IMAN SUGEMA | Daan Yahya | Republika

Analisis

Literasi Sosial di Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 bukan melulu masalah medis, tetapi sudah menjadi masalah sosial.

Oleh IMAN SUGEMA

OLEH IMAN SUGEMA

Beberapa bulan yang lalu saya bertemu seorang pegiat komputasi yang sangat andal. Saya hanya mengajukan satu pertanyaan yang sangat sederhana saja yaitu kapan wabah Covid-19 ini akan berakhir. Saya ajukan pertanyaan itu karena memang dia ahli programming dan mungkin komputasi bisa banyak membantu penanganan wabah ini.

Lalu dia tunjukan beberapa situs internet yang melakukan prediksi tentang kapan akan terjadi puncak wabah dan kapan wabah akan berakhir. Seingat saya, salah satu situs yang dia tunjukkan adalah universitas di Singapura. Lalu dia tunjukkan sumber asli coding yang dipakai oleh mereka dan sampai saat ini saya masih menyimpannya. Siapa tahu suatu saat akan berguna.

Dari sekian lama kami berdiskusi, dia melontarkan satu kesimpulan bahwa kalau hanya bermodalkan kemampuan komputasi maka prediksi itu tidak akan pernah bisa akurat. Persoalannya adalah setiap kali dilakukan penghitungan ulang (re-run) untuk periode yang berbeda, prediksi yang dihasilkan komputer ternyata selalu berbeda. Beda antar tanggal sangatlah jauh, terkadang dengan besaran melebihi 10 kali lipat.

Lalu apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki hasil prediksi itu? Dia hanya bilang bahwa kalau seandainya ada orang yang bisa melakukan pemodelan tentang perilaku sosial, mungkin dia bisa menterjemahkannya dalam bentuk program komputer. Akan tetapi dia juga menambahkan bahwa yang paling penting adalah bagaimana para pengambil kebijakan sanggup memahami perilaku masyarakat terhadap wabah Covid-19.

Tanpa itu, percuma saja kita bicara pada komputer. Yang paling penting adalah literasi sosial, katanya. Baru kali ini saya mendengar kosa kata itu dari seorang pegiat komputasi dan yang saya tahu justru dia seringkali tampak asosial.

 
Persoalan wabah ini tidak melulu menyangkut ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan. Tidak pula tergantung seberapa canggih kita memahami Covid-19.  
 
 

Keberhasilan penanganan wabah Covid-19 memang pada akhirnya sangat bergantung pada formulasi kebijakan yang cocok dengan konteks sosial di masing-masing wilayah. Di Cina, Selandia Baru dan Spanyol, lockdown bisa dibilang sukses. Walaupun mungkin untuk sementara waktu. Di Amerika Serikat, kebijakan yang sama justru dinilai gagal dan banyak menuai kritik.

Yang paling menarik adalah yang dilakukan Swedia. Tanpa lockdown sama sekali, justru wabah masih relatif terkendali dibandingkan Amerika Serikat. Jadi isunya bukan pada lockdown atau tidak, tetapi bagaimana mendesain kebijakan yang sesuai dengan kondisi sosial.

Sebuah kebijakan yang disertai dukungan yang tinggi dari masyarakat hampir pasti akan berhasil. Dukungan akan tumbuh kalau memang desain kebijakan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Karena itu tidak ada rumus cespleng yang bisa dipakai untuk semua wilayah.

Tampaknya kita harus sudah mengubah paradigma kebijakan penanganan wabah Covid-19. Persoalan wabah ini tidak melulu menyangkut ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan. Tidak pula tergantung seberapa canggih kita memahami Covid-19.

 
Tampaknya kita harus sudah mengubah paradigma kebijakan penanganan wabah Covid-19.
 
 

Semua kebijakan yang dilontarkan selama ini jelas sangat bergantung pada tingkat partisipasi masyarakat. Mulai PSBB, penjarakan fisik, sampai adaptasi kebiasan baru hanya akan menjadi slogan yang percuma jika tidak dijalankan oleh masyarakat.

Pada akhirnya, semua terserah kepada masyrakat. Peran serta masyarakat adalah kuncinya.

Dengan struktur masyarakat yang sangat majemuk seperti di Indonesia dan Amerika Serikat, menjadi tidak ideal untuk melakukan perumusan kebijakan secara seragam untuk setiap wilayah. Bupati dan wali kota serta jajaran di bawahnya justru akan sangat menentukan.

Bisa jadi kita harus merumuskan kebijakan umum secara nasional, tetapi mungkin kita harus mulai menyadari bahwa akan ada banyak variasi di lapangan.  Jadi bukan hanya masyarakat yang harus beradaptasi, tetapi juga pengambil kebijakan di berbagai tingkatan harus beradaptasi dengan situasi yang berubah cepat.

Di sinilah justru peran penting ahli sosial dan antropologi akan sangat menentukan. Sejauh ini, yang paling banyak mengemuka di Indonesia adalah epidemiolog yang berasosiasi atau berlatar belakang kedokteran.

 
Di sinilah justru peran penting ahli sosial dan antropologi akan sangat menentukan.
 
 

Sudah saatnya teman ahli sosial membantu penanganan wabah di berbagai daerah. Wabah Covid-19 bukan melulu masalah medis, tetapi sudah menjadi masalah sosial.

Rumusan penanganannya sangat bergantung pada kemampuan ahli sosial di masing-masing wilayah. Indonesia terlalu rumit untuk dipahami hanya oleh segelintir ahli. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat