Museum jejak militer Panglima Soedirman, Purwokerto | Eko Widiyatno, Republika

Halaman 7

Munculnya Dwitunggal Baru

Hadirnya Jenderal Soedirman, bahkan masuk di dalam struktur pengurus Persatuan Perjuangan, serta sikap politik keras Tan Malaka, menginspirasi banyak perwira senior dan tentara di bawah.

Oleh Munculnya Dwitunggal Baru

Untuk sesaat duet Tan Malaka-Soedirman mencuat ke permukaan politik Indonesia. Liputan khusus majalah Tempo terhadap Tan Malaka, "Bapak Republik yang Dilupakan" (2008) memberi satu artikel khusus mengulas soal ini. Harry A Poeze menggambarkan hubungan Tan Malaka dengan Soedirman sebagai memiliki persamaan pendapat dan ideologi. Sementara, Adam Malik dalam bukunya, Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45 bahkan berani menyebut Tan Malaka-Soedirman sebagai dwitunggal baru. Ia menyamakan Tan Malaka-Soedirman dengan dwitunggal Sukarno-Hatta, Syahrir-Amir. Adam menilai Tan dan Soedirman memiliki urat dan akar di kalangan pemuda radikal, PETA, dan bekas romusha atau pekerja paksa zaman Jepang. Keduanya, sebut Adam Malik, diikat kesamaan sikap: Diplomasi sama dengan kemerdekaan kurang dari 100 persen.


Pengamat militer Salim Said dalam bukunya, Soeharto's Armed Forces, Problems of Civil Military Relations in Indonesia, menggambarkan lagi bagaimana kedekatan Tan Malaka dengan Soedirman. Dengan tegas, Salim Said menyebut, "Soedirman dan Tan Malaka menekan pada perlawanan perjuangan ketimbang diplomasi. Ini yang membedakan keduanya dengan Bung Karno, Bung Hatta, dan Syahrir. Perjuangan atau diplomasi adalah tema sentral kontroversi antara pemerintah dan oposisi di satu sisi serta pemerintah dan militer di sisi lain," demikian disebut Salim Said.

 

 

photo
Kutipan dari harian Kedaulatan Rakyat edisi 5 Juli 1946


Sementara itu, Sementara, Yahya Muhaimin menyebut, kehadiran Jenderal Soedirman dalam acara Tan Malaka sebagai bentuk simpati militer Indonesia. Terutama lagi bagi kelompok PETA di dalam tubuh Tentara Republik Indonesia. Mengingat ada perlakuan yang janggal yang dilakukan Syahrir kepada kelompok PETA pada waktu sebelumnya. Dengan demikian, menurut Yahya, kehadiran militer atau Soedirman saat itu di Persatuan Perjuangan bukan karena kesamaan sikap politik.


Ini ditegaskan oleh Kolonel Abdul Haris Nasution, ..."Dalam rapat rapat Persatuan Perjuangan tersebut ialah bahwa Panglima Besar Soedirman turut menghadirinya. Maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan dari program Persatuan Perjuangan itu bahwa 'politik pemerintah Syahrir' dengan program Persatuan Perjuangan tidaklah pararel atau tidak sejalan. Dan untuk selanjutnya dapat dimengerti... dalam masalah ini cara bagaimana angkatan perang menempatkan dirinya dalam program Persatuan Perjuangan dengan program Kabinet Syahrir."


Perkembangan politik selanjutnya terus memanas. Hadirnya Jenderal Soedirman, bahkan masuk di dalam struktur pengurus Persatuan Perjuangan, serta sikap politik keras Tan Malaka, menginspirasi banyak perwira senior dan tentara di bawah.


Hal yang harus digarisbawahi, menurut Salim Said, kehadiran Soedirman di arena Persatuan Perjuangan sudah diketahui dan diizinkan oleh pemerintah, yakni Presiden Sukarno dan Menhan Amir Syarifuddin. Penegasan ini penting, menurut Salim, karena penulis asing seperti Benedict Anderson menilai kedatangan Soedirman ke acara Tan Malaka sepenuhnya adalah langkah politik Soedirman. Karena Ben Aderson menilai, "The general was pursuing his own politique and clearly looking for the kind of support in civilian circles that he already enjoyed among the military to make himself even more impregnable to the cabinet intrigue." Sementara, Salim Said berpendapat, lebih aman menilai kehadiran Soedirman di Persatuan Perjuangan sebagai kesempatan pertama dia untuk mengekspresikan sikap politiknya sejak penunjukan sebagai panglima tentara.


Lemahnya bagi-bagi kekuasaan kabinet Syahrir I dan II membuat keuntungan Persatuan Perjuangan. George McTurnan Kahin mencatat dalam bukunya Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Persatuan Perjuangan tetap berbahaya karena dukungan yang terus diberikan dari sebagian besar anggota PNI, pengikut pengikut Tan Malaka, dan sejumlah besar pemimpin Tentara Rakyat Indonesia, ataupun organisasi laskar bersenjata."

Kudeta pertama
Pemerintahan Syahrir kemudian memutuskan untuk menangkap Tan Malaka. Sikap Tan Malaka yang cenderung tak kompromistis dan keras ini membuat Soedirman, seperti ditulis dalam laporan Tempo agak menjauh sampai akhirnya renggang. Namun, kelompok tentara yang sudah dirasuki Tan Malaka terus menunggu saat yang tepat. Sampai pada peristiwa 27 Juni 1946, Mayjen Sudarsono dan anak buahnya membebaskan Tan Malaka dan pimpinan Persatuan Perjuangan dari tahanan. Pada hari yang sama, Perdana Menteri Syahrir sedang dalam perjalanan kembali dari Jawa Timur ke Yogyakarta. Ia singgah di Surakarta. Di sini ada gerakan dari Mayor Yusuf untuk menculik Syahrir, meski akhirnya Syahrir hanya dibawa ke Keraton Solo. Barulah Syahrir sadar situasi politik yang genting. Ada kudeta terhadap pemerintahannya!


Situasi kacau karena 'penculikan' Syahrir membuat kabinet demisioner. Presiden Sukarno mengambil alih pemerintahan. Ia menyatakan 'Negara dalam keadaan perang'. Panglima Soedirman berupaya tetap di belakang layar untuk mencoba netral atas situasi. Namun, kemudian Mayjen Soedarsono mendatangi Istana Negara dan bertemu Presiden Sukarno dengan membawa petisi yang ia sebut 'petisi rakyat'. Ia memaksa Sukarno memenuhi petisi tersebut. Soedarsono bahkan mengklaim Panglima Soedirman yang mendiktekan instruksi dalam petisi itu. Apakah Soedirman terlibat dalam kudeta? Situasi makin membingungkan. Presiden Sukarno meminta Panglima Soedirman turun tangan mengatasi masalah ini. Secara politik, Sukarno meyakinkan Soedirman bahwa Presiden akan mendukung seluruh keputusan Panglima selanjutnya. Dalam situasi itu, Panglima Soedirman berpidato di radio bahwa ia mendukung pemerintah serta menentang Persatuan Perjuangan.


Seperti dikutip dari buku Sardiman, Panglima Besar Sudirman: Kader Muhammadiyah (2000), Soedirman mengatakan:
"Saudara-saudara sekalian...Paduka Yang Mulia Presiden sebagai kepala negara telah menunjuk saya sebagai panglima besar tentara, telah meletakkan kepercayaan sepenuh-penuhnya di atas bahu saya untuk memimpin seluruh tentara darat, laut, dan udara untuk mempertahankan negara.


Antara pucuk pimpinan negara dan pucuk pimpinan tentara tidak ada perselisihan, tidak ada kesalahpahaman, tidak ada curiga mencurigai. Kami berdua, PYM Presiden Sukarno dan Panglima Besar Soedirman masing-masing telah bersumpah, demi Allah untuk mencurahkan segala kekuatan bersama guna keselamatan negara dalam marabahaya yang sedang mengancam kita bersama. Kami berdua, PYM Presiden dan saya Panglima Besar Soedirman masing-masing telah bersumpah pula untuk memperjuangkan mempertahankan dan melaksanakan idam-idaman seluruh rakyat Indonesia, ialah kemerdekaan yang utuh, kemerdekaan 100 persen. Salahkah suatu anggapan, salahkah suatu persangkaan bahwa antara saya, Soedirman dan Bung Karno ada perselisihan paham, ada perselisihan perselisihan tujuan. Antara pucuk pimpinan negara dan pucuk pimpinan tentara telah tergalang persatuan yang sangat kokoh, erat lahir batin.


Saudara-saudara sekalian!
Tiap tiap warga negara harus tunduk dan taat kepada pimpinan negara. Saya, baik pun sebagai warga negara Indonesia maupun sebagai panglima besar tentara tunduk dan taat kepada Kepala Negara dengan berdasarkan sumpah yang telah diucapkan atas nama seluruh pimpinan tentara. Moga-moga hilang lenyaplah segala persangkaan dan perselisihan antara kita sama kita."

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat