Patung buatan Rowan Gillespie di St Stephen's Green Park, Dublin, Irlandia, dibangun untuk mengenang Tragedi Kelaparan Hebat tahun 1845-1852. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Mala Menghantam Irlandia di Era Kesultanan Utsmaniyah

Wabah kelaparan di Irlandia 1845-1849 tak hanya dipicu gagal panen.

OLEH HASANUL RIZQA

Urusan kemanusiaan melintasi identitas agama dan bangsa. Atas dasar itu, Kekhalifahan Utsmaniyah merasa terpanggil. Meski sempat dicegah, Sultan Abdul Mejid I berhasil menolong masyarakat Irlandia yang didera kelaparan hebat pada 1847. Budi baiknya dikenang hingga kini.

 

Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia. Ketersediaan dan keterjangkauan pangan sering kali menjadi tolok ukur stabilitas sosial. Hanya ketika keduanya terpenuhi, masyarakat dapat hidup tenteram dan produktif.

Krisis pangan merupakan momok yang menghantui manusia di sepanjang sejarah. Sejumlah peradaban dunia telah menjadi saksi bagaimana jutaan orang menemui ajalnya karena kekurangan pangan.

Sarjana Inggris dari abad ke-18, Thomas Robert Malthus, mengaitkan problem pangan dengan peningkatan populasi. Menurut dia, laju pertambahan penduduk meningkat berdasarkan deret ukur, sedangkan produksi pangan berdasarkan deret hitung.

Deret ukur berarti peningkatan dengan kelipatan, yakni 1, 2, 4, 8, dan seterusnya. Adapun deret hitung menjelaskan peningkatan dengan variabel penambah 1 (satu), yaitu 1, 2, 3, 4, dan seterusnya. Artinya, pertambahan penduduk akan selalu melampaui jumlah pangan yang dihasilkan dalam suatu masa.

Teori Malthus menyiratkan, generasi mendatang menghadapi persoalan yang lebih serius dibandingkan generasi sebelumnya. Oleh karena itu, ia meyakini, laju pertumbuhan penduduk perlu ditekan. Bila tidak demikian, suatu saat sumber daya alam akan habis sehingga memunculkan krisis pangan.

Jika berlangsung dalam jangka waktu lama, kerawanan pangan berpeluang menjadi wabah kelaparan (famine). Agak berbeda dari Malthus, seorang ahli ekonomi modern Amartya Sen beranggapan, kelaparan tidak selalu dipicu masalah kekurangan atau kelangkaan pangan. Acap kali, bencana itu disebabkan adanya ketidakadilan dalam hal akses masyarakat terhadap pangan.

Dalam Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation (1981), peraih Hadiah Nobel Ekonomi 1998 itu mencontohkan wabah kelaparan di Bengal, India. Peristiwa yang merenggut nyawa dua juta orang itu terjadi pada 1943-1944.

Menurut dia, suplai bahan makanan di India sesungguhnya mencukupi semua orang pada waktu itu. Akan tetapi, hambatan terjadi sejak beberapa kelompok masyarakat, utamanya kaum buruh perdesaan, kehilangan pekerjaannya. Mereka lantas tidak mampu lagi untuk membeli bahan makanan pokok.

Ia pun berkesimpulan, kelaparan bukanlah selalu tentang ketiadaan atau krisis pangan, melainkan cerminan ketidakmampuan individu atau sekelompok masyarakat untuk memiliki cukup makanan. Bahkan, lanjut Sen, dalam banyak kasus wabah kelaparan, pasokan bahan makanan di negara yang mengalaminya justru berlimpah. Yang jadi persoalan ialah, keberlimpahan itu tak dapat diakses oleh banyak orang.

 
Kelaparan bukanlah selalu tentang ketiadaan atau krisis pangan, melainkan cerminan ketidakmampuan individu atau sekelompok masyarakat untuk memiliki cukup makanan.
AMARTYA SEN
 

 

The Great Irish Famine

Salah satu negeri yang pernah dilanda wabah kelaparan hebat ialah Irlandia. Alih-alih teori Malthus, pemikiran Sen lebih mampu menjelaskan The Great Irish Famine. Sebab, ada faktor kekeliruan kebijakan yang turut memperburuk nasib korban tragedi dari abad ke-19 itu.

Memang, musibah tersebut diawali dengan serangan hama yang menyebabkan banyak perkebunan kentang mengalami gagal panen. Namun, imbas bencana “alam” itu diperparah lagi dengan penerapan kebijakan yang salah oleh rezim setempat. Alhasil, lebih dari satu juta orang Irlandia kehilangan akses terhadap bahan makanan pokok mereka.

Pada 1800-an, Irlandia termasuk daerah kekuasaan Britania Raya. Ratu Inggris menunjuk seorang gubernur untuk memimpin wilayah tersebut. Aturan yang berlaku kala itu membolehkan daerah-daerah bagian United Kingdom of Great Britain and Ireland untuk mengirimkan wakil. Sebanyak 105 orang legislator dan 28 senator mewakili rakyat Irlandia di parlemen dan senat di pusat.

Kelihatannya saja mayoritas masyarakat Irlandia menikmati keterwakilan. Faktanya, para wakil yang terpilih umumnya berasal dari kalangan tuan tanah dan bangsawan keturunan Inggris. Para legislator dan senator itu pun lebih sering menyuarakan kepentingan diri dan golongannya, alih-alih rakyat Irlandia kebanyakan.

Pemerintah pusat juga menjalankan politik identitas. Britania Raya menganut agama Protestan, sedangkan mayoritas warga Irlandia memeluk Katolik. Dan, rezim pusat kala itu cenderung menindas kebebasan umat non-Protestan.

Berdasarkan aturan Penal Laws, siapa pun orang Irlandia yang beragama Katolik dilarang memiliki lahan. Mereka yang terlanjur mempunyai tanah tidak dibolehkan untuk menyewakannya. Orang Katolik juga dicegah haknya untuk memilih wakil di parlemen.

Hampir seluruh ketentuan dalam Penal Laws akhirnya dibatalkan pada 1829—sekitar 16 tahun sebelum wabah kelaparan menyeruak. Namun, efek beleid itu tetap saja terasa dan ikut memperburuk situasi menjelang malapetaka kelaparan terjadi. Sebab, Penal Laws menyebabkan mayoritas kepemilikan lahan di Irlandia jatuh ke tangan para tuan tanah Inggris atau kelompok campuran Inggris-Irlandia (Anglo-Irish). Adapun kebanyakan orang lokal, yakni warga Irlandia yang beragama Katolik, bekerja sebagai buruh atau penggarap lahan milik juragan-juragan tanah itu.

Nestapa dimulai pada Agustus 1845. Irlandia dilanda serangan Phytophthora infestans. Jamur itu menyerang tanaman kentang di seluruh perkebunan di negeri itu. Kebun-kebun yang digarap para petani miskin pun hanya menghasilkan kentang busuk, hitam dan mengeras, karena digerogoti hama tersebut. Fenomena gagal panen terus terjadi selama tiga tahun berturut-turut kemudian.

Kentang pertama kali didatangkan ke Irlandia oleh kaum tuan tanah sekitar pertengahan abad ke-18. Sejak saat itu, kentang menjadi makanan pokok kalangan fakir miskin setempat, khususnya di sepanjang musim dingin.

Padahal, kentang bukanlah tanaman asli Irlandia. Yang tumbuh di negeri itu pun hanya satu varietas kentang, yaitu irish lumper. Alhasil, ketergantungan kaum papa Irlandia terhadap kentang sudah sedemikian tinggi ketika gagal panen melanda.

photo
Sketsa tahun 1849 yang menggambarkan seorang ibu dan anak-anaknya yang dilanda kelaparan hebat di Irlandia. - (DOK WIKIPEDIA)

Salah kebijakan

Tim Pat Coogan dalam The Famine Plot: England’s Role in Ireland’s Greatest Tragedy (2012) menuturkan, para pemimpin di ibu kota Irlandia, Dublin, mengirimkan petisi ke Ratu Victoria dan Parlemen di London. Mereka mendesak pemerintah pusat agar turun tangan dalam mengatasi persoalan kerawanan pangan di Irlandia sejak 1845.

Waktu itu, Perdana Menteri Sir Robert Peel mengambil kebijakan untuk membuka proyek-proyek nasional demi memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat Irlandia. Pihaknya juga membatalkan aturan pajak atas gandum dan jagung. Selama ini, aturan yang dinamakan Corn Laws itu telah membuat harga berbagai produk olahan seperti roti sangat mahal.

Pada 1846, PM Peel dengan faksi konservatifnya jatuh dan digantikan oleh Sir John Russell dari Partai Whig. Sejak saat itu, kebijakan-kebijakan yang ada justru semakin tak berpihak pada kawula Irlandia.

Dari hari ke hari, bulan ke bulan, semakin banyak warga miskin setempat yang kekurangan makanan. Sedangkan, harga bahan makanan lainnya terus meroket sehingga tak terjangkau kebanyakan orang. Anak-anak dan para ibu didera malnutrisi akut. Ribuan orang meninggal.

Pada Juli-Agustus 1847, tercatat sebanyak tiga juta warga Irlandia menerima ransum berupa sup yang disalurkan melalui dapur-dapur umum. Justru, menjelang musim dingin pada Oktober 1847 dapur-dapur umum itu ditutup.

Menurut Coogan, sesungguhnya Irlandia pada saat munculnya hama P infestans tidak mengalami kekurangan pangan. Masih banyak bahan makanan di luar kentang yang tersedia di pasaran, semisal daging lembu, babi, gandum, atau haver (oat).

Persoalannya adalah, kebanyakan masyarakat setempat yakni kaum fakir miskin tak mampu membelinya. Daya beli mereka anjlok karena kehilangan pekerjaan atau kecilnya gaji mata pencaharian mereka dari menggarap lahan milik para tuan tanah.

 
Daya beli mereka anjlok karena kehilangan pekerjaan atau kecilnya gaji mata pencaharian mereka dari menggarap lahan milik para tuan tanah.
 
 

 

PM Peel sempat menugaskan pakar botani dan bahkan membentuk suatu komisi untuk menyelidiki penyebab gagal panen kentang di Irlandia. Namun, hasil kajiannya kurang memadai sehingga tidak sampai pada suatu solusi.

Coogan mencatat, sesungguhnya ada seorang periset bernama GH Fitzgerald yang menemukan, infeksi tanaman yang diserang P infestans dapat ditangani seperti halnya gandum, yakni dengan menyemprotkan cairan sulfat tembaga biru dan kapur ke tanaman tersebut.

Namun, lanjut Coogan, suratnya ke otoritas di Dublin pada Februari 1846 tak ditanggapi. Fitzgerald sendiri dianggap sebagai “pemula” dalam lingkaran ilmuwan Britania Raya sehingga tak berdaya. Seandainya penelitiannya diindahkan, Coogan mengatakan, boleh jadi wabah yang melanda Irlandia tak akan berkepanjangan.

Sejak Peel digantikan Russell, kebijakan untuk mengatasi wabah kelaparan di Irlandia tak kunjung menemukan titik terang. Rezim saat itu cenderung menganut paham ekonomi laissez-faire. Intervensi dari pemerintah pun tak begitu besar.

Sementara itu, ekspor malahan digenjot. Arus komoditas pangan terus mengalir keluar dari Irlandia. Menurut profesor dari Drew University Christine Kinealy, sekitar 4.000 kapal mengangkut makanan dari Irlandia ke kota-kota pelabuhan Britania Raya, semisal Bristol, Glasgow, Liverpool, dan London pada 1847.

Di saat yang sama, tak kurang dari 400 ribu warga Irlandia mati kelaparan atau terinfeksi penyakit. Kinealy juga menemukan, ekspor hewan ternak—kecuali babi—juga meningkat selama wabah kelaparan terjadi.

photo
Lukisan karya by Henry Doyle, 1827-1893, yang menggambarkan diaspora dan emigrasi bangsa Irlandia akibat wabah kelaparan hebat 1845-1852 - (DOK WIKIPEDIA)

Emigrasi dan Diaspora Sesudah Wabah

 

Tidak dapat dipastikan, berapa korban jiwa dari wabah kelaparan hebat Irlandia 1845-1849 (The Great Irish Famine). Akan tetapi, perbandingan antara data jumlah penduduk pada saat sebelum dan sesudah wabah dapat menjadi acuan.

Dalam The Famine Plot: England’s Role in Ireland’s Greatest Tragedy (2012), Tim Pat Coogan mengutip sensus pada 1841 yang menunjukkan populasi Irlandia mencapai 8.175.000 orang. Beberapa tahun kemudian, yakni pada 1851 jumlah penduduk setempat menyusut hingga 6.552.000 orang. Penyusutan sebanyak 1.623.000 itu berasal dari angka kematian dan emigrasi.

Umumnya, sejarawan modern membenarkan total kematian akibat wabah kelaparan itu tak kurang dari 1 juta jiwa. Adapun ratusan ribu orang lainnya pada medio abad ke-19 itu terpaksa pindah ke luar Irlandia demi mendapatkan penghidupan yang lebih layak.

Angka emigrasi masyarakat Irlandia meroket terutama sejak 1848. Waktu itu, negeri tersebut tak hanya dihantam kelaparan, tetapi juga wabah kolera. Bertahun-tahun kemudian, bahkan sesudah kerawanan pangan mereda, jumlah warga setempat yang hijrah ke luar negeri masih cukup signifikan.

Mereka pindah tidak hanya ke kawasan lain di Eropa, melainkan juga melintasi Samudra Atlantik. Tak sedikit yang berlayar jauh hingga tiba di Kanada, Amerika Serikat, Argentina, dan bahkan Australia.

Perjalanan jauh itu pun tak lebih baik daripada bertahan di negeri sendiri. Saking parahnya, kapal-kapal pengangkut mereka belakangan dijuluki “perahu peti mati” (coffin ships). Sebab, tak sedikit yang wafat saat mengarungi lautan. Sekalipun selamat dan sampai di pesisir, sebagian mereka pun tak dapat bertahan lama.

Di Kanada tahun 1847, sekitar 100 ribu pendatang asal Irlandia tiba. Kira-kira 200 ribu orang di antaranya beberapa bulan kemudian meninggal dunia. Kebanyakan terinfeksi penyakit atau mengidap malnutrisi. Jumlah itu termasuk sebanyak 5.000 orang yang tinggal di Grosse Isle, sebuah pulau kecil di Sungai Saint Lawrence dekat Kota Quebec yang menjadi karantina sementara bagi para emigran.

Pada 1851, lebih dari separuh penduduk Toronto, Kanada, merupakan pendatang dari Irlandia. Kota-kota lainnya semisal Quebec, Montreal, Ottawa, Kingston, Hamilton, dan Saint John juga memiliki populasi Irlandia yang cukup banyak.

Begitu pula di AS. Menjelang 1850, orang-orang Irlandia mencakup seperempat dari total populasi beberapa kota, seperti Boston, New York City, Philadelphia, dan Baltimore. Hingga kini, mayoritas masyarakat keturunan Irlandia menetap di AS. Bahkan, jumlahnya mencapai 10 kali lipat lebih banyak daripada di Irlandia sendiri.

Akhirnya, diaspora Irlandia menduduki posisi-posisi penting. Umpamanya, para penandatangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Sembilan orang di antaranya merupakan keturunan Irlandia. Sebanyak 25 presiden AS diketahui merupakan keturunan Irlandia. Malahan, sang bapak bangsa Amerika, George Washington, disebut-sebut memiliki darah Irlandia.

 
Sebanyak 25 presiden AS diketahui merupakan keturunan Irlandia.
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat