Hakim Ketua Nazar Effriandi memimpin sidang Peninjauan Kembali (PK) atas kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali terhadap terpidana buron Djoko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (20/7). | Republika/Thoudy Badai

Tajuk

Sudah Cukup Djoko

Membentuk TPF yang diisi oleh kalangan lintas intansi, diisi orang orang kredibel, ini bisa jadi salah satu caranya.

 

Sidang lanjutan peninjauan kembali perkara Djoko Tjandra kemarin digelar. Djoko tak datang. Sudah diperkirakan banyak pihak. Buron kasus korupsi Bank Bali ini titip surat kepada Majelis Hakim. Isinya: Ia sakit, ia ingin sidang dilanjutkan dalam bentuk sidang online. Tak perlulah ia hadir fisik di Jakarta. 

Majelis bergeming. Memang masih ada satu kesempatan sidang fisik lagi. Pekan depan. Apakah Djoko alias Joker ini akan datang? Kita tidak tahu. Ia dikabarkan berada di Malaysia. Tapi begini publik melihat: Tidak kah cukup pemerintah dan negara ini dipermainkan oleh seorang Djoko Tjandra? Tidak kah malu pemerintah dan negara ini?

Presiden Joko Widodo, seperti yang didesakkan kelompok pegiat antikorupsi dan publik sepakat, tampaknya memang harus membentuk tim pencari fakta independen untuk kasus Djoko Tjandra. Tim ini diperlukan untuk mengungkap habis siapa saja yang terlibat dalam kasus Joker, sapaan Djoko Tjandra. Artinya membongkar jaringan jaringan Djoko Tjandra di Indonesia.

Presiden Joko Widodo kita harapkan jangan cepat berpuas diri atas perkembangan kasus Joker ini. Kita khawatirkan apa yang Polri lakukan, dengan mencopot tiga perwira tinggi, baru permulaan. Mengingat kemudian kasus Joker melebar menyambar ke beberapa institusi penting negara. 

 
Presiden Joko Widodo kita harapkan jangan cepat berpuas diri atas perkembangan kasus Joker ini. 
 
 

Mahkamah Agung kemarin memberikan bantahannya secara serius. Juru bicara MA menepis ada hakim agung dalam kasus PK Djoko Tjandra dihubungkan dengan sang buron. Kemudian Kejaksaan Agung juga didesak menindak adanya dugaan jaksa yang juga ikut terlibat. Lalu dari Komplek Parlemen Senayan, muncul peristiwa Ketua Komisi Hukum DPR Aziz Syamsuddin (Fraksi Golkar) menolak pembahasan soal Joker di dalam fraksinya. Penolakan Aziz ini dipermasalahkan oleh anggota Komisi Hukum dari Fraksi PPP Arsul Sani.

Inipun belum memasukkan kasus 'memalukan' sebelumnya. Pada Juni 2009 Joker sukses melarikan diri ke Papua New Guinea sehari sebelum majelis hakim mengabulkan PK jaksa dalam kasus korupsi Bank Bali. Kemudian 11 tahun kemudian Joker sukses status red notice di Interpolnya dicabut Polri, mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP) DKI Jakarta, membuat paspor baru, dan terbang ke Pontianak, lalu menghilang. "Kok bisa, ya?"

Apa yang awam lihat dari deretan deretan peristiwa terkait Joker di atas? Banyak sekali yang terseret dan terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pelesir singkat Djoko Tjandra 2020 ini. Ada oknum pejabat Polri, ada oknum lurah, kantor imigrasi, dugaan yang mengarah ke MA dan Kejaksaan Agung. Lalu di DPR. 

 
Rasa-rasanya cukup sudah negara dan pemerintah diajak 'menari' dalam iringan gendang seorang Djoko Tjandra. Sudahlah, cukup. Ayo lawan!
 
 

Ya, memang masih butuh bukti dan fakta untuk menegaskan hubungan tersebut. Bisa jadi terbukti. Amat mungkin tidak terbukti alias hanya isapan jempol. Tapi sinyal awal yang dibaca publik atas kasus Djoko Tjandra 2020 ini patut kita tanggapi dengan kening berkerut. "Kok bisa, ya?"

Kita berharap betul Presiden Jokowi mencermati fenomena Joker ini. Presiden harus bertindak lebih jauh lagi. Presiden harus ambil sikap lebih serius lagi. Membentuk TPF yang diisi oleh kalangan lintas intansi, diisi orang orang kredibel, ini bisa jadi salah satu caranya. TPF harus dibebaskan menelisi ke berbagai sudut instansi pemerintah untuk membongkar kasus Joker 2020 ini.

Tapi bagaimana bila tidak ada TPF. Tidak ada kebijakan komprehensif untuk mengusut kasus Joker ini? Berjalan begini begini saja. Setelah Polri mencopot tiga perwira tingginya, ya selesai. Kejaksaan Agung bergeming. Mahkamah Agung bergeming. DPR bergeming. Kemenkumham bergeming. Kemendagri bergeming. 

Selain untuk memperbaiki citra penegakan hukum negara ini, Presiden harus menegaskan kepada publik bahwa negara dan pemerintah tidak bisa dipermainkan oleh satu orang bernama Djoko Tjandra. "Karena bagaimana pun malu negara ini kalau dipermainkan oleh Djoko Tjandra," begitu kata Menko Polhukam Mahfud MD dua pekan lalu. 

Rasa-rasanya cukup sudah negara dan pemerintah diajak 'menari' dalam iringan gendang seorang Djoko Tjandra. Sudahlah, cukup. Ayo lawan!

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat