Sejumlah pelajar membawa bendera merah putih saat Kirab Merah Putih di Tegal, Jawa Tengah, Senin (17/8/2020) malam. Kirab yang diikuti TNI/Polri, ormas, pelajar, dan santri dalam rangka memeriahkan HUT ke-75 Kemerdekaan RI tersebut bertujuan untuk menyatu | ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Opini

Ibnu Khaldun, Marx, Tan Malaka, dan Kemerdekaan

Kemerdekaan merupakan dambaan setiap bangsa untuk maju dan menyejahterakan rakyatnya.

FADHLY AZHAR

Mahasiswa Doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

Dalam spirit yang kurang lebih hampir mirip dengan tahun kemarin, narasi kemerdekaan ke-75 dengan tagline “Indonesia Maju” mau tidak mau berada dalam lingkup penguatan kapasitas manusia Indonesia. Indonesia yang hari ini berada dalam dua ancaman besar, yaitu religiusitas yang ekstrim dan konservatif serta mengguritanya oligarki seharusnya membutuhkan formulasi yang pas untuk menghadapi dua ancaman tersebut. Dalam tulisan ini, saya mengambil satu ancaman untuk saya ambil sebagai lawan agar fokus. Gurita oligarki. 

Bagaimana cara menghadapinya? Apakah hari ini, kita masih perlu menjadi social justice warrior dadakan, hingga mengingatkan saya pada akhir tahun 98 hingga tahun 2010-an, dimana gadget berusaha perlahan menyuntikkan pengaruhnya ke otak manusia agar shallow hingga hari ini (Carr, 2011). Algoritma keadilan sosial mengalami pergeseran menjadi ujaran kebencian yang sangat tendensius. Namun, algoritma keadilan sosial yang masih pada kultur yang sama pada tahun 90-an hingga 2009, memiliki tempatnya sendiri, walaupun bahasa canggih yang muncul dalam narasi-nya tetap tidak bisa dikonsumsi oleh kaum social justice warrior dadakan.

Masih dalam pertanyaan yang sama, bagaimana cara menghadapinya?, apabila langkah teriakan, aksi massa, agitasi-propaganda anti oligarki belum bisa signifikan untuk menghadapi oligarki yang juga sangat massif. Sementara si kecil keras kepala, kepakaran yang telah mati (Nichols, 2017) mendorong pada runtuhnya otoritas pengetahuan. Para ahli mendadak menjadi kaum yang emosional dan tendensius. Atau ada tawaran lain, yang disebut transformasi keadilan sosial.

Dialektika transformatif

Sebelum berbicara soal transformasi keadilan sosial, maka perlu mengidentifikasi persoalan kebangsaan kita agar mampu menemukan kemerdekaan 100 persen, sebagaimana cita-cita inisiator Republik Indonesia, Sutan Malaka Ibrahim atau dikenal sebagai Ilyas Husein di Filiphina, dalam bukunya Menuju Republik Indonesia Merdeka atau Naar de republiek Indonesia (Malaka, 1924). Buku tersebut adalah komitmen awal kemerdekaan kita sebelum Indonesia Vrije (Moh. Hatta, 1928), atau Mencapai Indonesia Merdeka (Soekarno, 1933). Salah satu gagasan penting dalam buku ini, adalah sistem pengelolaan bangsa dengan efisien.

Setelah mengenal tulisan para tokoh pendiri bangsa jauh sebelum kita merayakan kemerdekaan hingga hari ini, maka kita perlu menyadari bahwa cita-cita pendirian telah selesai, namun yang dibutuhkan adalah transformasi keadilan sosial untuk melawan kolonialisme dari segi tingkah-laku maupun wujud eksploitatif yang paling jelas kadang muncul di depan mata kita.

Identifikasi sebelum melakukan transformasi penting dengan metode manajemen perubahan karya Otto Scharmer yang dikenal sebagai teori U untuk menjelaskan tahapannya. Tahapan dalam teori U tersebut adalah observe, retreat-reflect, and act (observasi, mereflkesikan observasi dan berbuat). Hal ini hamper mirip dengan apa yang sering menjadi agitasi Sutan Malaka Ibrahim, yaitu “terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk”. Distingsinya cuma satu, yaitu Tan Malaka mengagitasikan dalam internalisasi-empiris sedangkan Otto hanya mengagitasikan dalam dialektika-analitik. Hal ini telah dilakukan dalam Madilog (Husen, 1943. Malaka, 1951) sebagai magnum opus jauh sebelum Otto menemukan teori manajemen perubahan. Madilog inilah yang menjadi alur berfikir tokoh bangsa untuk penguatan “Legitimasi Pendirian Republik Indonesia”.

Jauh sebelum Tan Malaka, ada satu tokoh filsuf dari Tunisia menjelaskan bahwa domestikasi ekonomi sangat penting memerdekakan sekelompok manusia melalui langkah politik identitas nasionalistik. Filsuf tersebut adalah Ibnu Khaldun. Penjelasan soal politik identitas nasionalistik dalam melakukan domestikasi ekonomi termaktub dalam permulaan Kitab al-Ibar fi Diwanil Mubtada wal Khabar (1377). Saya yakin betul kesuksesan ekonomi negara selalu terinspirasi dari Ibnu Khaldun yang secara diam-diam diserap oleh Marx (Teori Nilai Lebih) dan Weber (Pertumbuhan Ekonomi). Mark Zuckerberg pun juga tidak bisa lepas dari magnum opus Ibnu Khaldun tadi (Detik, 2016. Republika, 2019).

Transformasi keadilan sosial untuk mencapai kemerdekaan dalam mewujudkan Indonesia maju sejati-nya berawal dari rumusan masalah pada tiga hal. Pertama, bagaimana penguatan domestikasi ekonomi masyarakat Indonesia. Kedua, bagaimana budaya bangsa mampu menggerakkan domestikasi ekonomi masyarakat. Ketiga, bagaimana pendidikan mampu berperan dalam menggerakkan domestikasi ekonomi masyarakat.

Agitasi dan propaganda keadilan sosial tidak selamanya bertumpu pada kritik tendensius semata, tapi harus dilakukan dalam transformasi untuk mewujudkan komitmen nilai kebangsaan kita yang tidak hanya sekedar jargon. Hal ini akan menjawab tiga rumusan masalah di atas. 

Jawaban pertama, penguatan domestikasi ekonomi dilakukan melalui penguatan ekonomi masyarakat bawah dan menengah. Afirmasi jaring pengaman sosial untuk berdaya dalam domestikasi ekonomi terus digalakkan. 

Bagaimana afirmasi tersebut digalakkan? Ini akan menjawab rumusan masalah kedua. Budaya bangsa kita tidak bisa lepas dari religisiutas, kearifan lokal dan solidaritas sosial. Hal ini tentu-nya harus diperkuat melalui lembaga pengetahuan yang akan berperan aktif untuk melakukan transfer-knowledge agar domestikasi ekonomi terus berjalan lancar asalkan dengan spirit nasionalisme kebangsaan yang kuat untuk membentengi diri. 

Penguatan lembaga pengetahuan ini sejati-nya akan menjawab rumusan masalah ketiga, dimana pendidikan penting untuk berperan aktif dalam menguatkan ekonomi masyarakat. Pengetahuan dan kebudayaan tentu dalam konteks alam kearifan Indonesia tidak bisa lepas dari pendidikan masyarakat itu sendiri. Di sinilah, saya akan mengkerucutkan bahwa pendidikan khas ke-indonesiaan yang memiliki nilai religisiutas, kearifan dan pemberdayaan solidaritas sosial untuk domestikasi ekonomi adalah pesantren. Logic frame ini akan membwa kita kepada aksi taktis pesantren vokasional, pesantren maritim, pesantren pertanian dan elit yang nasionalistik tentu akan tergiur untuk bagaimana penguatan soft-skill dilakukan pada pesantren asalkan dengan satu syarat. Jangan kehilangan komitmen kebangsan dan keadilan sosial.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat