Berdoa merupakan upaya untuk menata hati. | Wihdan Hidayat/ Republika

Opini

Menata Hati Menghadapi Pandemi

Hati yang tertata menjadikan seseorang mampu menghadapi dan menyiasati keadaan.

 

UBAYDILLAH ANWAR

Heart Intelligence Specialist 

 

Setiap orang pasti dihadapkan pada dua kenyataaan sekaligus. Yaitu, kenyataan yang tidak bisa dikontrol oleh dirinya dan kenyataan yang bisa dikendalikan. Covid-19 adalah kenyataan  yang tidak bisa dikontrol. Seandainya bisa dikendalikan, mana ada orang atau negara yang mau didatangi? Demikian juga kejadian hidup sehari-hari, seperti kegagalan, kecelakaan, penyakit, atau yang lain.

Tetapi, pada bagian tertentu dari kenyataan yang tidak bisa dikontrol itu, selalu ada bagian yang bisa kita kendalikan, dan itu harus kita ambil sebagai perintah iman dan ilmu. Meski tidak bisa mengontrol Covid-19, kita tetap melakukan hal-hal konstruktif untuk menghentikan penyebarannya atau agar bisa sembuh dari penyakit yang ditimbulkannya. Ini adalah wajib. Jangan sampai kita menerima kenyataan apa adanya atau bertindak sembarangan yang justru mengakibatkan pandemi semakin menyebar luas.

Kita harus memahami bagian dari kenyataan yang tidak bisa kita kendalikan dan yang harus kita kontrol. Lalu memberikan respons yang tepat pada bagian-bagian itu, karena ini termasuk ciri pelaksanaan iman yang kuat. Mukmin yang kuat tidak selalu mereka yang hartanya, ilmunya, atau kekuasaannya, kuat. Mukmin yang kuat harus mampu merespons yang kokoh terhadap kenyataan sehari-hari atau berjiwa kuat. 

 

 

Rasulullah, para sahabat, dan generasi awal pemeluk Islam, adalah contoh orang-orang yang bermental kuat. 

 

 
 

Rasulullah, para sahabat, dan generasi awal pemeluk Islam, adalah contoh orang-orang yang bermental kuat. Mereka bukan orang yang sekadar menerima keadaan, tapi mampu menyiasati keterbatasan menjadi energi yang membuat mereka tangguh dan disegani.

Bayangkan, pada masa itu, jazirah Arab terdiri dari padang pasir yang tandus. Belum ada bangunan berpendingin udara. Belum ada pasukan dan persenjataan hebat. Yang mereka miliki ketika itu adalah ghirah atau semangat yang menggebu. Mental mereka begitu kuat. Militan. Mental baja menjadi modal dasar membangun dan memajukan peradaban Islam.

Contohnya terlihat ketika menyerang Persia. Umat Islam kala itu menyerang habis-habisan. Mereka pun berhasil membuat penguasa Persia Yazdagird III (632-651) lari tunggang langgang. Si penguasa ini meminta bantuan dinasti Cina untuk melawan umat Islam. Tapi apa respons dinasti tersebut? Mereka menolak berkoalisi mendukung Persia, karena mengetahui pasukan Muslim yang militan dalam medan perang. Pasukan Muslim memang hanya memiliki senjata ala kadarnya, tapi mental merekalah yang membuat para lawan ciut di  medan tempur.

Terkait dengan militansi umat Islam, Hujjatul Islam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin, menjelaskan, suatu ketika Rasulullah bertanya kepada sahabat dari kelompok Anshar yang sedang berkumpul. “Apakah kalian telah serius beriman?” Sahabat Anshar diam semua. 

Umar bin Khattab yang kala itu bersama mereka kemudian menjawab, “Benar ya Rasulullah.” 

“Apa bukti keseriusan iman kalian itu,” Rasulullah bertanya lagi. 

Umar kemudian memberikan jawaban yang lebih detail. “Kami mensyukuri nikmat, kami bersabar terhadap ujian, dan kami ridha pada kenyataan.” 

Rasulullah langsung memberikan respon, “Kalau begitu, kalian telah beriman kepada Tuhan yang memiliki Ka’bah.” 

Artinya, mereka tidak mengeluhkan kondisi tempat tinggal mereka yang serba terbatas. Apa yang ada, mereka manfaatkan dan kelola, untuk menjadi kekuatan bertahan hidup dan mengukir prestasi. Luar biasa.

 

Peranan khalifah dan hamba

Supaya kita bisa memberikan respon yang tepat, Allah SWT memberikan dua peranan pada setiap insan yang harus dimainkan secara harmonis dan sinergis, yaitu peranan sebagai khalifah (kholifatun) dan peranan sebagai hamba (abdun).

Bagaimana memainkannya?

Sebagai khalifah, setiap orang perlu berinisiatif untuk mengambil keputusan mengenai hidupnya semandiri mungkin, baik yang bersifat adaptif (menyesuaikan diri dengan tuntutan kenyataan) atau generatif (menciptakan terobosan baru, solusi baru, atau produk baru). Kepada para khalifah, Allah SWT memberikan pilihan dan konsekuensi: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, ” (Al-Isra:7).

“Hidup ini 10 persen tergantung pada apa yang terjadi dan 90 persen tergantung apa yang Anda lakukan terhadap apa yang terjadi,” demikian orang bijak berpesan. Untuk bisa memberikan respons yang baik kepada apa  yang terjadi, kesabaran (baca: kegigihan menghadapi kenyataan) adalah kuncinya. “Tidak ada yang bisa menggantikan posisi kesabaran dalam meraih sukses apapun,” pesan orang bijak lagi.

Sebaliknya, sebagai hamba, setiap orang harus latihan untuk menerima hal-hal yang berasal dari Tuhannya atau hal-hal yang diizinkan oleh Tuhannya untuk terjadi dengan kesadaran untuk taat (takwa), terlepas suka atau tidak suka, positif atau negatif.

Di bagian tertentu dari Corona 19 ini, harus kita terima dengan hati hamba yang ridho pada kenyataan dan terus mensyukuri nikmat lain yang tidak bisa dihitung. Ridho bukan menerima asal menerima (perintah ego), tetapi menerima dengan hati yang aktif (sadar untuk menaati perintah-Nya).

Kemampuan memainkan peranan khalifah dan hamba secara harmonis dan sinergis saat menghadapi hal-hal yang kita senangi dan hal-hal yang sebetulnya kita mau tolak, termasuk kebiasaan yang bagus untuk mencerdaskan hati dan pikiran. 

Ridho terhadap kenyataan akan membuat hati terbuka pada cahaya ilahi. Begitu hati seseorang menolak (kafaro), maka cahaya-Nya tidak mau menembus ke hati. Penolakan adalah hijab (tirai) yang menghalangi hati dari cahaya-Nya. Tapi, kalau modal seseorang menghadapi kenyataan sebatas ridho, tentu ini berbahaya. Di sinilah pikiran harus bekerja untuk memainkan peranannya secara kreatif.  

Hanya saja, pikiran tidak bekerja demikian jika hati tidak menyuruhnya. Hati adalah raja, sedangkan pikiran dan anggota tubuh lainnya adalah pelayan. Demikian Al-Ghazali dalam Ajaibul Qulub menggambarkan konstruksinya. Gambaran Al-Ghazali yang sudah lebih dari seribu tahun tersebut tidak berbeda dengan apa yang ditemukan dari hasil riset HeartMath Institute Canada bahwa otak hati merupakan global coordinator. Karena itu, berhati-hatilah dengan hati Anda!

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat