Subroto | Daan Yahya/Republika

Narasi

Dilarang Sombong

Pengalaman jurnalis Republika meliput haji.

SUBROTO, Jurnalis Republika

“Jangan kaget ya. Ada kabar tidak mengenakkan,”  suara Pemred Republika Asro Kamal Rokan, di ujung handphone terdengar serius.

“Ada apa Bang ? ,” tanyaku berusaha tenang.

Tak ada jawaban.  Terdengar Asro menarik napas panjang. Seperti berat mengatakan sesuatu.

Hening sejenak. Aku masih berpikir  kabar buruk apa ?  Aku tak merasa berbuat salah.

“Subroto terpilih berangkat haji tahun ini. Hahaha…,” jawab  Asro terkekeh. Ternyata dia memberi kejutan.

 Tentu saja aku kaget. “Alhamdulillah…Serius ini Bang ?”

“Ya, tadi baru pemilihan. Siapkan diri ya.”

Berulang-ulang aku berucap syukur.  Senangnya bakal berangkat haji gratis dari kantor. Fasilitas ONH Plus. Dapat uang saku pula.

Tiap tahun Republika memberangkatkan haji karyawannnya. Jumlahnya bisa 3 hingga 5 orang. Itu masih ditambah lagi dengan dua petugas haji yang bergabung dengan Kementrian Agama. Kadang juga ada undangan dari Pemerintah Arab Saudi. Total yang yang berangkat bisa 5 sampai 10 orang tiap musim haji. 

photo
Jurnalis Republika,Subroto, di depan Masjid Nabawi, Madinah. - (Dok Pribadi)

Musim haji tahun 2004 karyawan Republika yang berangkat haji 16 orang. Jumlah itu paling banyak karena tahun sebelumnya pemberangkatan tertunda. Pelepasan jamaah haji dari redaksi dilakukan oleh Ketua MPR Hidayat Nur Wahid di lantai 4 Republika.

Kendati bukan petugas haji, namun aku tetap melakukan liputan selama di Tanah Suci. Pengalaman meliput ke berbagai daerah dan luar negeri membuat mudah beradaptasi dengan suasana baru di Tanah Suci.

Selama di Madinah, aku sering bepergian sendiri.  Ke pasar, ke masjid, atau menyusuri sudut-sudut Kota Nabi.

Di hotel kami  sekamar berempat. Satu orang sudah tua. Namanya Pak Trisno.  Karena lanjut usia, Pak Trisno sering membuat lambat jika kami bepergian bersama. Itu juga yang membuat aku lebih suka pergi sendiri. Toh aku wartawan. Tak mungkinlah nyasar.

Selesai ibadah di Madinah, kami berangkat ke Makkah.  Tiba di Makkah malam hari. Umrah dilakukan malam itu juga. Rombongan menginap di Hotel Hilton yang langsung berhadapan dengan pelataran Masjidil Haram.

Kami dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Jumlahnya 10 orang, dipimpin seorang mutawif, pelajar Indonesia yang sedang belajar di Arab Saudi. Aku merasa beruntung berada di kelompok yang  hampir semua anggotanya berusia muda. Dan yang paling penting, tak ada Pak Trisno. Dia pasti menyusahkan nanti.

photo
Bersama Pak Trisno (kanan) dan Deddy Mizwar - (Dok Pribadi)

Saat memulai umrah, aku sudah merasa tak nyaman dengan mutawif. Dan lagi umrah berombongan itu rasanya  kurang menyentuh. Diam-diam aku melepaskan diri dari rombongan.  Semua ritual umrah  kujalani sendiri, tak tergantung orang lain, tak tergantung rombongan.

Selesai umrah sekitar pukul 03.00  tak langsung kembali ke hotel. Menunggu waktu Shalat Subuh sambil menjalankan berbagai ibadah. Usai Subuh barulah kembali ke hotel. Gampanglah, letak Hilton persis di depan pintu masuk. 

Tapi aku lupa pintu masuknya yang mana? Ada banyak pintu masuk ke Masjidil Haram. Kucoba mencari jamaah satu kloter. Tak bertemu. Mau telepon tidak bisa.  Tadi sengaja tak membawa handphone dan dompet.  Gampanglah,  keluar masjid saja dulu.  

Masalah mulai timbul,  sandal yang ku simpan  di pintu masuk hilang.  Lupa naruhnya. Terpaksa berjalan tanpa alas kaki.

Sampai di luar Masjidil Haram,  aku memandangi sekeliling, mencari tulisan Hotel Hilton. Semalam, sewaktu keluar hotel,  tak sempat mengamati bentuk bangunannya. 

Tapi tak ada bangunan yang bertuliskan Hilton Hotel. Gampang, tanya saja ke askar (petugas keamanan).  Aku tidak bisa berbahasa Arab, celakanya sang askar tak bisa berbahasa Inggris atau Indonesia. Jadi dengan bahasa isyarat aku tanyakan Hotel Hilton. 

Dia menunjuk arah sebelahnya.“Mustakim.” Kebetulan kata itu aku paham kata itu. Ada dalam Surat Al Fatihah. Artinya lurus. Mengikuti arahannya aku berjalan lurus ke samping mengitari masjid. Mata masih tetap memandangi ke seberang masjid, mencari-cari nama Hotel Hilton.  Tak ada juga.

Aku terus berjalan mengitari Masjid Haram yang luas. Udara dingin pagi menggigit.  Hanya mengenakan kain ihram, terasa sangat dingin  di badan. Kaki serasa membeku tanpa alas kaki.

Mungkin askar tadi salah menunjuk  arah. Aku cari lagi askar di sekitar situ. Dia memberi jawaban yang sama. “Mustakim. ” Ku ikuti lagi petunjuknya. Namun Hotel Hilton tak kunjung ditemukan.

Sudah dua pertiga bagian luar Masjidil Haram dikitari. Kaki sudah berat melangkah. Lelah sudah mendera. Tak tahu harus bagaimana lagi. Bukan hanya kedinginan, perut juga mulai keroncongan. Kepala terasa pusing. Ibadah umrah semalam sangat menguras tenaga.

Dengan kelelahan yang sangat, aku terus berjalan. Sampai akhirnya….kembali ke tempat semula tadi keluar masjid. 

Ya Allah. Aku tekejut bukan main. Sudah mengitari seluruh bagian luar Masjidil Haram dan tak berhasil menemukan Hotel Hilton. Aku tersesat. 

Langsung  aku mengucap istighfar berkali-kali. Hal yang tak mungkin dibayangkan terjadi. Tak tahu jalan pulang ke hotel.

Beberapa saat aku duduk sambil memohon ampun pada Allah atas kesombongan selama ini. Begitu mulai tenang, kucari-cari lagi askar. Petugas yang duduk di pintu masuk sudah berganti.  Aku tanya dia “Hotel Hilton ?” Sambil tetap duduk di kursinya, dengan tanpa suara dia menunjuk dengan tongkatnya. “Hilton.”

Tongkatnya mengarah ke bangunan tinggi menjulang di depannya. Itu bangunan yang pertama kali kulihat waktu keluar dari masjid tadi. Seolah tak percaya aku kembali meyakinkan.”Hotel Hilton ?”

“Hilton..Hilton,” jawab sang askar mengangguk-angguk. 

Ya Allah berarti dari tadi Hotel Hilton ada di depanku.  Buah kesombongan tak bisa menemukannya.

Dengan sisa tenaga  yang ada aku menuju ke hotel tempat menginap selama di Makkah itu. Jadi teringat dengan  Pak Trisno. Aku saja yang masih muda, berpengalaman jalan-jalan kemana-mana bisa tersesat, bagaimana dengan Pak Trisno ?

Di lift hotel saat akan menuju kamar, tiba-tiba suara serak orang tua memanggil dari belakang. “ Mas Broto, kemana saja ? ”  Aku menoleh. Pak Trisno yang dikira akan tersesat justeru sudah mengenakan jas rapi, tersenyum  ke arahku. 

“Kita sudah sarapan dari tadi,” sambungnya.

Aku tak berkata-apa-apa. Ku peluk Pak Trisno.“Saya tersesat Pak. Maafkan saya.”

Tips Meliput Haji

- Siapkan fisik, terutama dengan jalan kaki di pagi hari.

- Pelajari lokasi-lokasi penting di Tanah Suci.

- Kumpulkan informasi yang hendak diliput.

- Bawa bekal uang jika hendak bepergian jauh.

- Belajar percakapan bahasa Arab sederhana.

- Bawa penerjemah jika wawancara berbahasa Arab (jika tak  bisa berhasa Arab).

- Jangan bawa kamera ke dalam masjid (kamera akan disita askar, tapi HP tidak).

- Selalu bawa handpohe jika liputan jauh.

- Jangan terlalu memaksa diri memasuki wilayah yang dilarang.

- Minum  teratur kendati tidak haus .

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat