Cerpen Jejak Lelaku Mbah Karso | Daan Yahya/Republika

Sastra

Jejak Lelaku Mbah Karso

Cerpen Darju Prasetya

Oleh DARJU PRASETYA

 

Senja mulai merangkak turun di sepanjang jalur Pantura. Semburat jingga memantul di permukaan laut yang berkilau keemasan. Aku menghentikan motorku di tepi jalan, tepat di sebuah warung kopi sederhana yang menghadap ke arah pantai. Sudah menjadi kebiasaanku untuk berhenti di sini setiap kali melakukan perjalanan pulang dari Semarang menuju Cirebon.

Di tengah hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang, sosok itu kembali muncul. Seorang lelaki setengah baya dengan pakaian serba hitam, ikat kepala yang sudah lusuh, dan sandal jepit yang tampak aus. Di pundak kanannya tersampir kantong plastik yang terlihat tidak terlalu penuh, sementara tangan kirinya menggenggam tongkat kayu yang tampak mengkilap karena terlalu sering digunakan.

Ini bukan kali pertama aku melihatnya. Selama dua tahun terakhir, hampir setiap minggu aku berpapasan dengannya di berbagai titik sepanjang Pantura. Kadang di sekitar Weleri, terkadang di Pekalongan, atau bahkan hingga ke arah Tegal. Sosoknya selalu sama - berjalan tenang dengan tatapan lurus ke depan, seolah tak peduli dengan deru kendaraan yang melintas di sampingnya.

"Pak, kopi hitam satu," pesanku pada pemilik warung sambil tetap mengamati sosok misterius itu dari kejauhan.

"Siapa bapak yang di sana itu, Pak?" tanyaku pada si pemilik warung yang sedang menyeduh kopi.

"Oh, Mbah Karso maksudnya? Sudah bertahun-tahun beliau lewat sini. Tiap hari, jam segini pasti lewat," jawab pemilik warung sambil meletakkan secangkir kopi panas di hadapanku.

"Mbah Karso? Apa yang beliau lakukan?"

Si pemilik warung tersenyum penuh arti. "Lelaku, Mas. Tirakat. Sudah hampir sepuluh tahun beliau jalani ritual ini. Dari Demak sampai Cirebon, pulang-pergi dengan jalan kaki."

Aku terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja kudengar. Sepuluh tahun? Berjalan kaki sejauh itu? Setiap hari?

"Apa yang membuat beliau melakukan hal seperti itu?" tanyaku penasaran.

"Ceritanya panjang, Mas. Dulu beliau ini pengusaha sukses di Semarang. Punya pabrik tekstil besar. Tapi semuanya hancur dalam semalam. Istrinya meninggal karena kanker, pabriknya terbakar, dan putra tunggalnya menghilang entah kemana. Sejak saat itu, Mbah Karso memutuskan untuk meninggalkan semuanya dan memulai perjalanan spiritualnya."

Aku menyesap kopiku perlahan, sementara mataku tetap mengikuti sosok Mbah Karso yang semakin menjauh. Ada sesuatu yang menggetarkan hatiku melihat keteguhan lelaki tua itu.

"Boleh saya tahu lebih banyak tentang beliau?" tanyaku lagi.

Si pemilik warung, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Pak Suryo, mulai bercerita lebih detail. Ternyata Mbah Karso memiliki rutinitas yang sangat teratur. Setiap pagi, tepat pukul lima, beliau memulai perjalanannya dari sebuah mushola kecil di pinggir Demak. Berjalan kaki menyusuri Pantura, berhenti di beberapa tempat untuk beristirahat dan berdoa, hingga akhirnya mencapai Cirebon menjelang malam. Keesokan harinya, beliau akan kembali ke Demak dengan rute yang sama.

"Yang membuat saya kagum, Mas," lanjut Pak Suryo, "Mbah Karso tidak pernah meminta-minta selama perjalanannya. Di kantong plastik itu hanya ada Al-Quran kecil, beberapa potong pakaian, dan sedikit bekal. Kalau ada yang memberi, ya diterima. Kalau tidak ada, ya tidak apa-apa."

Cerita tentang Mbah Karso terus mengusik pikiranku. Beberapa hari kemudian, aku sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya, berharap bisa bertemu dan berbicara langsung dengan beliau. Dan keberuntungan berpihak padaku. Di sebuah warung nasi di daerah Weleri, aku melihat Mbah Karso sedang beristirahat.

Dengan hati berdebar, aku memberanikan diri mendekati beliau. "Permisi, Mbah. Boleh saya duduk di sini?"

Mbah Karso mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata yang teduh namun penuh wibawa. Beliau mengangguk pelan.

"Saya sering melihat Mbah di sepanjang Pantura ini," ujarku membuka percakapan. "Boleh saya tahu apa yang membuat Mbah melakukan perjalanan ini?"

Untuk beberapa saat, Mbah Karso hanya diam. Kemudian dengan suara yang dalam dan tenang, beliau mulai bercerita.

"Nak, hidup ini seperti perjalanan panjang. Ada yang memilih naik kendaraan mewah, ada yang berjalan kaki. Ada yang mencari keramaian, ada yang memilih kesunyian. Saya memilih jalan ini bukan karena terpaksa, tapi karena di sinilah saya menemukan kedamaian."

Beliau berhenti sejenak, menyesap teh hangatnya sebelum melanjutkan. "Dulu saya pikir kesuksesan adalah segalanya. Uang, jabatan, pengakuan orang lain. Tapi ketika semuanya hilang dalam sekejap, saya sadar bahwa ada hal yang lebih berharga dari itu semua."

"Apa itu, Mbah?" tanyaku penasaran.

"Ketenangan hati, Nak. Kedamaian jiwa. Di tengah perjalanan ini, saya belajar untuk melepaskan, untuk menerima, untuk bersyukur. Setiap langkah adalah doa, setiap nafas adalah pengingat akan kebesaran-Nya."

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata bijak yang baru saja kudengar. Mbah Karso melanjutkan, "Banyak orang mengira saya sedang menghukum diri atau melarikan diri dari masalah. Padahal justru dalam perjalanan ini saya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menghantui."

"Jawaban seperti apa, Mbah?"

"Bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada apa yang kita miliki, tapi pada apa yang kita lepaskan. Bahwa kedamaian tidak ditemukan dalam keramaian, tapi dalam kesunyian hati. Dan yang terpenting, bahwa hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam penyesalan dan dendam."

Percakapan kami berlanjut hingga matahari mulai meninggi. Mbah Karso bercerita tentang berbagai pengalaman spiritualnya selama melakukan lelaku, tentang orang-orang yang ditemuinya, tentang pelajaran hidup yang didapatkannya.

"Nak," kata beliau sebelum kami berpisah, "jangan pernah takut untuk memilih jalan yang berbeda. Terkadang, justru di jalan yang sepi itulah kita menemukan diri kita yang sejati."

Sejak pertemuan itu, aku mulai memahami makna yang lebih dalam dari perjalanan spiritual Mbah Karso. Ini bukan sekadar ritual atau pelarian, tapi sebuah pencarian - pencarian akan makna hidup yang sejati, akan kedamaian yang hakiki.

Setiap kali aku melihat sosoknya di kejauhan, berjalan tenang di tengah hiruk pikuk Pantura, aku teringat akan kata-katanya. Tentang keberanian untuk memilih jalan yang berbeda, tentang kekuatan untuk melepaskan, dan tentang kebijaksanaan untuk menerima.

Minggu-minggu berikutnya, aku sering menyempatkan diri untuk berhenti dan berbincang dengan Mbah Karso. Kadang hanya sekadar mengobrol ringan, kadang mendiskusikan hal-hal yang lebih dalam. Dari beliau, aku belajar bahwa kesederhanaan bukan berarti kemiskinan, kesendirian bukan berarti kesepian, dan penderitaan bukan berarti kekalahan.

"Setiap orang punya jalannya sendiri, Nak," kata beliau suatu hari. "Yang penting bukan seberapa jauh kita berjalan, tapi seberapa dalam kita menghayati setiap langkah."

Suatu hari, ketika aku kembali ke warung Pak Suryo, aku mendapat kabar mengejutkan. Mbah Karso telah meninggal dunia, tepat di tengah perjalanan lelakunya. Beliau ditemukan dalam posisi bersujud di sebuah mushola kecil di pinggir Pantura.

"Beliau pergi dengan cara yang damai," kata Pak Suryo. "Seperti yang selalu beliau inginkan - di tengah perjalanan, dalam kesunyian, dan dalam keadaan bersujud kepada-Nya."

Berita tentang kepergian Mbah Karso menyebar dengan cepat di sepanjang Pantura. Para pedagang, sopir truk, dan warga setempat yang selama ini mengenal beliau berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. Mereka bercerita tentang kebaikan dan kebijaksanaan Mbah Karso, tentang bagaimana sosoknya telah menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Kini, setiap kali aku melewati Pantura, aku selalu teringat akan sosok Mbah Karso. Meski beliau telah tiada, jejak spiritualnya masih terasa kuat di sepanjang jalan ini. Seolah-olah setiap hembusan angin pantai membawa bisikan kebijaksanaannya, setiap deburan ombak menyimpan cerita tentang perjalanan sucinya.

Lelaku Mbah Karso mungkin telah berakhir, tapi pelajaran yang ditinggalkannya akan terus hidup. Tentang keberanian untuk memilih jalan yang berbeda, tentang kekuatan untuk bertahan dalam kesederhanaan, dan tentang kebijaksanaan untuk menemukan kedamaian dalam kesunyian.

Di tengah modernitas yang semakin menggerus nilai-nilai spiritual, kisah Mbah Karso mengingatkan kita bahwa ada hal-hal yang lebih berharga dari sekadar kesuksesan material. Bahwa kadang kita perlu melambatkan langkah, menyepi sejenak, dan mendengarkan bisikan hati untuk menemukan makna hidup yang sejati.

Dan mungkin itulah esensi dari lelaku - sebuah perjalanan spiritual yang tidak diukur dari jauhnya jarak yang ditempuh, tapi dari dalamnya pemahaman yang diperoleh. Sebuah pencarian yang tidak berakhir pada destinasi fisik, tapi pada pencerahan jiwa.

Setiap kali aku melihat matahari terbenam di Pantura, aku membayangkan Mbah Karso masih ada di sana, berjalan tenang dengan pakaian hitamnya, membawa tongkat dan kantong plastiknya, melanjutkan lelaku abadi menuju kedamaian yang hakiki.

Darju Prasetya  lahir di Tuban Jawa Timur. Karya-karyanya baik esai, cerpen, puisi, artikel telah banyak dimuat di berbagai media baik cetak maupun online. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat