Warga dampingan berada di antara sawah hidroponik di Desa Loru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (14/7). Yayasan Dompet Dhuafa mengembangkan sistem pemulihan ekonomi bagi ibu rumah tangga, lansia, dan ibu hamil dengan memfasilitasi sistem pertanian | BASRI MARZUKI/ANTARAFOTO

Opini

Menggagas Desa Wakaf

Gagasan desa wakaf memang tak mudah, tetapi bukan mustahil diwujudkan.

MUHAMMAD SYAFI'IE EL-BANTANIE, Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan  

Mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa dipacu dan diakselerasi dengan membangun desa. Desa sebagai satuan pemerintah terkecil memiliki posisi dan peran strategis. Desalah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia terdapat 83.931 desa. Ini potensi luar biasa. Bayangkan jika desa-desa ini berdaya, akan mampu men-//generate// kesejahteraan bagi masyarakat. Angka kemiskinan akan terdegradasi.

Karena itu, membangun desa berarti membangun Indonesia. Pertanyaan pentingnya, bagaimana menjadikan desa berdaya? Dari mana sumber daya untuk membangun desa? Menggagas desa wakaf patut dipertimbangkan sebagai model pemberdayaan desa.

Wakaf adalah instrumen Islam dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Dengan skema wakaf, pemerintah tak perlu menerbitkan sukuk atau obligasi syariah untuk memperoleh dana guna membangun desa.

Dana pembangunan desa bisa dihimpun melalui wakaf tunai dari wakif. Tentu, edukasi penting dan manfaat wakaf menjadi keniscayaan. Wakaf membuat uang beredar tak hanya di kalangan orang kaya, tapi juga merembes ke golongan tidak mampu.

Melalui wakaf, desa bisa membangun kawasan terpadu sebagai pusat aktivitas masyarakat. Di dalamnya, ada fasilitas keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan komersial.

Fasilitas komersial menjadi tulang punggung untuk mengalirkan surplus wakaf bagi aktivitas keagamaan, pendidikan, dan kesehatan.

 
Uang tidak hanya mengendap dalam rekening, tetapi juga berputar dalam bentuk aktivitas ekonomi berbasis wakaf. 
 
 

Fasilitas komersial bisa berupa pasar desa, BMT, pom bensin, penginapan atau rumah sewa, pusat jajanan dan produk kreativitas, rumah makan, ruko dan pertokoan, hiburan edukasi keluarga, dan lainnya.

Keberadaan fasilitas komersial tersebut, sangat penting untuk menggerakkan arus ekonomi. Di sinilah peran pemilik harta besar untuk berwakaf guna membangun kawasan terpadu tersebut. Di sini, akan terjadi perputaran arus uang, barang, dan jasa.

Uang tidak hanya mengendap dalam rekening, tetapi juga berputar dalam bentuk aktivitas ekonomi berbasis wakaf. Untuk itu, perlu dikelola secara profesional agar menghadirkan kepercayaan kepada para wakif untuk berwakaf.

Keberadaan pasar desa sangat penting. Bukan hanya akan menjadi penggerak arus ekonomi, melainkan juga meminimalisasi kooptasi mini market modern. Kehadiran mini market modern, tidak sedikit yang mematikan warung-warung tradisional.

Terlepas dari warung tradisional yang mesti berbenah, menjamurnya jaringan mini market modern telah menyebabkan arus uang mengalir kepada pemilik modal besar.

Tentu ini tidak sehat secara perekonomian nasional. Arus uang mestinya banyak berputar di kalangan pelaku UMKM. Kehadiran BMT juga penting, yang merupakan sarana memberikan akses pembiayaan bagi pelaku usaha mikro di desa yang tak bankable.

 
Dengan terwujudnya desa wakaf, akan dihasilkan masyarakat berbiaya rendah. 
 
 

Selain itu, BMT strategis untuk memutus ekonomi ribawi. Bila kita melakukan riset lapangan, masih banyak pelaku usaha mikro di desa yang mengandalkan permodalan pada rentenir.

Gagasan mewujudkan desa wakaf ini bisa dilakukan di bawah koordinasi pemerintah desa dengan dukungan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Namun, pengelolanya mesti dijalankan nazir yang amanah dan profesional.

Dalam hal ini, BWI dan pemerintah desa menyeleksi mitra pengelola wakaf (nazir). Nazir berhak atas 10 persen dari surplus wakaf. Sedangkan, 90 persennya disalurkan kepada mauquf ‘alaih atau penerima manfaat wakaf.

Dengan terwujudnya desa wakaf, akan dihasilkan masyarakat berbiaya rendah. Fasilitas pendidikan keagamaan, pendidikan formal, dan kesehatan pun bisa diakses secara gratis karena dibiayai dari surplus wakaf.

Tantangan pertama mewujudkan gagasan desa wakaf, terletak pada strategi penghimpunan wakaf tunai untuk membangun kawasan terpadu desa wakaf. Namun, semestinya ini tidak terlalu sulit.

Berkaca pada jumlah kelas menengah Muslim yang mencapai 30 juta orang, beban tanggung jawab ini bisa ditanggung bersama. Jika per orang berwakaf Rp 1 juta dalam setahun, terhimpun dana Rp 30 triliun.

Jumlah yang cukup untuk membangun 30 kawasan terpadu desa wakaf. Belum lagi jika dihitung dengan potensi wakaf bagi kalangan Muslim elite, jumlahnya lebih besar lagi. Tantangan selanjutnya, pengembangan aset wakaf di kawasan terpadu tersebut.

 
Gagasan desa wakaf memang tidak mudah, tetapi juga bukan suatu yang mustahil diwujudkan. Asalkan, ada kesadaran dan komitmen bersama. 
 
 

Kawasan terpadu harus produktif menghasilkan surplus setiap tahunnya. Surplus itulah yang digunakan untuk memberikan layanan keagamaan, pendidikan, dan kesehatan gratis bagi masyarakat desa.

Karena itu, selain amanah, nazir mesti memiliki kompetensi memadai untuk mengelola aset wakaf senilai Rp 1 triliun. Prinsip wakaf, tahan pokoknya dan alirkan hasilnya mesti menjadi patokan. Jangan sampai, ada aset wakaf mangkrak dan tidak produktif.

Jika semua bisa dikelola dengan amanah, profesional, dan akuntabel, bolehlah kita berharap terwujud desa-desa berdaya, yang melahirkan kesejahteraan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat.

Gagasan desa wakaf memang tidak mudah, tetapi juga bukan suatu yang mustahil diwujudkan. Asalkan, ada kesadaran dan komitmen bersama. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat