Pekerja menunjukkan kalung antivirus hasil pengolahan laboratorium nano teknologi di Balitbangtan, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Cimanggu, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (7/7). | ARIF FIRMANSYAHANTARA

Opini

Pseudosains Kala Pandemi

Munculnya fenomena pseudosains di era pandemi Covid-19 merupakan hal lumrah.

YORDAN KHAEDIR, Dosen Histologi FKUI, Doktor Imunologi, Jepang

Munculnya fenomena pseudosains di era pandemi Covid-19 merupakan hal lumrah dan terkadang dibuat atau didukung kekuatan politik (Marchal, et al 2020).

Penyebaran pseudosains bisa dianalogikan sebagai intellectual coronavirus. Sains semu dengan mudah menyebar dan merugikan.

Antara lain, karena masih adanya ketidakpastian sains tentang pemahaman manusia terhadap karakteristik virus SARS-CoV-2, penyakit dan komplikasi yang ditimbulkannya, hingga terapi preventif kuratif yang tepat untuk mengeradikasi Covid-19.

Besarnya gelombang pseudosains, risiko, biaya yang ditimbulkan, serta interkoneksi global menjadikan WHO memberikan istilah infodemik, yakni gambaran ledakan disinformasi yang perlu ditanggapi serius sebagai bagian respons pandemi Covid-19.

Istilah pseudosains, pertama kali muncul pada 1800-an, kombinasi dari bahasa Yunani, pseudo, yang berarti semu atau palsu, dan bahasa Latin scientia, yang berarti pengetahuan.

 
Pseudosains memiliki konotasi negatif karena sering menunjukkan objek yang mendapat label ini digambarkan sebagai suatu yang tak akurat, tidak valid, dan berujung tidak dipercayanya sebagai ilmu pengetahuan.
 
 

Pseudosains memiliki konotasi negatif karena sering menunjukkan objek yang mendapat label ini digambarkan sebagai suatu yang tak akurat, tidak valid, dan berujung tidak dipercayanya sebagai ilmu pengetahuan.

Pseudosains juga dapat didefinisikan kumpulan kepercayaan dan praktik yang salah tanpa dilandasi alur metode ilmiah yang benar (Cover JA, 1998). Filsuf Karl Popper mengklasifikasi pseudosains sebagai demarkasi good science dan bad science.

Dalam praktik dunia kedokteran, pseudosains sering disebut quackery. Konsep evidence based medicine (EBM) terkini merupakan standar tertinggi dalam pelayanan kesehatan, termasuk ketika menentukan pemberian terapi pasien.

EBM menyediakan bukti ilmiah relevan dengan masalah klinik yang dihadapi, terutama berupa hasil metaanalisis, review sistematik, dan randomized double blind controlled clinical trial (RCT). Pseudosains tak menggunakan kaidah ilmiah yang semestinya.

Beberapa kekeliruan metode ilmiah pada pseudosains, pertama, adanya pengambilan kesimpulan yang cenderung instan dan tak melewati fase uji preklinis dan uji klinis yang benar dan tepat.

Ironisnya, sering kali pengambilan kesimpulan bahkan hanya berdasarkan testimoni responden dan informasi anekdotal yang subjektif. Kedua, pseudosains tidak melewati tahapan peer review dan publikasi ilmiah yang baik dan benar.

Sehingga, tahap pengujian hipotesis yang objektif dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah tak terjadi. Ketiga, lemahnya konektivitas antara teori ilmu dasar dan terapan sehingga metode yang digunakan tak bisa direplikasi dengan hasil konsisten.

 
Terapi suportif bisa diterapkan sejauh tak dijadikan terapi utama dan tak berefek samping yang berbahaya bagi pasien.
 
 

Pseudosains Covid-19

Banyaknya isu dan perdebatan yang dipicu Covid-19 memberikan lahan subur bagi teori pseudosains dan teori konspirasi lebih mudah berkembang dan menyebar luas (Marchal et al, 2020).

Pajanan infeksi Covid-19, dengan sebagian besar pasien sembuh dan bertahan hidup, hal yang diinginkan promotor pseudosains karena dapat mengaitkan pemulihan alami semacam itu dengan pseudo-treatment (pengobatan semu) yang mereka tawarkan.

Sebagai contoh, di awal pandemi, Madagaskar mengumumkan penemuan obat ramuan para herbalis mereka yang diyakini mampu membasmi Covid-19, meskipun kandungan obat dan protokol pembuatan serta pengujiannya belum diketahui pasti.

Efek pseudosains mencatat, beberapa pemimpin dunia yang hampir tak mengenal profesi kesehatan, seperti Presiden AS Donald Trump, merekomendasikan obat seperti klorokuin yang dianggap regimen spesifik antivirus untuk mencegah dan mengobati pasien Covid-19.

Klaim antivirus di Indonesia seperti penggunaan eukaliptus beberapa waktu lalu oleh Kementerian Pertanian, penemuan kombinasi obat-obatan baru, dan obat-obatan herbal antivirus sampai cairan antibodi anti-Covid-19, menimbulkan polemik.

 
Sampai saat ini, belum ada terapi yang terbukti secara ilmiah efektif dan spesifik terhadap virus SARS-CoV-2 dan mendapatkan persetujuan FDA AS sebagai terapi definitif Covid-19.
 
 

Klaim ceroboh dan cederung menyesatkan ini, sebaiknya disikapi bijaksana agar tidak merugikan masyarakat. Eukaliptus, bisa digunakan sebagai salah satu terapi alternatif, menggunakan bahan dasar alam dan diduga memiliki efek medis bersifat suportif.

Terapi suportif bisa diterapkan sejauh tak dijadikan terapi utama dan tak berefek samping yang berbahaya bagi pasien.

Hipotesis terkait eucalyptus maupun ramuan herbal lain, perlu diuji dengan metode ilmiah yang benar, melalui proses peer review, dan dipublikasikan secara terbuka dalam forum ilmiah.

Sampai saat ini, belum ada terapi yang terbukti secara ilmiah efektif dan spesifik terhadap virus SARS-CoV-2 dan mendapatkan persetujuan FDA AS sebagai terapi definitif Covid-19. Namun, bukan berarti tidak ada obat yang bisa digunakan pada Covid-19.

Agar tidak terjebak pseudosains ada dua hal yang perlu menjadi catatan penting. Pertama, berhenti menoleransi dan melegitimasi praktik pseudosains terutama pada institusi akademik (universitas) dan layanan kesehatan.

Kedua, peran peneliti yang jujur dan objektif dalam menyampaikan hasil penelitian, serta tetap kritis menyikapi klaim atau penemuan baru terkait Covid-19. Ketiga, perlu tindakan tegas terhadap para penyebar hoaks dan infodemik. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat