Pengakuan kedaulatan oleh negara-negara lain memiliki artian yang penting bagi perjuangan nasional Indonesia. Mesir beserta negara-negara Liga Arab menjadi yang mula-mula mengakui kemerdekaan dan kedaulatan RI, baik secara de facto maupun de jure. | DOK ANTARA/Sigid Kurniawan

Tema Utama

Peran Mesir dalam Pengakuan Kedaulatan RI

Ada peranan diplomat Mesir dalam peristiwa pengakuan kedaulatan yang bersejarah itu.

OLEH HASANUL RIZQA

Pada masa revolusi, misi diplomatik Indonesia bertujuan utama menggalang dukungan internasional terhadap kedaulatan republik ini. Sebab, Belanda bersikeras menolak kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Baginya, RI tidak lain hanyalah bentukan Jepang. Sukarno dan Mohammad Hatta --para penandatangan teks proklamasi-- ditudingnya sebagai kolaborator Jepang. Di berbagai forum internasional, Belanda terus berdalih, persoalan Indonesia adalah urusan dalam negerinya.

Kondisi mulai menguntungkan Indonesia sejak Mesir mengakui kemerdekaan RI secara de facto pada 23 Maret 1946. Langkah itu segera diikuti negara-negara anggota Liga Arab seluruhnya. Pengakuan tersebut menjadi landasan utama diplomasi Indonesia dalam memperoleh legitimasi kuat di berbagai forum internasional.

Liga Arab terbentuk sejak 22 Maret 1945. Selain Mesir, negara-negara yang turut mengisinya adalah Arab Saudi, Irak, Transjordan atau Yordania, Lebanon, Suriah, dan Yaman. Tujuannya bukan hanya mempererat ikatan persa habatan antarnegara Arab, melainkan juga menangkal kekuatan zionisme di Palestina.

Negara-negara Liga Arab umumnya mendukung perjuangan dekolonisasi yang dilakukan bangsa-bangsa mayoritas Muslim. Dukungan juga ditujukan kepada Indonesia, negara dengan penduduk sekira 70 juta jiwa dan lebih dari 90 persennya memeluk Islam. Sebelum momen proklamasi RI, hubungan Indonesia dengan Arab terjalin erat berkat jaringan ulama, kaum terpelajar dan mahasiswa nusantara yang menuntut ilmu di Timur Tengah, termasuk Mesir.

Maka begitu kabar kemerdekaan RI tiba, banyak simpati mengalir dari pemuka negeri dan masyarakat Mesir. Suranta Abdur Rahman dalam artikelnya, Diplomasi RI di Mesir dan Negara- negara Arab pada Tahun 1947 (2007), mengatakan, Sekretaris Jenderal Liga Arab 1945-1952 Abdurrahman Azzam Pasya berperan signifikan dalam mengajak negara-negara Arab untuk mendukung perjuangan RI dan mengakui republik di Asia Tenggara itu sebagai negara yang merdeka nan berdaulat.

Diplomat Mesir itu berupaya menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang Indonesia. Ia tahu, Belanda masih mengeklaim republik itu sebagai wilayahnya.

 
Diplomat Mesir itu berupaya menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang Indonesia. Ia tahu, Belanda masih mengeklaim republik itu sebagai wilayahnya.
 
 

Sebagai langkah awal, Azzam Pasya mengusulkan kepada Duta Besar Belanda di Kairo agar bersedia mengirimkan sejumlah wakil Liga Arab ke Hindia Belanda--nama Indonesia saat itu dalam perspektif Belanda. Sekjen Liga Arab tersebut ingin agar otoritas Negeri Kincir Angin dapat menjembatani komunikasi antara pihaknya dengan Presiden Sukarno dan para nasionalis.

Dengan demikian, negara-negara Arab dapat menyaksikan langsung kondisi setempat. Lebih jauh lagi, ia pun hendak menjajaki kemungkinan pendirian konsulat Mesir di sana.

Pihak Kedutaan Besar Belanda agaknya memandang dilematis permintaan Azzam Pasya. Di satu sisi, kehendak sekjen Liga Arab itu dapat dimengerti sebagai upaya melihat persoalan Indonesia secara adil.

Dalam arti, Liga Arab atau Mesir tidak serta merta dipengaruhi opini para ma hasiswa Indonesia di Mesir yang nyata-nyata na sionalis. Namun, di sisi lain, dibolehkannya utus an Liga Arab ke Indonesia juga berisiko bagi Belanda. Boleh jadi, mereka nantinya akan memperkuat diplomasi RI di level internasional.

Kedutaan Besar Belanda di Kairo akhirnya menyampaikan keinginan Azzam Pasya itu ke Den Haag. Akan tetapi, pemerintah Belanda kurang memberikan perhatian atas usulan tersebut. Alasan utamanya, lanjut Suranta, Indonesia masih dianggap sepenuhnya belum merdeka. Para wakil Liga Arab pun tidak memperoleh izin masuk ke Hindia Belanda.

Bagaimanapun, Azzam Pasya tak menyerah. Ia merasa, Liga Arab dan khususnya Mesir memiliki tanggung jawab moral terhadap persaudaraan Muslimin (ukhuwah Islamiyah). Baik Indonesia maupun negara-negara Arab memiliki kesamaan identitas agama (mayoritas), yakni Islam. Tidak mungkin pihaknya berpangku tangan hanya karena Belanda menolak memberikan izin.

photo
Momen pada 10 Juni 1947, ketika Haji Agus Salim selaku ketua misi diplomatik RI di Mesir menandatangani perjanjian persahabatan antara RI dan Mesir. Di sebelah Haji Agus Salim ialah Mahmud Fahmi Nokrasyi Pasya selaku perdana menteri Mesir. Inilah pengakuan de jure pertama bagi RI di dunia internasional - (SLIDEPLAYER)

Misi ke Yogya

Sekjen Liga Arab itu lantas mengutus Konsul Jenderal Mesir di India, Mohammad Abdul Mun'im untuk bertemu langsung dengan para pemimpin RI. Padahal, kala itu seluruh akses masuk ke wilayah Indonesia--baik via darat, laut, maupun udara--diblokade otoritas Negeri Tanah Rendah.

Abdurrahman (AR) Baswedan menceritakan momen itu di dalam artikelnya, Catatan dan Kenangan (buku Seratus Tahun Agus Salim, 1984:141). Pada 13 Maret 1947, Abdul Mun'im berhasil mendarat di Yogyakarta --sejak 1946 ibu kota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.

Dua hari kemudian, diplomat Mesir itu diterima langsung Presiden Sukarno di Istana Negara Yogyakarta. Bung Karno dan para pemimpin bangsa amat gembira dengan kedatangannya yang membawa iktikad baik dari negara-negara Arab untuk mendukung perjuangan Indonesia.

Kepada orang nomor satu di RI itu, Abdul Mun'im menyampaikan hasil keputusan sidang dewan Liga Arab tertanggal 18 November 1946. Isinya menganjurkan negara-negara anggota agar mengakui RI sebagai negara merdeka yang berdaulat.

Sesudah mengikuti shalat Jumat di Masjid Agung Yogyakarta, Abdul Mun'im mengunjungi komunitas keturunan Arab di Indonesia. Dalam kesempatan itu, konjen Mesir tersebut menyatakan kebanggaannya, keturunan Arab ikut berperan serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Sebelum kembali ke India, Abdul Mun'im meminta pemerintah RI agar mengirimkan utusannya ke forum Inter-Asian Relations Conference yang akan diselenggarakan di New Delhi pada Maret-April 1947. Presiden Sukarno menyanggupi permintaan itu. Undangan yang sama sesungguhnya pernah disampaikan Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru kepada Bung Karno sebelumnya.

Pemerintah Indonesia membentuk tim yang terdiri atas Haji Agus Salim (menteri muda urusan luar negeri), AR Baswedan (menteri muda penerangan), Haji Rasjidi (sekretaris jenderal kementerian agama), dan Nazir Datuk Pamoentjak (diplomat). Usai menembus blokade Belanda, dari New Delhi, rombongan tersebut bertolak ke Kairo, Mesir.

Sambutan hangat dirasakan para delegasi RI. Bahkan, kabar kedatangan mereka menjadi berita utama media cetak terbesar di Kairo, Al-Ahram. Halaman satu koran tersebut menampilkan foto para wakil Indonesia yang baru saja tiba di Negeri Piramida.

Para pembesar dan masyarakat Mesir memang sudah mengetahui bagaimana gigihnya perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Informasi yang diperoleh khususnya dari siaran-siaran yang dilancarkan The Arabian Press Board.

Sukses di PBB

Mesir, begitupun dengan Liga Arab, berjasa dalam mengusung topik kemerdekaan RI di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Azzam Pasya sebagai corong Liga Arab terus menyuarakan dukungan bagi RI. Liga Arab juga mengimbau negara-negara anggota PBB agar mengakui kedaulatan Indonesia.

Padahal, menurut Suranta, problem-problem yang diusung Liga Arab sesungguhnya sudah begitu berat. Sebut saja, masalah zionisme di Palestina, krisis Terusan Suez, Sudan, serta kendali protektorat Inggris dan Prancis di kawasan Timur Tengah. Akan tetapi, perhatian pada masalah Indonesia tetap dijadikan sebagai prioritas utama.

Berkat upaya itu, sejak Agustus 1946 masalah Indonesia masuk dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat (AS). Banyak negara menyatakan satu suara terkait masalah Indonesia, termasuk AS, Australia, India, Afghanistan, dan Filipina. Mereka umumnya mengecam agresi militer yang dilancarkan Belanda atas Indonesia.

Belanda kian terdesak. Mau tak mau, dialog harus dibuka. Berbagai perundingan antara RI dan Belanda pun dilakukan dengan pengawasan internasional. Di tengah Agresi Militer Belanda I, Pemerintah Indonesia berhasil menembus blokade musuh. Dengan menumpangi pesawat terbang milik pengusaha India Biju Patnaik, Sutan Sjahrir dapat terbang dari Yogyakarta.

Pada medio Agustus 1947, Sjahrir dan rombongan hadir sebagai wakil RI di sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, AS. Terjadilah perang opini yakni antara delegasi RI dan Belanda di muka sidang PBB.

Pidato Sjahrir ternyata menimbulkan kesan mendalam bagi para diplomat mancanegara, termasuk AS. Mereka semakin yakin, Indonesia memenuhi persyaratan sebagai sebuah negara berdaulat. Dengan demikian, klaim Belanda terbantahkan.

Kesuksesan misi Sjahrir tak lepas dari sokongan Liga Arab, khususnya melalui Azzam Pasya. Sebagai contoh, ketika delegasi RI yang dipimpin Sutan Sjahrir menghadapi kendala keuangan selama berada di New York, diplomat Mesir itu memberikan pinjaman sebesar 20 ribu dolar AS.

Dana itu disampaikan melalui tangan seorang editor surat kabar Mesir, Al-Misry. Lima bulan kemudian, Pemerintah RI mengembalikan uang pinjaman itu. Demikian Suranta mengutip kesaksian menteri dalam negeri kala itu, Mohammad Roem.

 
Mesir, begitu pun dengan Liga Arab, berjasa dalam mengusung topik kemerde kaan RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
 
 

Sampainya Dokumen yang tak Ternilai

 

Cerita berikut ini dituturkan Abdurrahman (AR) Baswedan dalam buku memoar Seratus Tahun Agus Salim (1984). Sesudah kunjungan konsulat jenderal Mesir yang berkantor di Bombay, India, Muhammad Abdul Mun'im, pemerintah RI lantas mengirimkan sejumlah delegasi ke Mesir.

Siasat menghindari blokade Belanda di wilayah udara Indonesia ternyata berhasil. Mission diplomatique Indonesia pun tiba dengan selamat di Kairo. Rombongan itu terdiri atas Haji Agus Salim (menteri muda urusan luar negeri), AR Baswedan (menteri muda penerangan), Haji Rasjidi (sekretaris jenderal kementerian agama), dan Nazir Datuk Pamoentjak (diplomat).

Setelah menunggu sekitar tiga bulan lamanya di Kairo, akhirnya mereka dapat diterima secara resmi oleh Raja Mesir, Farouk. Rangkaian acara disudahi dengan penandatanganan naskah perjanjian persahabatan kedua belah pihak. Itulah pengakuan de jure pertama untuk RI.

 
Rangkaian acara disudahi dengan penandatanganan naskah perjanjian persahabatan kedua belah pihak. Itulah pengakuan de jure pertama untuk RI.
 
 

AR Baswedan mengenang, tim delegasi RI amat bersyukur atas suksesnya misi diplomatik di Kairo. Sebab, Belanda sesungguhnya sudah berupaya keras agar Mesir tidak mengakui kedaulatan RI.

Setelah pertemuan dengan Raja Farouk, Haji Agus Salim merasa perlu untuk segera memulangkan hasil misi ini ke Yogyakarta. Maka, AR Baswedan ditugaskan untuk segera kembali ke Tanah Air.

Saat itu, kenang AR Baswedan, Haji Agus Salim dengan gaya bak seorang jenderal berkata kepadanya, "Bagi saya tidaklah penting apakah Saudara sampai di Tanah Air atau tidak. Yang penting, dokumen-dokumen itu sampai di Indonesia dengan selamat!"

Memang teramat pentinglah naskah perjanjian persahabatan Mesir-RI itu tiba di tangan Presiden Sukarno. Sebab, tanpanya perjuangan Indonesia di ranah diplomasi internasional akan sangat berbeda.

Pesawat yang ditumpangi AR Baswedan bertolak dari Kairo, lalu singgah di Bahrain, Karachi (Pakistan), Kalkuta (India), Rangoon (Myanmar), dan akhirnya Singapura. Tidak ada satu pun dari negeri-negeri itu yang memiliki kantor perwakilan Indonesia.

Bahkan nama Indonesia saja tidak dikenal. "Saya terpaksa main gertak dengan mengaku agen rahasia undangan Nehru, ketika tempat duduk saya akan 'dicatut' untuk orang lain di Kalkuta," ujarnya.

Begitu tiba di Singapura, tak seorang pun menjemputnya. Sementara, bekal hampir habis. Syukurlah, AR Baswedan dibantu Ibrahim Assegaf, seorang dermawan setempat yang bersimpati pada Indonesia.

Dengan budi baiknya, AR Baswedan bisa memperoleh tiket pesawat terbang ke Tanah Air. Dengan menumpangi maskapai udara Belanda KLM, pada 13 Juli 1947 pahlawan nasional itu tiba di Bandara Kemayoran, Jakarta.

Kesulitan lain mengadangnya. Penjagaan polisi militer Belanda begitu ketat. AR Baswedan terus memanjatkan doa dan zikir dalam hati.

Tiba-tiba, ia terbersit ide. Dokumen yang tak ternilai harganya itu diselipkan dalam sepatunya. Saat melewati lorong pemeriksaan, tangan kanan Baswedan menggenggam tasbih, sedangkan tangan kirinya menenteng koper tuanya.

 
Saat melewati lorong pemeriksaan, tangan kanan Baswedan menggenggam tasbih, sedangkan tangan kirinya menenteng koper tuanya.
 
 

Dan, tas usang itu ternyata lolos pengawasan personel keamanan bandara. Begitu pula dengan barang bawaannya yang lain. Langsung saja, AR Baswedan mencari taksi dan meluncur ke rumah Perdana Menteri Amir Syarifuddin.

Pada 19 Juli 1947, ia menghadap Bung Karno di Yogyakarta. Tuntaslah suatu tugas penting yang telah diamanahkan kepadanya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat