yang mereka bisa.

Setiap hari, semakin banyak warga Palestina yang ditembak dan dibunuh di dekat lokasi distribusi yang dijalankan oleh GHF yang kontroversial. Warga Palestina mengatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain melihat anak-anak mereka mati di depan mata mereka atau mempertaruhkan nyawa, ditembak atau dilukai demi mendapatkan makanan bagi mereka.
Kantor Media Pemerintah Gaza mengatakan hanya 36 truk bantuan yang memasuki Gaza pada hari Sabtu, jauh di bawah perkiraan PBB yang berjumlah 500 hingga 600 yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari warga.
Sebagian besar truk dijarah sebelum isinya didistribusikan, kantor tersebut menambahkan, menyalahkan Israel karena “secara sistematis dan sengaja” memaksakan “kekacauan keamanan”.
“Kelaparan melanda anak-anak Gaza di tengah keheningan internasional yang memalukan,” kata kantor tersebut dalam sebuah pernyataan, menyerukan “segera pembukaan penyeberangan dan masuknya bantuan dan susu formula dalam jumlah yang cukup”.

Barter
Masyarakat yang tidak memiliki uang tunai di Kota Gaza beralih ke barter, menukar kacang dengan roti dan gula dengan sayur-sayuran.
Hilal Habeer, seorang pemilik tempat pangkas rambut, mengatakan kepada Aljazirah bahwa perekonomian didasarkan pada “pertukaran”.
"Seperti ada yang datang ke salon dan bertanya apakah dia boleh potong rambut dengan imbalan dua potong roti. Masyarakat tidak punya uang dan sampai saat ini gaji sektor publik belum dibayarkan," kata Habeer.
Seperti dilaporkan Aljazirah, di Gaza kelangsungan hidup “bukan hanya soal bantuan, ini tentang apa yang bisa Anda tukar, apa yang bisa Anda jual, dan apa yang Anda lepas”.
Maryam Dawwas, a young girl, is suffering from severe malnutrition due to famine caused by the ongoing Israeli blockade and starvation campaign on Gaza. pic.twitter.com/8vcXJmfkX3 — Quds News Network (QudsNen) August 3, 2025
Menyusul keruntuhan ekonomi akibat perang, warga Palestina di Kota Gaza harus menarik uang dari rekening mereka melalui perantara, namun ada konsekuensinya. Sabre Ahmed, seorang pengungsi Palestina di Kota Gaza, menjelaskan bahwa ada “potongan besar” hampir 40 persen dari jumlah yang ingin mereka tarik.
"Dengan menarik 1.000 shekel (hampir 300 dolar AS), kami akan menerima 600 shekel, yang berarti kurang dari 200 dolar AS. Ketika kami pergi ke pasar, 200 dolar AS tidak cukup untuk membeli dua kilo lentil dan satu kilo tepung. Setiap hari saya membutuhkan sekitar 300 dolar AS untuk membeli kebutuhan pokok. Ini masalah besar," kata Ahmed kepada Aljazirah.
Dengan hanya bermodal 100 shekel, Mariam Hassan menjelaskan bahwa dia tidak bisa membeli apapun di pasar. “Semua pedagang menolak menerima uang ini karena sudah ditempel dan sudah tua. Apa yang harus saya lakukan?” katanya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.