Anak-anak belajar dan mengerjakan tugas sekolah secara daring di serambi Masjid At-Taqwa, Dusun XIV, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Senin (3/8). Masjid At-Taqwa menyediakan internet gratis untuk membantu kegiatan belajar anak-anak yang sekolah SD dan S | Wihdan Hidayat / Republika

Inovasi

Lapang Dada Menyikapi Kesenjangan Digital

Usia menjadi faktor utama generasi tua sulit berpindah ke dunia digital.

Semenjak pandemi bergulir, penggunaan perangkat digital beserta koneksi internetnya terus meluas. Kini, kita sudah mulai terbiasa menghadiri rapat dengan konferensi video, belajar dari jarak jauh, atau menyelesaikan berbagai pekerjaan dari rumah, 

Adaptasi yang dilakukan pun berlangsung kilat. Generasi muda, khususnya milenial, tampaknya tak mengalami kesulitan untuk mengikuti perkembangan. Namun selain itu, masih ada generasi tua yang mengalami kesulitan untuk memiliki kecerdasan digital.

Berdasarkan laporan Penetrasi & Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2018 milik Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), ada 171,17 juta jiwa dari 264,16 juta orang (total populasi penduduk Indonesia-Red) yang menggunakan internet.

Ketua Umum APJII Jamalul Izza  menjelaskan, dari hasil survei beberapa tahun sebelumnya, generasi milenial selalu menduduki jumlah yang cukup tinggi untuk pengguna internet. Apalagi saat ini eranya serba digital dan internet, sehingga mau tidak mau generasi sekarang jauh lebih cepat mengikuti perkembangan yang ada.

Sementara itu, generasi sebelumnya atau generasi analog, Jamalul mengungkapkan, dari sisi usia juga sudah berbeda. “Memang kalau kita lihat kondisi sekarang itu sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya. Yang perlu kita jaga adalah bagaimana menggunakan internet itu untuk hal-hal yang sangat positif,” ujarnya saat dihubungi Republika, beberapa waktu lalu.

Dari survei yang pernah dilakukan oleh APJII, aplikasi yang paling tinggi digunakan oleh generasi milenial adalah penggunaan media sosial, diikuti dengan aplikasi pesan. Selain itu, kebanyakan generasi milenial juga gemar mencari berbagai informasi.

Sedangkan untuk generasi tua, mereka lebih cenderung menggunakan aplikasi berita, dan informasi, misalnya pencarian terkait kesehatan, informasi perjalanan dan pekerjaan bisnis. Kendati demikian, ada pula generasi tua yang menggunakan media sosial, meski penggunaannya tak setinggi para generasi milenial.

Faktor usia memang menjadi faktor utama generasi tua sulit berpindah ke dunia digital. Menurut Jamalul, agak berat untuk menerima ilmu baru di usia tua, meskipun generasi tersebut juga bisa menggunakan gawai. 

Namun, mereka menggunakannya secara sederhana. “Mereka yang penting simpel, yang mereka gunakan kebanyakan adalah yang penting mereka memiliki gadget, bisa buka messenger, aplikasi. Awalnya di situ sih, memang agak lama,” kata Jamalul.

Faktor Keterjangkauan

photo
Sejumlah pelajar SMP N 4 Bawang berada di atas bangunan kamar mandi umum untuk mendapatkan sinyal jaringan internet gratis di Sigemplong, Bawang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (30/7/2020). Saat pandemi COVID-19, pihak SMP N 4 Bawang menerapkan pembelajaran siswa empat jam di ruang kelas dan sisanya di rumah masing-masing, dengan berinisiatif memasang jaringan internet gratis untuk siswa di lima titik dukuh sekitar sekolah dengan tujuan siswa dapat tetap belajar secara daring di tempat tinggal mereka - (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra)

Selain faktor usia, ada pula faktor fasilitas antardaerah yang membuat masyarakat Indonesia memiliki kesenjangan digital. Contohnya, antara Jawa dan Sumatra.

Menurut Jamalul, hal ini sebenarnya menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Terlebih lagi bertepatan dengan momen kemerdekaan Indonesia. 

Karena, semua masyarakat Indonesia berhak mendapatkan hal yang sama. “Mereka harus merasakan hal yang sama juga tidak ada perbedaan antardaerah. Dari situ baru peningkatan dari sisi pembangunan pendidikan dan semuanya,” katanya.

Faktor kultur juga cukup mempengaruhi generasi tua kesulitan bermigrasi ke dunia digital. Ada orang yang menganggap internet itu menyimpan bahaya. 

Menurut Jamalul, para orang tua yang  banyak melihat hal negatif di internet. Namun, memang dalam sebuah kemajuan teknologi ada hal positif dan negatif. 

Ia berpendapat, kita tidak bisa lari dari kemajuan teknologi dan mau tidak mau memang harus bisa mengikutinya. Kalau tidak, kita akan jauh ketinggalan. 

Dari Momentum Hingga Budaya

Banyak hal yang menjadi penyebab jurang kesenjangan digital antar usia begitu terasa. Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati menjelaskan, sebenarnya dinamika antar generasi bukan hal yang baru. Kelompok usia sebelum generasi milenial ketika lahir, mereka belum terpapar dengan teknologi. Itu yang membuat mereka memerlukan upaya yang lebih kuat untuk bisa beradaptasi dengan teknologi.

Sedangkan generasi milenial, mereka tidak perlu diajari untuk menggunakan teknologi. Karena hal tersebut sudah ada ketika mereka lahir. “Generasi sekarang tidak perlu diajari bagaimana menghidupkan handphone lalu mematikan, menyambung bluetooth dan sebagainya, karena bahkan sebelum mereka lahir pun, ibu-ibunya sudah menggunakan,” ujar Devie.

Kemudian, ia melanjutkan, perbedaan ini juga terkait dengan manajemen waktu. Waktu yang dimiliki generasi tua sudah banyak dihabiskan untuk memenuhi aktivitas ekonomi. Untuk hal di luar aktivitas ekonomi tentu saja waktunya menjadi lebh terbatas.

Berbeda dengan anak muda yang masih bersekolah maupun kuliah. Sebagian besar anak yang duduk di bangku sekolah dan perguruan tingga belum memiliki aktivitas lain, seperti bekerja, Sehingga mereka mempunyai waktu luang untuk dapat terus mengeksplorasi teknologi.

Menguasai teknologi juga pastilah membutuhkan ilmu. Hal ini berkaitan dengan manajemen waktu yang sudah disebutkan sebelumnya. Menurut Devie, karena manajemen waktunya sudah sangat padat, generasi analog juga kerap sulit merangkul teknologi yang ada.

Selain itu, masih ada pula faktor budaya yang menjadi faktor sulitnya generasi tua beralih ke dunia digital. “Di budaya kita memang orang tua atau orang yang lebih senior pasti mengharapkan dirinya untuk mendapatkan penghormatan yang lebih. Mereka merasa berada di hierarki yang lebih senior itu, mereka merasa bahwa mereka selalu benar,” ujar Devie.

Dengan demikian, mereka merasa pendapatnya selalu yang terbaik dan selalu didengarkan, padahal ini yang kemudian sering menimbulkan friksi dengan generasi berikutnya. Ia menyebutkan generasi sekarang hidup dalam dunia yang datar

Mereka tidak lagi melihat kepatuhan terhadap senior menjadi sesuatu yang harus mereka jalani. Ini membuat generasi tua semakin sulit mengejar, karena berharap generasi muda bisa bersabar dan memahami mereka, padahal karakternya berbeda.

“Karena merasa, lho saya lebih senior, tidak mungkinlah saya nanya’. Ada semacam harga diri sebagai senior di sini terhadap generasi yang lebih muda dan itu kemudian dalam konteks absorsi atau penyerapan ilmu pengetahuan baru ya tentu akan sedikit menghambat,” Devie mnjelaskan.

Terkait segi aktivitas konsumsi internet, generasi tua dan muda, saat ini sebenarnya sudah sama-sama mengonsumsi internet. Namun tentu saja aplikasi yang lebih advanced digunakan oleh kalangan yang lebih muda.

Kalangan yang lebih senior juga sangat aktif sekarang ini, apalagi yang baru mengenal internet. Sebab, mereka menemukan sesuatu yang baru dan seru. 

Tetapi mereka tidak memiliki keterampialn digital yang diperlukan. Dalam menerima informasi anak muda juga sudah memiliki alarm sendiri untuk memeriksa apakah berita tersebut benar atau hoaks, serta mencari alternatif berita lainnya. 

Sedangkan  orang tua tidak memiliki rasa atau sense, karena mereka baru masuk ke dunia digital. Artinya penggunaan teknologi bukan hal yang asing buat mereka, karena mau tidak mau semua orang harus hidup mengonsumsi teknologi. Hanya saja perbedaannya generasi lebih tua antusiasmenya tinggi tapi tidak dibarengi dengan keterampilan.

Hal ini, diakui Devie, yang kemudian membuat mereka misalnya menjadi lebih mudah terjerumus misalnya dalam pusaran hoaks dibanding generasi muda. 

 
Generasi milenial, mereka tidak perlu diajari untuk menggunakan teknologi karena hal tersebut sudah ada ketika mereka lahir. 
DEVIE RAHMAWATI, Pengamat sosial dari Universitas Indonesia 
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat