Proklamasi RI pada 17 Agustus 1945 bukanlah akhir, melainkan suatu awal dari perjuangan yang tak kalah beratnya, yakni mempertahankan kedaulatan. | DOK REPRO IPPHOS Frans Mendoer

Tema Utama

Solidaritas Arab untuk Kemerdekaan Indonesia

The Arabian Press Board menjadi salah satu pionir penyiaran kabar proklamasi Indonesia.

OLEH HASANUL RIZQA

Indonesia dan negara-negara Arab tak hanya dipertautkan kesamaan agama mayoritas, melainkan juga prinsip antipenjajahan. Selaku negara utama Liga Arab, Mesir menjadi yang pertama mengakui kedaulatan RI. Sejak itu, klaim Belanda bahwa Indonesia masih koloninya diragukan.

Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak serta-merta diakui Belanda. Menjelang kemenangan pasukan Sekutu atas Jepang di gelanggang Perang Dunia II, Belanda telah membentuk Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (Netherlands Indies Civil Administration atau NICA). Tujuannya adalah memulihkan kembali penjajahan atas Indonesia.

Pada 29 September 1945, pihak Sekutu mendarat di Jakarta. Awalnya, pemerintah Indonesia menerima dengan terbuka kedatangan pasukan itu. Sebab, Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang dibentuk Sekutu pada prinsipnya bertujuan membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu di Indonesia. Di samping itu, AFNEI juga hendak mengumpulkan orang Jepang yang masih ada di Tanah Air untuk dipulangkan ke Jepang.

Namun, tindak tanduk AFNEI belakangan menyulut kecurigaan. Sebab, akhirnya terkuak bahwa kehadiran Sekutu telah diiringi Belanda yang ingin meneguhkan NICA. Terlebih lagi, NICA kemudian mempersenjatai bekas tentara Hindia Belanda (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger atau KNIL) yang dibebaskan dari tahanan Jepang.

Di berbagai kota dan daerah, tentara Belanda dan KNIL kerap melakukan provokasi sehingga bentrokan dengan laskar-laskar pejuang dan rakyat Indonesia pun tak terhindarkan.

Masa revolusi pun dimulai. Indonesia tidak hanya melancarkan perlawanan bersenjata terhadap Belanda yang mencaplok satu per satu wilayah Tanah Air. Para pemimpin negeri juga mendayagunakan jalur diplomasi untuk menggalang dukungan dunia internasional.

Pengakuan kedaulatan dari sebanyak-banyaknya negara diperlukan agar Indonesia semakin memiliki daya tawar. Dengan begitu, Belanda tidak lagi bisa mempertahankan klaim bahwa persoalan Indonesia merupakan urusan dalam negerinya.

Adalah negara-negara Arab yang paling awal mengakui kedaulatan Indonesia. Mereka mengetahui berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia melalui radio. Padahal, waktu itu Belanda mengadakan blokade ketat agar tidak ada informasi pro-Indonesia yang keluar dari wilayah Nusantara.

Dalam hal ini, peran seorang tokoh nasional keturunan Arab, Mohammad Asad Shahab (1910-2001), patut dibicarakan. Sebab, dialah yang bertanggung jawab di balik tersebarnya berita penting tersebut khususnya di Asia Barat atau Timur Tengah.

Mona Abaza dalam artikelnya, “M Asad Shahab: A Portrait of an Indonesian Hadrami Who Bridged the Two Worlds”, menuturkan, nama lengkap tokoh ini adalah Sayyid Mohammad Asad Allah bin Ali bin Ahmad bin Abdallah bin al-Hussayn bin Shahab al-Din.

Asad Shahab merupakan seorang jurnalis Indonesia keturunan hadrami. Dalam waktu 18 tahun, lelaki kelahiran Pekojan, Jakarta, itu telah malang melintang di mancanegara, termasuk Arab Saudi dan beberapa negeri Benua Eropa.

Asad berasal dari keluarga ulama-pejuang. Ayahnya, Ali Shahab, merupakan salah seorang perintis organisasi Jam’iyyat Khair yang berdiri pada 1901 di Pekojan. Asad pun turut terlibat aktif dalam pergerakan tersebut sebelum akhirnya menerjunkan diri ke dunia jurnalistik.

The Arabian Press Board

Lima hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Asad Shahab mendirikan The Arabian Press Board (APB) di Jakarta. Melalui buletin-buletin APB, baik yang berbahasa Indonesia, Arab maupun Inggris, ia menyiarkan berita tentang dinamika revolusi Indonesia. Siaran yang dilakukannya menggemakan perjuangan bangsa dan negara dalam melawan penjajahan.

Mengapa ada embel-embel “Arab” dalam nama kantor berita tersebut? Hal itu merupakan suatu siasat agar APB dapat mengelak dari blokade Belanda yang membatasi siaran-siaran dari wilayah Indonesia ke luar negeri.

Berkat aktivitas APB, pemerintah dan masyarakat negara-negara di Timur Tengah mengetahui keadaan yang terjadi di Indonesia, termasuk fakta bahwa Republik Indonesia telah lahir sejak proklamasi tertanggal 17 Agustus 1945. Malahan, koran-koran terbitan Belanda yang bersimpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia acapkali melansir pemberitaan yang disiarkan APB.

Suranta Abdur Rahman dalam artikelnya, “Diplomasi RI di Mesir dan Negara-negara Arab pada Tahun 1947” (2007), menjelaskan, APB menjadi saksi langsung pergerakan kemerdekaan Indonesia. Berita tentang Indonesia disiarkan ke semua negara Arab melalui Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta. Salah satu isi berita APB berkaitan dengan kedatangan “misi Belanda” ke negara-negara Arab untuk menggagalkan diplomasi Indonesia yang beroperasi di sana.

Untuk menangkal propaganda Belanda, APB menggalang semua surat kabar Arab agar menerbitkan berita dengan judul yang bernada (//tone//) negatif terhadap rombongan itu. Di antara judul berita yang tersiar adalah “Rombongan Pengkhianat akan Mengunjungi Negara-Negara Arab”, “Propagandis Belanda”, dan “Pedagang Belanda.”

Pada intinya, semua narasi pemberitaan itu menyiarkan kabar, serombongan propagandis Belanda yang dipimpin Muhammad bin Abdullah Alamudi telah tiba di negeri-negeri Arab untuk melumpuhkan diplomasi RI. Di samping itu, rombongan tersebut juga diketahui menentang pendirian komite penyokong Palestina.

Bagi kaum pergerakan nasional, Alamudi terkenal sebagai sosok yang memusuhi pemerintah Indonesia dan justru bersetia kepada Belanda. Sebagai mata-mata, ia diiringi sejumlah figur lainnya dalam rombongan yang bertolak dari Indonesia ke Mesir.

Di antara mereka adalah Ali Bin Sungkar, Abdul Kadir Audah, Ahmad Martak, dan Zein Bajeber. Misi rahasia mereka bertujuan menggagalkan usaha-usaha diplomasi Indonesia di Timur Tengah. Dalam hal ini, masalah Palestina dijadikan sebagai isu batu loncatan untuk dapat mengadakan pendekatan dengan para pembesar Arab.

APB berjasa dalam membocorkan maksud serta tujuan sesungguhnya Alamudi dan kawan-kawan. Alhasil, publik Mesir dan negara-negara Arab pada umumnya menjadi sadar. Pihak keamanan negara Arab yang akan dikunjungi pun mengantisipasi kedatangan mereka.

 
Berkat aktivitas APB, pemerintah dan masyarakat negara-negara di Timur Tengah mengetahui keadaan yang terjadi di Indonesia.
 
 

Ketika tiba di Kairo, lanjut Suranta, rombongan ini tercengang atas sikap masyarakat setempat yang sangat berlainan dari perkiraan semula. Apalagi, identitas mereka sebagai mata-mata Belanda terkuak melalui pemberitaan di koran-koran lokal.

Dalam kesempatan itu, empat orang dari mata-mata Belanda, selain Alamudi, mencari perlindungan sembari berdalih bahwa mereka bersih dari segala tuduhan yang disiarkan surat-surat kabar Mesir. Mereka mengakui, Alamudi memang seorang propagandis Belanda. Di Arab Saudi, “misi haji dan cita-cita Palestina Alamudi dan kawan-kawan” dapat digagalkan. Mereka pun diusir atas perintah raja Saudi.

Pewartaan yang dilakukan APB juga turut membantu kerja pemerintah Indonesia. Apalagi, waktu itu kondisi Tanah Air sungguh-sungguh sulit dan genting. Indonesia tak hanya menghadapi tekanan dari Belanda, melainkan juga gejolak-gejolak dari dalam negeri.

Pada 1948, misalnya, Partai Komunis Indonesia (PKI) mengadakan pemberontakan di Madiun. APB turut memberitakan peristiwa tersebut dengan menegaskan, para pemimpin komunis yang bertanggung jawab memulai perebutan kekuasaan itu sudah menjadi gila. Sebab, mereka menghasut kekacauan yang menimbulkan korban jiwa dari kalangan rakyat biasa, termasuk ulama dan santri.

Serangan bertubi-tubi dari pihak Belanda memaksa pemerintah untuk memindahkan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1946. Kondisi tak menentu juga berakibat bagi aktivitas penyiaran yang dirintis Asad Shahab itu.

Tentara NICA akhirnya menggerebek kantor APB yang berlokasi di Jalan Gang Tengah Nomor 19—kini kawasan Salemba, Jakarta Pusat. Sejak saat itu, siaran APB dibredel, tetapi perjuangan menyiarkan kabar tak berhenti sampai di situ. Terbukti, APB tetap mengudara dalam menyiarkan berita nasional, baik yang terjadi di Yogyakarta maupun daerah-daerah.

 
Siaran APB dibredel, tetapi perjuangan menyiarkan kabar tak berhenti sampai di situ.
 
 

Bahkan, eksistensinya tetap bertahan sesudah pengakuan kedaulatan Indonesia tahun 1949. Barulah pada 1962, APB bubar dan melebur ke dalam Antara, sedangkan Asad Shahab mulai meninggalkan Indonesia. Waktu itu, rezim Presiden Sukarno sedang dekat dengan PKI, padahal partai berhaluan komunisme itu sudah dikritik habis-habisan golongan nasionalis (tentara) dan Islam, termasuk Asad sendiri.

Sosok yang wafat dalam usia 91 tahun itu banyak menghabiskan waktu di Arab Saudi. Dalam pada itu, ia aktif dalam berbagai forum dan organisasi internasional dengan tetap membawa harum nama Indonesia.

Salah satu jasanya selama di luar negeri ialah memperkenalkan ketokohan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari kepada dunia. Dialah yang pertama kali menulis buku biografi sang pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU) itu. Biografi yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab itu menjadikan kebesaran Kiai Hasyim masyhur di Dunia Arab.

photo
Mohammad Asad Shahab seorang jurnalis Indonesia keturunan Arab berjasa dalam menyiarkan kabar Proklamasi RI 17 Agustus 1945 ke Timur Tengah. Ia mendirikan The Arabian Press Board di Jakarta. - (DOK WIKIPEDIA)

Benih Diplomasi Indonesia-Mesir

Dalam konteks menjelang berakhirnya dan pasca-Perang Dunia II, Mesir memiliki kedudukan yang lebih dominan di antara negara-negara Arab. Pada 1944, Mesir menggalang kekuatan negara-negara Arab untuk bersatu di bawah panji Liga Arab.

Tujuan gerakan tersebut antara lain memerdekakan negara-negara di kawasan Arab yang masih terjajah, serta mencegah berdirinya negara Yahudi di wilayah Palestina.

Terkait perjuangan Indonesia, pada 18 November 1946 keputusan sidang dewan Liga Arab menganjurkan negara-negara anggota agar mengakui Republik Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat. Pemerintah Mesir berjasa dalam mengemukakan hal tersebut.

Hubungan antara Indonesia dan Mesir dapat ditinjau dari jaringan terpelajar Nusantara yang menuntut ilmu di Kairo. Jajat Burhanudin dalam Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017) menjelaskan, setidaknya sejak awal abad ke-20 makin banyak warga Hindia Belanda (nama Indonesia kala itu) yang belajar di Universitas al-Azhar. Masyarakat Arab umumnya menamakan mereka sebagai komunitas Jawi.

Menurut Jajat, berbeda dengan pelajar Jawi di Makkah, komunitas Jawi di Kairo terlibat dalam penerbitan. Majalah al-Ittihad naik cetak pertama kali pada 31 Oktober 1912. Inilah majalah berbahasa Melayu pertama yang pernah terbit di Timur Tengah.

Suranta Abdur Rahman (2007) mengungkapkan, hubungan resmi antara Indonesia dan Mesir terjadi sejak 14 September 1923. Waktu itu, pemerintah Mesir memberikan surat izin resmi kepada pelajar Indonesia untuk mendirikan sebuah perhimpunan yang bergerak dalam bidang sosial dan politis.

Bahkan, mereka juga diperbolehkan untuk menerbitkan majalah-majalah pergerakan antipenjajahan, seperti Seruan al-Azhar, Pilihan Timur, Merdeka, dan Usaha Pemuda.

Pada 1923 pula, para pelajar Indonesia di Mesir membentuk Jam’iyah Chairiyah (Perkumpulan Kebajikan). Organisasi itu lantas berubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia Raya pada 1933. Lima tahun kemudian, namanya berganti lagi menjadi Perhimpunan Pemuda Indonesia-Malaya (Perpindom). Ismail Banda, seorang figur kelahiran Medan, Sumatra Utara, menjadi ketuanya.

 
Pada 1923 pula, para pelajar Indonesia di Mesir membentuk Jam’iyah Chairiyah (Perkumpulan Kebajikan).
 
 

Menurut Suranta, kebangkitan nasionalisme Indonesia di kalangan pelajar dan mahasiwa Indonesia di Mesir disebabkan kuatnya pengaruh nasionalisme Arab. Selain itu, gerakan reformasi Islam yang digagas Jamaluddin al-Afghani dan Mohammad Abduh juga menumbuhkan semangat juang demikian.

Propaganda kemerdekaan tidak hanya dilakukan di Mesir, melainkan semua negara Arab dan bahkan Eropa. Pada 1926, ketua Jam’iyah Chairiyah cabang al-Azhar, Janan Thaib, diutus ke Belanda untuk menemui Mohammad Hatta selaku ketua Perhimpunan Indonesia. Kunjungan itu dilakukan dalam rangka meningkatkan koordinasi perjuangan Indonesia di luar negeri.

Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 pun sampai ke Mesir. Sejak itu, para pelajar dan mahasiswa Indonesia berusaha menciptakan kebebasan de facto warga Indonesia di luar negeri agar lepas dari “perwalian” Belanda.

Di Mesir, Kedutaan Belanda berusaha memengaruhi mahasiswa al-Azhar asal Indonesia agar mau menerima bantuan keuangan. Tak lama kemudian, kaum terpelajar itu menggelar protes di depan kantor Kedutaan Belanda di Kairo. Tak hanya menolak bantuan, mereka juga membakar paspor Hindia Belanda yang dikeluarkan pemerintah Belanda sebagai aksi simbolis penegasan kedaulatan RI.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat